Beberapa bulan kemudian, seisi kantor sedang sibuk membicarakan berita kepulangan Maggy, yang mereka tahu akan tiba siang nanti. Meskipun rata-rata dari mereka merasa tidak senang atas kepulangan calon tunangan atasannya, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Zaya, benarkah jika Nona Maggy akan pulang hari ini?" tanya Siska saat mereka sedang makan siang di kantin.
"Iya, aku tahunya sih begitu," jawab Zaya sambil menyedot minumannya. "Tadi bos juga datang untuk menjemputnya?" lanjut Zaya.
"Lalu kenapa kau tak ikut? Biasanya kau juga selalu nempel pada bos, seperti prangko."
"Huss, Siska, jaga bicaramu. Ini tempat umum," bisik Zaya yang tidak ingin didengar oleh orang lain, karena nanti bisa jadi salah paham.
"Hehe, iya aku lupa." Siska malah cengir kuda. "Berarti tidak lama lagi kita akan punya atasan yang baru dong."
"Iya, Nyonya baru," Zaya tersenyum sendiri saat mengucap kalimat tersebut.
"Tapi kita yang merana," lirih Siska sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Zaya hanya tersenyum menanggapi hal tersebut, dia sangat tahu merana apa yang dimaksud Siska. Jika Maggy pulang, maka wanita itu akan sering ke kantor. Bahkan setiap hari. Padahal sudah jelas jika Maggy bukan siapa-siapa di sini, dia hanya kekasih Aland. Tapi sikapnya sudah seperti Nyonya Besar saja, padahal tunangan saja belum.
Banyak dari mereka yang tidak menyukai Maggy, karena Maggy angkuh dan suka marah-marah. Jika pun ada yang protes, maka Maggy tidak akan segan-segan menggunakan nama Aland untuk membungkam mulut mereka. Selama ini tidak ada yang berani berurusan dengannya, karena Maggy sangat lihai dalam memutar balikkan fakta.
"Lalu bagaimana denganmu?" Siska kembali bersuara setelah hening beberapa saat.
"Maksudnya?" Zaya menoleh ke arah Siska dengan raut wajah yang tidak mengerti.
"Bagaimana denganmu, Zaya? Kapan kau akan menikah juga?" ulang Siska dengan mengeraskan suaranya sedikit.
Zaya diam sejenak, kemudian berkata, "Siska, kamu sudah tahu kan jawabannya?" Zaya membuang muka dengan ekspresi yang malas.
"Zaya, aku tidak ingin kamu seperti ini terus." Nada bicara Siska sudah pelan jika melihat wajah Zaya seperti itu.
"Siska, tolong, aku tidak ingin membahas ini lagi. Jadi, please, diamlah!" pinta Zaya dengan tegas.
Siska adalah sahabat karib Zaya, mereka berteman sejak pertama kali kuliah dulu. Zaya bisa bekerja di sini adalah berkat Siska juga, gadis itu yang mendaftarkan dirinya.
Tidak ada yang tersembunyi di antara mereka berdua. Bagi Zaya, Siska lebih dari sekedar sahabatnya. Terkadang Siska bisa menjadi ibu yang menenangkan Zaya, dan menjadi kakak yang menjaga Zaya. Mereka sudah seperti keluarga sendiri, orang tua Siska juga sangat menyayangi Zaya, sama seperti anak mereka.
Jadi sudah pasti, apa yang dirasakan Zaya saat ini bisa dimengerti olehnya. Satu hal yang tidak Siska tidak mengerti, kenapa Zaya masih saja menunggu seseorang yang mungkin tidak akan pernah kembali lagi padanya. Keras Siska mencoba untuk menjelaskan hal tersebut pada Zaya, namun gadis itu selalu membantah dan mengatakan jika Siska tidak percaya pada takdir.
"Baiklah, aku diam."
Suasana kembali hening, mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Zaya sendiri sebenarnya sudah merasa lelah dengan harapan dan penantiannya. Namun, entah mengapa dia belum juga bisa membuka hati untuk yang lain.
"Hai!" sapa seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dan mengagetkan mereka berdua.
"Kak Edo!" pekik Siska yang terkejut dan tidak percaya dengan kehadiran kakaknya di sini. "Sedang apa di sini, Kak?"
"Biasa, bawa laporan."
Edo bekerja di salah satu cabang perusahaan Aland yang lain, setiap bulannya dia selalu kemari untuk membawa laporan. Setelah bertemu Aland tadi, Edo tidak langsung pulang. Saat melihat Zaya dan Siska yang sedang berada di kantin, Edo pun datang menghampiri mereka berdua.
Zaya melihat sekilas ke arah Edo tanpa ekspresi, setelah percakapan dengan Siska barusan, dia jadi malas berbicara dengan orang lain.
"Boleh aku bergabung?" Edo bertanya sebelum duduk.
"Boleh kok. Eh, tapi kita sudah selesai makan." Siska melihat ke piring yang sudah kosong.
"Tidak apa-apa, aku juga sudah makan kok." Edo tersenyum.
"Oh, baiklah."
"Zaya, kau kenapa?" tanya Edo saat melihat Zaya yang dari tadi hanya diam, bahkan seperti tidak menganggap jika Edo ada di sana.
Zaya tidak menyahut, melainkan dia sedang melamun.
"Hei!" Siska menepuk pundak Zaya yang membuatnya kaget.
"Eh, apa?" Zaya jadi gelagapan.
"Kamu kenapa melamun?" tanya Edo dengan kening yang mengerut dan memicingkan matanya.
"Ah, tidak ada. Siapa yang melamun," kilah Zaya berusaha untuk tersenyum, namun tetap saja raut wajahnya menyimpan seribu tanya bagi Edo.
"Tidak baik melamun di siang-siang bolong begini." Edo menatap Zaya penuh arti.
"Aku tidak melamun, Edo."
"Iya, iya." Edo tidak melanjutkan lagi, karena dia merasa jika Zaya seperti sedang malas bicara padanya. Alih-alih diperhatikan, Zaya malah merasa terusik ada Edo di sampingnya.
Mereka bertiga terlibat obrolan yang ringan, lebih tepatnya hanya Edo dan Siska saja yang bicara. Karena Zaya sendiri lebih banyak diam, hanya sesekali saja Zaya menanggapi dengan senyuman ringan seadanya.
Zaya sebenarnya sedang malas bicara dengan siapapun saat ini, apalagi dengan Edo. Pria yang sudah beberapa kali menyatakan cinta padanya, namun Zaya terus saja menolak. Bagi Zaya, kisah cintanya di masa lalu sudah cukup membuatnya berpengalaman dalam urusan hati. Apalagi dia sudah menganggap Edo seperti kakaknya sendiri, sama seperti Siska.
"Sis, ini sudah waktunya kita kembali." Zaya melihat jam di pergelangan tangannya, membuat kedua insan yang sedang mengobrol di sampingnya seketika berhenti.
"Oh, benarkah. Padahal kita baru saja istirahat," keluh Siska malas.
"Sudahlah, Siska, jangan malas begitu," tegur Edo.
"Iya, Sis, dengar apa kata Kakakmu. Giliran gajian aja kamu senangnya minta ampun." Zaya mendahului berdiri.
"Zaya, jangan buka aib dong," protes Siska dengan wajah cemberut.
"Makanya jangan malas."
"Iya deh, harus tetap semangat." Siska ikut berdiri yang kemudian disusul Edo.
"Sampai nanti, Zaya," ucap Edo sebelum mereka berpisah.
"Hmm," tanggap Zaya datar.
Kini, semua karyawan yang tadinya sedang istirahat berbondong-bondong kembali masuk ke ruangan kerja masing-masing.
"Kamu kenapa, Sya?" tanya Siska saat melihat Sasya yang sedang mengelap wajahnya.
"Aku sedang membersihkan wajah Siska, apa kamu tidak lihat," jawab Sasya sewot.
"Kenapa dibersihkan? Apa ada yang mengomentari riasan wajah kamu?" Siska menaikkan sebelah alisnya.
"Belum ada sih, tapi aku hanya menghindar dari komentar." Sasya menghembuskan nafasnya sejenak. "Ah, sial. Padahal ini bedak mahal."
"Maksud kamu?" tanya Siska yang belum mengerti.
"Siska, please deh, kalo lagi ngomong sama aku kamu itu harus cepat tangkap. Aku nggak mau ngomong detail!" tegas Sasya.
Siska menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Maksud Sasya supaya nanti Nona Maggy tidak mengomentari wajahnya," kata Melati yang tiba-tiba muncul.
"Oh." Siska memangut-mangut mengerti. Benar saja, karena hari ini Maggy pulang. Bisa saja dia langsung kemari nanti.
"Nah, itu Melati cepat tangkap," kata Sasya.
Semua orang di kantor sangat tau jika Maggy tidak suka jika para karyawan memakai riasan, bila dilihat-lihat riasan mereka juga tidak ada yang menor. Namun, tidak jarang Maggy selalu saja protes.
Mendengar perdebatan mereka membuat Zaya sedikit pusing. Akhirnya dia meminta izin pada mereka semua untuk segera kembali ke ruangannya.
"Nanti kita pulang bareng, ya!" teriak Siska saat Zaya sudah agak menjauh.
Zaya berbalik dan mengangguk, kemudian kembali melangkah. Kini langkahnya gontai tanpa arah, bukan ke ruangannya, juga bukan ke ruangan Aland. Melainkan Zaya pergi ke tempat biasa, di mana tempat tersebut sudah menjadi teman kesendiriannya sejak dia bekerja di Kantor Aland.
Sebuah tempat yang sunyi, yang Zaya yakin tidak pernah ada orang yang ke sana selain dirinya. Tempat ini berada di seberang ruangannya dan juga ruangan Aland. Bila berdiri di sini, pemandangannya bisa langsung terlihat ke arah sebuah pantai yang lumayan jauh. Tempat ini juga sejuk, angin tak hentinya bertiup.
Puas Zaya menyendiri, dia pun kembali. Saat ingin memasuki lift, tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Zaya!" panggil Siska dari belakang.
"Siska, kamu di sini?" Zaya tekejut dan menoleh.
"Iya, Zaya, mana mungkin aku sedang berada di luar angkasa."
"Kamu bisa saja," Zaya terkekeh. "Ada apa kemari?"
"Tadinya sih bukan aku yang mau menemui kamu, tapi Kak Edo. Berhubung Kak Edo buru-buru, jadi dia titip ini sama aku." Siska memberikan sebuah map berwarna biru dan beberapa berkas lainnya.
"Apa, ini? Banyak amat."
"Tau. Katanya dia lupa ngasih tadi sama bos."
"Baiklah, aku simpan ini dulu." Zaya menuju ruang Aland. Setelah menaruhnya di atas tumpukan map yang lain, Zaya kembali keluar.
"Kamu mau ke bawah?" tanya Siska.
"Iya, ada yang harus aku urus," jawab Zaya menutup pintu.
"Ayuk bareng!" ajak Siska yang dengan segera mengapit lengan Zaya.
Mereka berdua masuk lift.
"Siska!" panggil Zaya dengan suara yang sendu.
"Iya?" Siska menoleh.
"Apa aku masih pantas mengharapkannya?" tanya Zaya tiba-tiba. Dia masih memikirkan soal perbincangannya tadi siang dengan Siska.
"Zaya, kamu tahu sendiri kan, bahkan kita tidak tahu dia ada di mana sekarang."
"Hh, aku memang bodoh, Siska. Aku terus menunggu seperti ini," lirih Zaya sedih.
"Zaya, jangan seperti itu. Meskipun dia tidak ada ada di sini, tapi setidaknya aku selalu ada untukmu." Siska mengelus pundak Zaya.
"Siska, kamu pun sangat tahu apa yang aku butuhkan saat ini," kata Zaya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Namun, mengapa tahun ini pun masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya?" lirih Zaya dengan suara yang mulai serak.
Ting. Mereka sudah tiba di lantai 2. Obrolan mereka pun harus terputus di sana.
"Hapus air matamu Zaya, aku tidak ingin ada yang melihatmu sedih." Siska menyodorkan sapu tangannya. "Kamu kuat Zaya, jangan menunjukkan sikap seperti ini lagi!" tegasnya.
"Baiklah," kata Zaya dengan helaan nafas yang berat. Setelah air matanya disapu, Zaya mengembalikan sapu tangan Siska.
"Lihatlah! Bahkan kamu selalu tidak mencuci sapu tanganku," ucap Siska kesal.
"Aku tahu kamu sangat rajin mencuci, Siska." Zaya terkekeh dan segera berlari sebelum Siska meninjunya.
"Dasar!"