Taksi yang ditumpangi oleh Arletha, berhenti di depan rumah besar berlantai tiga dengan tipe klasik modern. Begitu sampai di depan pintu gerbang, ia disambut oleh satpam yang bertugas di rumah itu. Tentu saja Arletha mendapat sambutan hangat. Sebagai cucu pemilik rumah, kepulangan Arletha sangat dinantikan.
“Selamat siang Non Letha.”
Arletha tersenyum tipis seadanya. “Siang Pak Heru. Apa kabar?”
“Baik Non. Akhirnya Non Letha pulang juga. Saya senang sekali bisa melihat Non di sini.”
“Iya Pak. Saya masuk dulu, ya.”
“Biar saya bantu bawa kopernya Non.”
“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri, kok,” jawab Letha. “Oh iya, papi di rumah?”
Heru mengangguk. “Tuan di rumah, Non.”
“Baiklah. Saya mau masuk dulu, Pak. Selamat bekerja lagi.”
“Iya Non Letha.”
Pulangnya Arletha ke rumah, tidak ada yang tahu. Sebab ponselnya kehabisan baterai dan ia malas mengisinya. Semalam ia tidur di apartemen Valen. Menangis hingga lelah dan berujung pada matanya yang bengkak. Saat di jalan, ia masih bisa menutupi dengan kacamata, namun saat di rumah, ia tidak mungkin menutupi kondisinya. Yang ada di pikiran Arletha, ayah dan neneknya tidak akan curiga dan bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi kepadanya.
Rumah megah milik keluarga Rhajaksa nampak sepi tanpa terlihat ada penghuninya. Keadaan ini seperti sebuah keuntungan bagi Arletha. Kesempatan ini ia gunakan dengan baik untuk masuk dan pergi ke kamarnya tanpa ada yang melihat. Dengan begitu, ia bisa memperbaiki makeup-nya demi menyamarkan bengkak di mata.
“Arletha?”
Langkah kaki gadis itu terhenti. Baru saja berada di ujung tangga dan siap melanjutkan perjalanan ke kamar yang ada di lantai dua, tiba-tiba suara berat dari Andra, membuatnya diam. Terdengar derap langkah, memaksa Arletha menoleh ke belakang.
Terlihat pria dewasa namun tetap terlihat muda, tengah berjalan mendekati Arletha. Berpakaian olahraga yang membuatnya nampak begitu tampan. Wajahnya tegang dengan kening mengkerut.
“Papi?”
Andra sudah berdiri di depan Arletha. Matanya menatap tajam wajah sang putri yang sejak semalam membuatnya khawatir. Dan kini gadis itu muncul dengan raut wajah tidak bersalah.
“Arletha Sheinafia Rhajaksa, dari mana saja kamu? Papi telpon nggak bisa, ditunggu sampai pagi nggak datang juga. Kamu sudah lupa aturan sebagai anak Papi? Kamu harus pulang ke rumah setelah perjalanan jauh, bukan malah menghilang untuk merayakan ulang tahun pacar kamu. Dan mata kamu kenapa bengkak?”
Kalimat panjang yang terlontar dari pria itu, berhasil membuat hati Arletha tertohok. Bukannya kesal, justru merasa bersalah. Ia mementingkan Baskara sampai tidak pulang ketika sampai di Jakarta. Dan pada akhirnya, pengorbanannya berujung sia-sia.
“Papi.” Arletha melepaskan koper yang sejak tadi dipegang. Lalu melangkah singkat untuk mendaratkan pelukan kepada Andra. “Maafin Letha ya, Pi. Semalam karena capek, akhirnya tidur di apartemen Valen. Terus Letha bangun kesiangan karena jetlag, makanya baru pulang. Mataku bengkak mungkin karena kurang tidur dan capek,” jelasnya.
Andra terlihat menghela napas. Membalas pelukan putrinya dengan erat karena rindu yang begitu dalam. Meski marah, tetap saja ia sayang terhadap anak semata wayangnya.
“Papi nggak pernah ngelarang kamu mau melakukan apa pun. Tapi tolong, kamu juga pikirkan bagaimana khawatirnya Papi sama kamu, Letha.” Andra mengurai pelukannya. Namun tangannya masih memegang lengan putrinya. “Kamu izin kasih kejutan untuk Baskara, setelah itu kamu nggak bilang mau ke mana dan ngapain. Sedangkan posisinya kamu baru landing dari Paris tanpa pulang. Apa salah kalau Papi marah?” tanya pria itu.
Arletha hanya bisa menggeleng dan bibirnya terkatup sempurna tanpa bisa membalas pertanyaan ayahnya. Semua yang Andra katakan sangat masuk akal. Tetapi Arletha tidak sadar ketika melakukan kesalahan.
“Aku minta maaf, Pi. Ini terakhir kalinya aku buat Papi khawatir, nggak akan terulang lagi.”
“Janji, ya?”
“Janji.” Arletha mengambil tangan ayahnya, lalu mengaitkan jari kelingking mereka.
Andra menepuk pucuk kepala putrinya. “Ngomong-ngomong, Bas nggak antar kamu pulang?”
“Enggak, Pi.”
“Harusnya dia antar kamu pulang dan ketemu Papi. Setidaknya jadi pria bertanggung jawab, dong. Kamu pulang jam segini juga karena dia, masa nggak punya etika,” ucap Andra dengan sedikit emosi.
“Dia lagi sibuk, Pi. Lagian aku tidur di apartemen Valen, jadi lebih enak pulang sendiri.”
“Ya sudah, sekarang kamu mandi, setelah itu temui oma. Papi belum cerita kalau kamu pulang dan selesai dengan pekerjaan di Paris. Oh iya, jangan lupa makan, ya.”
Gadis itu mengangguk polos. “Iya Pi. Letha minta maaf karena buat Papi khawatir.”
“Iya Sayang.” Andra mencium kening anaknya dengan lembut. “Papi harus pergi karena ada undangan main golf sekaligus makan siang.”
“Iya. Hati-hati ya, Pi.”
Begitu Andra pergi dari hadapannya, Arletha kembali melangkah menuju kamarnya. Begitu masuk, ia disambut dengan aroma yang sangat dirindukan. Kamar yang sudah lama ditinggalkan namun tetap dalam keadaan rapi dan bersih. Rasa tenang dan senang hanya sesaat karena matanya menangkap potret dirinya bersama dengan Baskara. Arletha tertegun, mulai merasakan betapa sakit hatinya. Dadanya sesak mengingat apa yang ia lihat semalam.
“Jahat! Kamu jahat banget Baskara! Aku nggak akan pernah maafin pengkhianat seperti kamu.” Air mata Arletha kembali mengalir tanpa bisa dibendung. Semua fotonya bersama Baskara segera disingkirkan. “Kamu dan Vivi nggak berhak melakukan ini sama aku. Tunggu saja, kalian berdua pasti akan menyesal karna menusukku dari belakang!”
***
Arletha tengah menikmati makan malam pertama bersama dengan ayah dan juga neneknya. Sebagai anak yang tidak tinggal dengan orang tua lengkap, makan malam seperti ini tetaplah terasa hangat. Apalagi Arletha tidak merasa kekurangan kasih sayang, walaupun ayah dan ibunya memilih berpisah saat ia berumur tiga tahun.
“Jadi setelah kamu kembali, apa rencana kamu? Papi sudah tanya sebelum pulang, tapi jawaban kamu nggak memuaskan bagi Papi.”
Mendapat pertanyaan seperti itu di saat suasana hatinya tidak baik, membuat Arletha dilanda dilema. Ia tidak tahu harus mengatakan apa ketika orang yang memotivasinya kembali ke Indonesia, justru menghancurkan hatinya.
“Oma juga penasaran, kamu mau lanjut kuliah atau kerja,” ucap neneknya.
Arletha meletakkan sendok dan garpu yang digunakan untuk makan. Ia nampak menghela napas, sebelum akhirnya menjawab.
“Letha mau istirahat dulu, Pi, Oma. Mungkin seminggu, dua minggu atau bisa juga satu bulan. Ambil jeda sebelum nanti aku punya keputusan yang tepat, mau apa ke depannya.”
“Loh, kenapa kamu pulang tanpa ada persiapan atau rencana selanjutnya?” tanya sang nenek.
“Papi tahu kamu sudah punya rencana matang. Tapi apa terjadi perubahan setelah kamu di sini? Atau mungkin Baskara ajak kamu menikah?” tanya Andra.
Hati Arletha kembali nyeri mendengar nama Baskara masih disebut oleh ayahnya. Terang saja karena pria itu tidak tahu apa yang terjadi tentang hubungannya bersama Baskara.
“Enggak kok, Pi. Aku nggak akan nikah semuda ini. Intinya aku mau menikmati waktu dulu, setelah itu, aku bergerak untuk mewujudkan impianku bekerja sebagai MUA profesional dengan berbekal ilmu selama aku sekolah dan juga pengalaman bekerja di Paris,” jelasnya.
Andra menghela napas lalu mengangguk pelan. “Baiklah, Papi percaya sama kamu. Setidaknya mulai hari ini, Papi bisa melihat kamu setiap hari tanpa perlu merasa khawatir.”
“Oma juga pasti mendukung kamu, Sayang. Selain itu, Oma senang karena rumah ini tidak sepi lagi. Walaupun ada papi kamu, tapi dia sibuk ngurus stasiun tv. Oma lebih sering sendirian di rumah dan rasanya sedikit sedih.”
“Tenang Oma, mulai hari ini, ada Letha di sini. Dan Oma nggak akan kesepian lagi.” Gadis itu menyentuh lembut punggung tangan sang nenek. “Oma jangan sedih lagi, ya.”
Arletha berusaha tersenyum karena tidak ingin membuat orang tercintanya sedih disaat kepulangannya membawa kebahagiaan. Setidaknya untuk saat ini, keluarganya tidak perlu tahu bahwa kisah cintanya dengan Baskara sudah berakhir.
Di saat Arletha kembali menikmati makanannya bersama ayah dan nenek, tiba-tiba asisten rumah tangga yang bertugas mengurus pekerjaan di rumah itu, datang menghampiri meja makan.
“Ada apa Bi?” tanya Andra.
“Maaf Tuan, di depan ada tamu yang nyari Non Letha.”
Kening Arletha langsung mengkerut. “Siapa Bi?”
“Pacarnya Non, Den Baskara.”
“APA?”