13. PESONA PRIA MATANG

1782 Words
“Loh …loh, kok mati?” Arletha nampak panik ketika mobil yang sedang ia kendarai, tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia mencoba menyalakin mesin mobilnya, namun hasilnya nihil. Untungnya ia mengemudi sedikit di pinggir, sehingga tidak mogok di tengah jalan yang bisa menyebabkan kemacetan. Tetapi raut cemas tidak beranjak, hingga ia turun dari mobil milik ayahnya. Begitu keluar dari kendaraannya, Arletha berinisiatif membuka kap mesin mobil. Melihat bagian mesin yang sama sekali tidak ia pahami. Matanya menatap bingung, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada mobil ini. “Aku nggak ngerti urusan mesin. Dan ini juga bukan mobilku, jadi mana aku tahu masalahnya ada di mana,” gerutunya. Tidak ingin ambil pusing karena kondisi sudah mulai gelap, Arletha segera menghubungi ayahnya untuk menyampaikan masalah pada mobil. Tentu saja ia akan merepotkan Andra karena memang pria itu yang paham mengenai mobil yang Arletha gunakan. “Baiklah, kita tunggu sebentar. Semoga orang bengkelnya nggak perlu waktu lama untuk datang ke sini,” gumamnya. Arletha memutuskan untuk menunggu di dalam mobil. Agar tidak bosan, ia memainkan ponselnya. Membuka sosial media lalu mengunggah beberapa foto saat ini di gym bersama dengan Valen. Ia juga membalas beberapa pesan yang masuk ke sosial medianya yang lebih banyak dari teman-temannya saat berada di Paris. Raut wajah Arletha berubah ketika melihat unggahan gambar dari temannya ketika bekerja di Paris. Berfoto bersama dengan salah satu model terkenal dan nampak sangat senang. Ada rasa iri yang menyeruak dan membuat Arletha sedikit menyesal. Gadis itu menghela napas, lalu menutup sosial medianya dan menyimpan kembali benda pipih itu ke dalam tas. Berusaha mengulas senyum dan menenangkan diri. “Tenang Arletha, jangan merasa iri atau menyesal. Semuanya sudah diputuskan, jadi kamu harus bersabar. Aku harus yakin, kalau di sini pun akan ada banyak kesempatan yang bisa aku ambil. Mimpiku pasti bisa terwujud, meski tidak di Paris,” ucapnya menguatkan diri. Saat sibuk merenungi semuanya, kedua mata Arletha tertuju pada bangunan besar yang tidak jauh dari tempatnya kini. Membaca papan nama yang begitu terang dengan mata menyipit. “Aku baru sadar kalau ada supermaketnya om River,” gumam Arletha. Lamunan Arletha buyar ketika mendengar suara ketukan pada kaca mobilnya. Ia terkesiap dengan wajah panik. Namun segera ingat jika ia sedang menunggu montir yang dikirim oleh sang ayah. Ia lantas menurunkan kaca mobilnya. “Mbak Arletha, anaknya Pak Andra?” “Iya Mas,” jawab Arletha. Ia segera membuka pintu mobilnya dan turun. “Mas orang bengkel ya?” “Iya, saya yang ditelpon Pak Andra untuk benerin mobilnya.” “Coba cek dulu, Mas. Kira-kira butuh waktu lama atau bisa cepat.” Pria muda itu mengangguk paham. “Baik Mbak.” Arletha menunggu dengan sabar. Ia berharap jika tidak ada masalah serius dan mobilnya bisa dibawa pulang. “Mbak, mobilnya nggak bisa selesai sekarang. Saya nggak bawa alat yang lengkap jadi harus dibawa ke bengkel.” “Oh begitu. Ya sudah, Mas urus saja. Nanti saya telpon papi buat kasih tahu kondisinya,” ucap Arletha. “Baik Mbak.” Arletha memutuskan untuk berjalan kaki menuju supermarket milik keluarga River. Sambil membawa tas gym serta mengenakan jaket, langkah kakinya cukup berat. Maklum saja, ia baru selesai berolahraga yang cukup berat, sehingga tenaganya cukup terkuras. “Mumpung ke sini, aku beli stok buah kesukaanku. Siapa tahu nemu makanan yang enak, bisa sekalian beli,” gumamnya. Begitu sampai di tempat tujuan, Arletha mengambil troli untuk menyimpan barang yang akan dibeli. Tujuan pertama adalah ke tempat buah dan memilih buah kesukaannya yaitu stroberi dan blueberry. Setelah selesai, ia lanjut ke tempat yang memajang berbagai jenis yogurt. Belanjaan Arletha saat ini hanyalah makanan sehat untuknya. Tentu saja tidak membeli kebutuhan yang lain karena sudah ada ART yang melakukan pekerjaan itu. Saat hendak membayar, pandangan gadis itu menangkap sosok yang tidak asing. Arletha pun terdiam memperhatikan beberapa orang yang tengah berjalan ke arahnya. Menatap dalam diam, bagaimana pria tampan dengan pakaian rapi, begitu tenang melihat keadaan supermarket. Sungguh, Arletha tertegun melihat ketampanan River. “Om River,” ucapnya dengan suara kecil. Tidak perlu menunggu lama, River pun menyadari akan keberadaan Arletha. Pria yang awalnya tenang dan berwibawa, langsung menyunggingkan senyum saat mendapati keberadaan Arletha. River nampak bicara dengan orang yang mungkin menjadi karyawannya. Tidak lama, orang-orang itu pergi meninggalkan River. Mendadak Arletha merasa gugup saat melihat River berjalan gagah menghampirinya. Pria itu masih dengan senyumnya yang manis, membuat siapa saja yang melihat pasti menjadi salah tingkah. “Arletha, kita ketemu lagi,” ucap River. Tangan Arletha terangkat, lalu mengusap tengkuknya karena gugup. “Hai Om. Iya ya, nggak nyangka ketemu di sini. Om River lagi inspeksi, ya?” Pria itu mengangguk. “Iya. Harusnya saya sudah pulang, tapi iseng singgah sebentar.” “Wah, pasti pada panik tuh karena pak bos sidak dadakan,” ucap Arletha sambil tersenyum. “Ah, enggak juga. Mereka sudah tahu kebiasaan saya, jadi seharusnya tanpa menunggu saya cek, mereka sudah tahu apa tugasnya,” ujar River. Pria itu lantas memperhatikan penampilan Arletha. “Kamu habis olahraga?” “Iya. Baru pulang dari gym terus tiba-tiba mobilnya mogok dan kebetulan dekat sini. Jadi mampir sekalian belanja, terus pulang.” “Mobil kamu?” “Sudah dibawa sama orang bengkel langganan papi karena aku pakai mobilnya papi,” jawabnya. “Kalau begitu kamu pulang sama saya saja. Gimana?” Arletha menggeleng. “Nggak usah, Om. Aku tahu Om River capek, jadi aku pulang naik taksi saja.” “Nggak ada kata capek kalau untuk anak sahabat saya,” ujarnya. “Tapi saya mau minta tolong sama kamu.” “Apa Om?” “Temani saya makan malam. Kebetulan saya sangat lapar, jadi sebelum antar kamu pulang, kita bisa makan dulu?” Arletha diam sejenak sambil berpikir. Tidak lama, gadis itu terdengar menghela napas pelan. “Oke, tapi aku yang traktir ya. Anggap saja ini ucapan terima kasih karena beberapa kali Om River nolongin aku.” “Boleh, dengan senang hati saya terima.” *** Arletha dan River memutuskan untuk pergi ke restoran sushi yang terkenal dengan makanannya yang enak. Mereka duduk di berhadapan, berbincang-bincang sambil menunggu pesanan datang. Yang memilih tempat ini adalah Arletha dan River setuju saja. “Saya sedikit menyesal karena nggak tahu kalau kamu tinggal di Paris. Kalau saja ponsel saya nggak hilang dan bisa berkomunikasi dengan papi kamu, mungkin kita bisa ketemu di sana.” Arletha tersenyum. “Tapi kita pasti sama-sama sibuk, Om. Susah kalau mau ketemu.” “Mungkin. Saya juga jarang bisa santai. Paling ke bar kalau ada teman yang ajak. Selain itu, saya sudah capek dan lebih senang tidur.” Minuman mereka sudah datang. Arletha nampak antusias karena sejak tadi mehana haus. Namun semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Tiba-tiba gelas yang berisi minuman dingin, yang akan diletakkan di atas meja, terjatuh dan isinya tumpah ke jaket milik Arletha. “Ya Tuhan!” jerit Arletha kaget. “Maaf Mbak, saya tidak sengaja. Saya benar-benar minta maaf.” Waitress yang melayani mereka terlihat sangat panik dan takut. Bahkan beberapa kali membungkuk sambil merapikan kekacauan yang terjadi. Dan meja yang ditempati Arletha serta River menjadi pusat perhatian pengunjung lain. “Nggak apa-apa, Mbak. Cuma basah saja kok, jadi berhanti minta maaf,” ucap Arletha. “Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Mohon tunggu sebentar, biar saya bawakan lagi minumannya. Sebaiknya Mbak dan Mas pindah meja karena lantainya basah.” Arletha mengangguk sambil mengulas senyum. “Iya, tenang saja.” River sejak tadi diam tapi mengamati dan memperhatikan apa yang terjadi. Awalnya terkejut dan berpikir Arletha akan murka. Tetapi sangat mengejukan, gadis itu nampak tenang dan ramah. “Jaket kamu basah,” ucap River khawatir. “Iya Om. Basahnya cukup banyak dan sampai ke dalam.” Arletha segera membuka jaketnya karena tidak memungkinkan untuk dipakai. Namun hal ini justru mengejutkan River karena Arletha hanya memakai sport bra yang cukup terbuka bagian dadanya. “Sebaiknya kamu pakai ini.” Dengan cepat River membuka jasnya, lalu memberikannya kepada Arletha. “Kamu bisa masuk angin kalau pakai pakaian terbuka,” sambungnya. Sikap perhatian River membuat Arletha malu. Ia baru sadar jika pakaiannya tidak cocok diperlihatkan di hadapan pria dewasa di hadapannya. “Terima kasih Om.” Makan malam dilalui dengan perasaan senang. Keakraban keduanya tidak perlu diragukan lagi. Sepanjang menikmati menu makanan, Arletha dan River membicarakan banyak hal. Sampai tidak terasa waktu berlalu dan mereka harus pulang. “Om River makasih sudah kasih tumpangan pulang. Dan jasnya, aku balikin nanti kalau sudah dicuci.” River mengangguk pelan. “Iya, santai saja. Makasih juga untuk traktiran malam ini.” “Iya Om.” Arletha membuka sabuk pengamannya, namun nampak kesulitan. “Susah ya?” tanya River. “Sini, biar saya yang bantu.” Posisi yang begitu dekat denga River, membuat Arletha menahan napas. Jantungnya berdegup kencang ketika pria itu fokus membantunya membuka sabuk pengaman. Sungguh, tubuh Arletha mendadak panas dan gelisah. “Sudah selesai,” ucap River. Pria itu tersenyum saat masih dalam posisi dekat dengan wajah Arletha. “Maaf kalau seatbelt-nya sedikit menyebalkan.” Arletha menggeleng tegang. Bagaimana bisa pria di sebelahnya selalu berhasil membuat dadanya berdebar tidak biasa. “Nggak apa-apa, Om.” “Salam sama papi dan oma.” “I-iya. Nanti aku sampaikan.” Tangan Arletha membuka pintu mobil dan bersiap turun. Namun tiba-tiba kembali berbalik, menatap River yang juga melihatnya dengan senyum teduh. “Ada yang ketinggalan?” tanya River. Arletha menggeleng. “Kalau aku panggil Mas River, apa Om keberatan?” Pertanyaan Arletha tidak langsung ditanggapi oleh River. Pria itu terdiam dengan sorot mata yang tidak beranjak dari wajah Arletha. Sikapnya ini membuat suasana di dalam mobil menjadi canggung. Arletha mengigit bibir bagian bawah. Sangat gugup dan tegang ditatap dalam diam. Ia merasa tidak enak karena pertanyaannya mungkin membuat River tersinggung. “Maaf Om, bukannya nggak sopan. Tapi kalau Cuma manggil nama, malah itu lebih nggak sopan. Tapi kalau panggil dengan sebutan om di tempat umur, orang jadi mikir sinis. Dipikir aku ini sugar baby.” Sontak River menggeleng dengan raut wajah berubah tenang dan ramah. “Kenapa minta maaf? Saya belum kasih jawaban apa-apa.” “Ya Om River diam, jadi aku pikir tersinggung.” “Tidak Arletha, saya Cuma kaget dengan keinginan kamu. Tapi saya justru senang, panggilan Mas terkesan kita sangat dekat.” “Jadi nggak apa-apa?” River menggeleng. “Tentu saja tidak. Silakan panggil saya senyaman dan sesuka kamu.” “Kalau begitu, aku pamit ya, Mas. Sampai jumpa lagi,” ucap Arletha malu-malu. “Good night, Letha,” balas River. Arletha melangkah masuk ke rumahnya dengan perasaan ringan. Bibirnya terus menebarkan senyum, dengan dadanya yang berdebar. Perasaan yang selalu muncul ketika selesai bersama dengan River. Dan ia merasa sangat bahagia. “Kuat-kuat ya, Letha. Pesona pria matang ternyata nggak main-main. Kamu harus kuat mengendalikan diri sebelum nanti terjebak dan sulit untuk berpaling,” bantinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD