9. BERAKHIR DALAM DEKAPAN RIVER

1288 Words
Mobil yang dikemudikan oleh Valen kini tengah berhenti di kawasan GBK, di mana kondisinya cukup ramai pengunjung. Entah apa yang diinginkan oleh Arletha, memintanya untuk datang ke tempat ini, padahal kondisi sudah malam. Tetapi temannya itu belum memberi alasan jelas sehingga membuat Valen penasaran sepanjang jalan. “Kamu mau ngapain di sini?” tanya Valen sambil membuka sabuk pengaman. “Jangan bilang mau cuci mata setelah tadi dibikin sepet sama duo hama.” Arletha menggeleng. “Aku mau joging. Mau buang energi negatif yang aku dapat.” “Hah?” “Kenapa kaget? Nggak ada yang salah, kan?” tanya Arletha dengan raut wajah masih nampak dingin. “Lagi pula tempatnya belum tutup. Jadi aku mau olahraga di sini. Setidaknya tempat ini lebih baik untuk pelampiasan daripada pergi ke klub atau bar,” sambungnya. “Ta, kamu serius mau joging di sini? Masih ada tenaga?” “Masih,” jawabnya. Arletha menoleh, lalu mengulas senyum meski tipis. “Kamu nggak usah ikut, Val. Aku sendiri nggak apa-apa, kok. Di sini juga rame, jadi nggak mungkin ada yang jahil.” Valen menghela napas pelan. “Jujur, aku mau banget nemenin kamu di sini. Tapi mamaku sudah nelpon, jadi aku harus pulang tepat waktu.” “Nggak masalah. Kamu juga ada urusan penting, jadi pulang saja.” “Kamu yakin baik-baik saja, Ta?” “Karena lagi nggak baik-baik saja Val, makanya aku di sini. Semua emosiku harus keluar, sebelum nanti pulang ketemu papi dan oma.” “Ya sudah, sebaiknya tas gym tetap di mobilku. Kamu bawa yang memang perlu saja biar jogingnya enak dan nyaman. Arletha mengangguk pelan. “Iya, kamu tenang saja.” “Mana bisa, aku tetap khawatir sama kamu. Pokoknya kalau ada apa-apa, telpon aku, ya. Dan satu lagi, jangan sedih lagi karena Bas dan Vivi. Mereka harus lihat kalau kamu hidup dengan baik dan juga bahagia,” jelas Valen. “Iya Val. Semoga urusan perjodohan kamu juga lancar.” Valen berdecak sebal. “Nggak usah ungkit itu. Malah aku berharap semuanya berantakan dan aku nggak perlu terlibat dalam urusan perjodohan nggak jelas.” *** Setelah berpisah dengan Valen, Arletha lantas pergi ke jalur khusus yang digunakan untuk joging. Meski malam, orang-orang justru ramai memanfaatkan fasilitas ini untuk olahraga. Masih ada waktu kurang lebih satu jam, sebelum tempat ini ditutup. Arletha melihat ke sekitar sambil mengambil napas dalam-dalam dan sedikit pemanasan. Sebenarnya sejak tadi ia sudah tidak bisa menahan gejolak di dalam hatinya dan rasa ingin menangis terlalu kuat. Tetapi ia berusaha tenang, meski membuat dadanya semakin sakit. “Aku nggak mungkin cemburu sama mereka. Dan aku nggak peduli apa yang mereka lakukan,” gumamnya. Setelah kembali meyakinkan diri, Arletha mulai melangkahkan kakinya. Memulainya dengan pelan dan berusaha menikmati suasana. Sambil mendengarkan musik dari earbuds. Kegiatan semacam ini bukan hal baru bagi Arletha. Saat masih di Paris, ia sering melakukannya. Bukan hanya sekadar mencari keringat tapi juga menenangkan pikiran yang sedang merindukan ayah dan neneknya. Lalu lalang orang seperti tidak menjadi pengganggu bagi Arletha. Sekuat tenaga untuk fokus, namun ternyata cukup sulit baginya. Kenangan manis bersama Baskara mendadak muncul. Menggetarkan hatinya yang masih sakit. Lalu kejadian beberapa waktu lalu hingga harus menerima kenyataan jika pria itu mengkhianatinya. Cinta Baskara terlalu rapuh untuk mendapatkan ujian. Susah payah menegakkan kepala dan menenangkan hati, nyatanya pertahanan Arletha runtuh. Air mata yang sejak tadi dibendung, justru perlahan mengalir di pipinya. Tangannya dengan cepat mengusap sambil terus berlari sekuat tenaga. Tetapi Arletha tetap gadis biasa, yang hatinya sakit jika terluka. “Nggak boleh nangis, Letha. Bas dan Vivi tersenyum bahagia, lalu kenapa kamu harus kembali bersedih?” ucapnya keras. Semakin kuat Arletha berlari, semakin sakit juga hatinya setiap mengingat semuanya. Air matanya berderai, lalu tangannya dengan cepat mengusap dan begitu seterusnya. Arletha seperti tidak peduli ketika beberapa orang sadar jika ia sedang menangis. Meski mencoba berlindung dari topinya, wajahnya yang basah masih saja terlihat jelas. “Bahkan mereka dengan kompak menyalahkan aku atas tindakan mereka. Kenapa orang selingkuh selalu cari kambing hitam dan nggak mau disalahkan?” Arletha berteriak demi membuat hatinya merasa lebih lega. Namun pada akhirnya langkah kakinya berhenti. Napasnya berat dan dadanya semakin sesak. Ia berdiri dengan badan membungkuk. Dengan isak tangis yang sulit untuk dikendalikan. “Arletha? Kamu kenapa?” Sepasang kaki tengah berdiri di hadapannya. Suara yang baru saja menyebut namanya pun, sangat Arletha kenal. Perlahan ia menegakkan badannya, sambil mengusap air mata. Dengan hidung merah dan kedua mata basah, ia melihat sosok pria dewasa yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Ada apa? Kenapa kamu nangis di sini?” “Om River.” Begitu dugaannya benar, tanpa mengatakan kalimat lainnya, Arletha berlari ke arah River. Tidak peduli bagaimana tanggapan pria itu, Arletha datang dengan menghamburkan pelukan. Tubuh River yang berkeringat, tidak masalah bagi gadis itu. Ia hanya butuh tumpuan, saat merasa semuanya tidak baik-baik saja. “Arletha …” River terdiam dengan tubuh kaku. Namun perlahan, tangannya terangkat, membalas pelukan Arletha. Merasakan tubuh gadis itu bergetar karena menangis. Hal ini semakin membuatnya khawatir. “Arletha, sebenarnya kamu kenapa?” tanya River hati-hati. “Om, sebentar saja. Biarin aku seperti ini. Aku janji, setelahnya nggak akan bikin Om River susah,” ucap Arletha dengan suara sengau. “Baiklah, silakan lakukan yang kamu mau. Asal perasaan kamu jadi lebih baik.” Dalam pelukan River, yang Arletha rasakan adalah sebuah ketenangan. Apalagi tangan pria itu menepuk pelan punggungnya, seperti yang sering Andra lakukan. Rasa nyaman dan terlindungi, perlahan membuat hatinya menghangat. Kesedihan dan sesak yang sejak tadi menyerang, perlahan menghilang, meski tidak sepenuhnya. Setelah hampir 10 menit memeluk River hingga menjadi pusat perhatian, akhirnya Arletha mengurai pelukannya. Kepalanya mendongak, memastikan pria itu tidak kesal atas tindakan yang tiba-tiba. “Sudah merasa lebih baik?” tanya River dengan sorot mata khawatir. Arletha mengangguk pelan dengan mata masih berkaca-kaca. “Maaf ya Om. Harusnya aku nggak kayak gini. Pasti Om River kaget dan malu.” Kedua tangan River terangkat, lalu merangkumnya wajah Arletha dengan lembut. “Saya nggak malu tapi kaget iya. Tiba-tiba ketemu kamu di sini dalam keadaan nangis. Saya khawatir kamu kenapa-kenapa.” Mendengar nada khawatir dan juga raut wajah yang cemas dari River, seketika membuat bibir Arletha membentuk bulan sabit ke bawah. Awalnya sudah berusaha tegar, kini hatinya kembali sedih. Sikap River benar-benar seperti Andra hingga Arletha sulit untuk menutupi kekacauan yang tengah bergejolak di dalam dirinya. “Hei, kenapa nangis lagi?” River mengusap air mata yang kembali jatuh dengan jari tangan. “Sebaiknya kita pergi ke tempat lain. Di sini terlalu ramai dan kamu jadi perhatian orang-orang.” Arletha mengikuti apa yang River katakan tanpa ada niat menolak. Tangannya digenggam erat oleh pria itu, lalu diajak pergi ke parkiran mobil. Dengan penuh perhatian, River meminta Arletha untuk masuk ke dalam pria itu. Memastikan jika anak dari teman baiknya dalam keadaan aman dan nyaman. “Kalau kamu mau nangis lagi, bisa lakukan di sini. Nggak akan ada yang lihat, jadi jangan merasa malu.” Dalam keadaan wajah tertunduk, Arletha kembali menangis. Sejujurnya ia sangat benci menjadi seperti ini. Tetapi River berhasil membuat emosi yang sempat mereda, kembali ke permukaan. Seperti sedang meminta Arletha untuk mengeluarkan semua energi negatif, sehingga sepenuhnya membaik tanpa ada sisa perasaan yang mengganjal. “Saya ada di sini, menemani kamu, Arletha. Jadi jangan khawatir dan merasa sendirian.” Tangan River terulur, lalu menggenggam tangan Arletha. “Luapkan semuanya dan jangan biarkan rasa sedih itu menguasai kamu.” Jantung Arletha berdegup kencang saat tangannya digenggam oleh River. Ia pikir, berakhir dalam dekapan pria itu sudah membuat jantungnya berdetak tidak normal. Tetapi sentuhan ini, membuatnya merasa ada yang aneh pada reaksi tubuhnya. Lalu, perlahan Arletha mengangkat wajahnya, kemudian menatap pria di sebelahnya. River benar-benar dewasa dalam menghadapi sikapnya yang menurut Vivi sangat kekanak-kanakan. “Om River ..., sebenarnya aku lagi patah hati.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD