Kalau bukan karena sedang berada dalam kumpulan itu, aku ingin memejamkan mata sejenak, membiarkan kabar-kabar baik tentang my new bias itu meresap dalam hati ini, agar detak jantung yang kebat-kebit ini kembali tenang.
“Oh Allah, bolehkan aku sebut namanya dalam doaku, bukan aku ingin mendikte-Mu, tapi hanya sekadar menyempurnakan ikhtiar ini, bukankah doa adalah amunisi umat muslim?” tanyaku dalam hati mencari-cari dalih.
Nama paman Rasulullah yang disandang oleh Ustaz Hamzah itu bak dua mata pisau yang ditancamkan tepat di jantung ini, satu sisi memberikan efek tenang, di sisi lain membuat detak jantung ini meningkat drastis.
“Aku tak tahu jika ini disebut cinta, atau hanya suka semata, yang jelas, aku rela merengkuh keduanya dan menghimpunnya dalam organ yang memancarkan darah ke seluruh tubuh ini,” ucapku menggambarkan efek nama yang tak berhenti disebut-sebut kebaikannya itu.
“Agh!” teriakku tiba-tiba ketika satu tangan menjewer telingaku dari belakang.
“Makk!” jeritku saat mengetahui siapa pelaku hukuman orang tua model zaman kolonial itu.
Emak menggelengkan kepala dengan wajah bersungut-sungut.
“La wong sudah disuruh cepat ngantarnya, biar bisa ngantar di tempat lain, la kok malah umpel-umpelan di depan warung, malah ngrumpi nggak jelas!” gerutu Emak tanpa melepaskan jeweran kupingku.
“Ampun Paduka, hamba khilaf!” seruku sambil menelengkan kepala agar jeweran itu segera lepas.
Aku segera berbalik dan bergegas menaiki sepeda.
“Hihh! Bocah ini!” omel Emak kesal.
Aku mengayuh dengan cepat sepeda ini diiringi dengan tawa cekikikan empat gadis yang ada di depan warung yang berada di dalam kampung itu.
Ah ...! Ustaz Hamzah ternyata bukan hanya distraksi tapi juga melenakan, aku sadar sekarang aku sudah berada dalam zona bucin ... butuh micin.
Aku segera menyelesaikan tugas-tugas sore ini.
Sebelum maghrib tugas pengantaran dari Lady Emak sudah clear.
Jika tidak ada jadwal ke masjid, dari magrib ke isya, aku akan terus di atas sajadah, jeda waktu di antara keduanya harus digunakan untuk mendaras Al Quran.
Jika tidak, niscaya penguasa rumah papan ini yaitu Emak tercinta akan murka.
Ujung-ujungnya, selain ancaman-ancaman yang akan terlaksana di akhirat nanti, uang saku bisa diboikot dan ini akan membuat situasi ekonomi mikro bidang jajan mengalami chaos.
Aku membuka Al Quran terjemahan dan membaca berulang-ulang terjemahan satu ayat di dalamnya.
Tiba-tiba suara langkah tergesa terdengar mendekat ke rumah papan ini.
Aku yang sedang di loteng menajamkan telinga.
“Mbak Fat! Mbak Fatima!” seru suara perempuan sambil mengetuk pintu tanpa didahului salam.
Suara perempuan itu setengahnya terisak, setengah lagi menahan kedongkolan dalam hati.
“Ya, sebentar!” seru Emak yang baru saja selesai salat Isya di sampingku.
Emak turun ke satu-satunya ruangan bawah yang kami miliki tanpa melepas mukena.
Suara pintu papan terbuka terdengar.
“Mbak Fat ...!” seru suara perempuan itu panik, isak yang tertahan kini dilepaskan, tamu yang datang itu menangis.
“Ada apa Dek Tun?” jawab Emak, telinga ini mendengar suara kursi pendek ditarik.
Dek Tun? Bukannya itu nama Ibu Arif? Emak biasa memanggil Ibu Zaitun dengan panggilan itu.
Aku menutup Al Quranku dan meletakkan dua buah kitab suci ini di rak buku.
Tanpa melepas mukena aku berjingkat, kemudian melongokkan kepala ke bawah.
Suara tangisan itu kian terdengar ketika akhirnya mata ini dapat melihat perempuan yang mungkin sebaya dengan Emak itu memang Ibu Arif.
“Tenang dulu, Dek Tun! Pelan-pelan ngomongnya!” ucap Emak lembut.
Dari loteng sini, aku melihat Emak mengambil air putih untuk tamunya.
“Arif Mbak Fat, mana Rayya, Mbak?” lanjut Ibu Arif dengan suara yang lebih jernih.
Aku tak mendengar suara Emak menjawab pertanyaan Tante Zaitun, bisa jadi, Emak hanya menjawab dengan menunjuk ke arah loteng sini.
Sejenak jeda diam, Tante Zaitun sepertinya sedang minum air putih dari Emak.
“Mbak, Arif dijemput teman-teman berandalnya dan diajak pergi, tadi aku sempat dengar, mereka mau memukuli anakku itu, Rayya mana Mbak? Rayya mana? Tolongin Arif, Mbak Fat! Tolongin anakku itu!” seru Ibu Arif dengan panik.
Seketika bahu ini langsung tegang mendengar itu.
“Rayya!” jerit Emakku nyaring.
Teriakan siaga satu itu membuat dengan cepat aku melepas mukena ini dan melemparkannya secara sembarangan.
“Siap, Mak!” seruku siaga seperti pemadam kebakaran dapat panggilan.
Aku menyambar rok kulot dan jaket serta jilbab sekali tancap dan berlari ke bawah.
Mata ini melihat pandangan dua ibu-ibu yang sorotnya dapat diterjemahkan sebagai permohonan, do something, Rayya!
“Dibawa ke mana, Tante?” seruku tanpa menanyakan hal lain.
“Keluar kampung, keluar dari gapura, tadi di jalan raya sebelah timur ... terakhir kuikuti, cepat ya Ra, tolong anakkku itu!” pinta Ibu Arif masih dengan nada paniknya.
Aku mengangguk, dengan cepat aku mencium tangan emak dan segera keluar, lalu mengayuh sepeda dengan cepat.
Pos tiga alias rumah Salwa, pos dua a.k.a rumah Imla dengan cepat terlalui. Sebentar lagi pos satu yaitu rumah Arofah dan itu berarti roda ban sepeda ini akan menggelinding melewati kos-kosan Ustaz Hamzah.
Aku segera menekan perasaan yang muncul dari dunia perbucinan yang sedang tidak baik-baik saja ini.
Wajah Tante Zaitun yang panik dan bayangan apa yang akan menimpa Arif menggeser itu semua.
“Weit!” seruku tertahan ketika sosok yang bayangannya baru saja kugeser dalam benak mendadak keluar dari kos-kosannya itu.
“Rayya!” serunya ketika aku menggowes sepeda ini dengan cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
“Ustaz!” sahutku membalas seruannya sambil berlalu.
“Ke mana?” tanyanya dengan cepat.
“Nyusul Arip, Ustaz!” teriakku tanpa sedikit pun memperlambat kecepatan.
Ah ... dalam hati ini ada sedikit penyesalan, kenapa aku menyia-nyiakan kesempatan yang mendadak muncul itu.
Tapi, tekad menemukan Arif lebih kuat, aku berharap akan ada kesempatan bercakap-cakap dengan Ustaz Hamzah yang segera dikirim Allah sebagai penggantinya.
Aku mempercepat gowesan menuju tempat yang ditunjuk Tante Zaitun.
“Jangan banyak bacot! Kita selesaikan sekarang!” Telinga ini mendengar teriakan itu ketika dalam jarak beberapa meter di depan, aku melihat tiga orang anak laki-laki sebayaku sedang mengeroyok Arip.
Aku menumpukan kekuatan pada kaki-kaki ini agar sepeda ini cepat sampai di kerumunan itu.
“Woi! Arip! Namamu Arip Hakim, Kamu mau jadi Arip Terdakwa?” teriakku memecah perhatian mereka.
Usahaku berhasil, keempat laki-laki sebayaku itu menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arahku.
Walaupun napasku memburu, tapi dengan tenang kuhentikan sepeda ini tepat di depan mereka.
Ketiga remaja laki-laki itu menatapku dengan remeh.
“Rayya!” seru Arif dengan ekspresi terkejut campur heran.
“Kalian nggak malu, satu lawan tiga?” seruku dengan tenang.
Aku mengenal tiga brandalan dadakan ini. Yang satu teman sekolahku ketika sekolah dasar. Dua lagi, aku hanya tahu mereka dari teman-teman.
“Cihh!” ejek berandal yang pernah menjadi teman sekolah dasarku.
“Kamu ke mesjid sana, jangan urusin kami!” perintah berandal itu dengan wajah remeh.