7. PEMBAWAAN YANG DEWASA

1438 Words
Jantung Arletha berdegup tidak biasa ketika mendengar sebuah suara yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya duduk. Dari sudut matanya, ia melihat sepasang kaki berbalut sepatu hitam dan celana kain berwarna senada. Tentu saja ia bisa memastikan jika yang sedang berdiri di dekat mejanya adalah sosok River. Apalagi Arletha masih ingat jelas, bagaimana suara berat pria dewasa yang tidak lain adalah teman baik ayahnya. “Sepertinya saya mengganggu kamu.” Arletha segera menegakkan kepalanya dan melihat langsung River yang menatapnya. Pria itu tersenyum ketika mereka beradu pandang. Sosok yang memiliki wajah tampan dan juga pembawaan tenang. Bahkan dalam balutan pakaian formal, tidak memperlihatkan bahwa River sosok yang kaku namun justru berwibawa. “Om River?” Arletha sedikit panik. “Aku kira Om nggak ngomong sama aku. Silakan kalau Om mau duduk di sini,” ucapnya lagi. River menarik kursi kayu dengan alas empuk berwarna putih. Duduk berhadapan dengan Arletha tanpa rasa sungkan. Dan seakan senang saat mendapatkan izin dari Arletha. “Tadi saya pikir bukan kamu. Tapi setelah dilihat lagi, ternyata penglihatan dan ingatan saya masih berfungsi dengan baik,” balas River. “Kamu sendirian atau lagi nunggu teman?” “Aku sendirian. Temanku yang kemarin lagi sibuk, jadi dia nggak bisa ikut. Mumet juga diam di rumah, makanya ke sini,” jawab Arletha. “Om River kok bisa ke sini? Memangnya nggak kerja?” “Kerja. Saya baru dari supermarket di belakang gedung Eleven. Rencana mau mampir ke kantor papi kamu, tapi katanya lagi meeting.” Arletha mengangguk karena ia juga tahu hari ini jadwal ayahnya sedang padat. Itu juga salah satu alasan kenapa tidak mampir ke gedung Eleven. “Ngomong-ngomong Om River kerja di supermarket?” tanya Arletha polos. “Iya, saya kerja di supermarket,” jawab pria itu. “Kenapa? Papi kamu nggak pernah cerita ya?” Gadis itu menggeleng pelan. Lalu mengambil minuman miliknya, kemudian menyesap pelan. “Papi belum pernah cerita soal Om River. Jarang juga cerita soal teman-temannya, makanya aku nggak tahu kalau Om River temannya papi.” Obrolan keduanya terhenti sejenak karena kopi pesanan River sudah diantarkan oleh Freya. Tercium aroma kopi hitam yang khas, membuat siapa saja ingin segera mencicipi. “Silakan dinikmati,” ucap Freya ramah. River mengangguk. “Terima kasih.” Lantas pria itu menyesap pelan kopi dalam cangkir yang masih mengepulkan asap. Arletha pun melakukan hal yang sama, demi mengurai rasa canggung karena harus berduaan dengan River. “Soal tadi, saya memang kerja di supermarket.” “Kalau boleh tahu di bagian apa?” Jelas pria itu pasti punya pekerjaan yang menjanjikan, secara pernah kuliah dengan ayahnya di kampus terkenal. Apalagi River juga baru kembali dari Paris. Dan penampilannya nampak seperti pengusaha dengan tingkat kesuksesan yang tidak main-main. Intinya Arletha menebak kalau River bukan orang sembarangan. Sambil menunggu jawaban, Arletha melihat River mengambil sesuatu dari saku jas hitam yang dikenakan. Tidak lama, tangan pria itu mengulurkan sebuah kertas berukuran kecil kepada Arletha. “Ini kartu nama saya, Arletha. Ada nomor hape dan juga pekerjaan saya.” Masih dengan raut wajahnya yang polos, Arletha menerima kartu nama milik River. Kedua matanya membola ketika tahu jika pekerjaan pria itu bukan hanya sekadar karyawan supermarket. “Jadi Om River yang punya Calla Grup? Yang supermarketnya ada di mana-mana?” River menggeleng pelan. “Bukan saya tapi orang tua saya. Saya hanya bekerja di sana.” Arletha berdecis dengan kedua mata menyipit. “Bekerja sebagai CEO, iya kan?” “Baiklah, sepertinya sudah cukup mewawancarai saya soal pekerjaan. Sekarang saya yang tanya, apa malam itu kamu kena marah dari papi kamu?” Ditanya dan diingatkan akan kesalahan yang diperbuat, sontak membuat wajah Arletha memerah. Demi menyembunyikan rasa tidak nyamannya, ia mencicipi lemon cake yang sejak tadi masih utuh. “Saya kepikiran soal itu. Dan rasanya nggak enak karena saya membongkar rahasia kamu.” “Nggak apa-apa kok, Om. Kalau papi marah, itu hal yang sangat wajar. Tapi semuanya sudah selesai, jadi nggak perlu merasa nggak enak.” “Syukurlah. Tapi saran saya masih sama, jangan pergi ke tempat seperti itu, apalagi sendiri. Karena kalau mabuk, kamu nggak akan bisa apa-apa. Lagipula, anak gadis nggak bagus main ke tempat yang nggak aman. Kalau mau cari hiburan, ada banyak hal positif yang bisa kamu lakukan.” Seketika rasa malu tidak bisa Arletha sembunyikan. Dinasihati oleh orang yang cukup asing, sedikit menjengkelkan tapi juga membuatnya sadar jika sebelumnya ia memang melakukan hal bod0h hanya karena seorang pria seperti Baskara. “Apa kamu lagi ada masalah, makanya pergi ke klub dan minum sampai mabuk?” Arletha segera menggeleng. “Enggak!” Suara keras gadis di hadapannya sedikit mengagetkan River. Pria itu sampai tidak bisa menahan senyum melihat wajah panik Arletha. “Baiklah, saya percaya. Kamu jangan tegang begitu.” “Siapa yang tegang? Pertanyaan Om River yang aneh,” ucap Arletha ketus. “Kalau begitu saya minta maaf. Pertanyaan saya juga cukup sensitif untuk ditanyakan, padahal kita baru kenal.” Melihat River begitu tulus, membuat Arletha merasa tidak enak. Reaksinya terlalu berlebihan, padahal pertanyaan pria itu tidak terlalu penting. “Iya Om, dimaafin kok.” “Oh iya, saya boleh minta sesuatu sama kamu?” “Hah? Minta apa, Om?” Arletha cukup kaget mendengar pertanyaan River. Pikirannya langsung berkelana. Mengingat tentang pria dewasa yang suka mencari mangsa. Memperdaya gadis-gadis untuk diajak melakukan sesuatu yang tidak baik. Dan entah kenapa, tiba-tiba Arletha berpikiran buruk terhadap teman ayahnya. “Jangan salah paham. Saya Cuma minta sama kamu jangan panggil saya om. Cukup River saja karena rasanya lebih nyaman.” Permintaan ini lebih gila dari yang Arletha bayangkan. “Jangan Om. Kalau papi dengar, bisa-bisa aku kena marah.” “Nggak akan. Nanti saya yang kasih tahu papi kamu kalau saya yang minta dipanggil River,” ujarnya. “Lagi pula, umur saya tiga tahun di bawah papi kamu. Jadi, saya belum terlalu tua untuk dipanggil om sama gadis seumuran kamu.” “Jadi umur Om River 36 tahun?” Pria itu mengangguk. “Iya. Jadi alasan saya cukup kuat, kan?” “Tapi Om …” Belum selesai memberi argumen, tiba-tiba ponsel pria itu berdering. Perhatian River pun teralihkan dengan segera menjawab telepon yang sepertinya cukup penting. Arletha diam, berpura-pura tidak mendengar percakapan pria itu dengan seseorang di seberang sana. Ia mencoba sibuk dengan pikirannya, mempertimbangkan permintaan dari teman ayahnya. “Arletha, saya harus segera kembali ke kantor,” ucapnya. River lantas beranjak dari duduknya, lalu berjalan mendekati Arletha. “Saya senang bisa ketemu dan ngobrol sama kamu. Kapan-kapan kita bisa lakukan lagi.” “Iya Om.” River tersenyum. “Dan semoga kalau kita ketemu lagi, kamu sudah bisa panggil nama saya tanpa embel-embel om.” Tangan pria itu terangkat, lalu mengusap pelan pucuk kepala Arletha. Gadis itu sedikit mendongak, melihat bagaimana wajah River yang tampan karena senyum yang terus mengembang. Dan entah kenapa, perasaan canggung semakin kuat terasa, saat tangan besar itu masih menyentuhnya. “Kalau nanti kamu butuh teman cerita, hubungi saya. Jangan pernah cari pelarian ke tempat berbahaya. Oke?” Arletha mengangguk kaku. “Iya Om. Terima kasih.” “Baiklah, saya pergi dulu. Salam untuk papi kamu.” “Nanti aku sampaikan.” Arletha menatap kepergian River yang meninggalkan Oak Tree Café. Pikirannya masih mencerna apa saja percakapan yang ia lakukan dengan pria itu. Sikap hangat River cukup membuat Arletha rileks, padahal awalnya ia menghindari teman ayahnya. Ditambah permintaan River yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan yang semestinya, cukup membuatnya heran. “Seumur-umur aku nggak pernah kenal sama temannya papi. Sekalinya kenal, ternyata cukup menyenangkan. Aku kira pikirannya kolot, ternyata enggak,” gumamnya. “Pacar kamu?” Suara Freya mengejutkan Arletha yang tengah melemparkan pandangan keluar jendela. “Ya ampun, kaget.” “Maaf. Aku Cuma mau beresin cangkir kopinya.” “Dia bukan pacarku, tapi dia teman papiku.” Freya cukup kaget. “Oh iya? Berarti papi kamu masih muda?” “Iya. Papiku masih muda. Kalau kamu ketemu papiku, pasti mikir dia belum punya anak sebesar aku.” “Berarti awet muda, ya,” gumam Freya sambil membersihkan meja. “Cowok tadi aku pikir pacar kamu. Soalnya aku lihat kalian akrab sekali. Dan dia nggak berhenti senyum dan menatap kamu.” “Kami baru kenal, jadi mungkin sifatnya memang ramah.” “Baru kenal tapi sudah seakrab itu, berarti kamu nyaman buat diajak ngobrol.” Arletha hanya tersenyum tanpa bicara lagi. Tetapi dalam hatinya mendadak penasaran, benarkah apa yang dikatakan oleh Freya. Karena saat dulu masih bersama Baskara dan saat bertemu, pria itu terkadang asik dengan ponsel. Alasannya terlalu bosan mendengarkan ocehan Arletha yang seakan tidak ada habisnya. “Om River beda dengan Bas. Tapi mungkin karena faktor umur, jadi pembawaan Om River lebih dewasa,” batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD