Saatnya pulang akhirnya tiba. Tubuh Ahmad semakin menggigil. Ahmad sendiri heran dengan keadaan tubuhnya. Saat berangkat tadi tubuhnya masih terasa segar dan bersemangat. Bahkan hingga sore tadi, tubuhnya juga masih terasa baik-baik saja. Entah apa yang tiba-tiba membuat kondisi tubuh Ahmad berubah seketika.
Ahmad sudah tak tahan lagi menahan kondisi tubuhnya. Tubuhnya terasa berat dan seolah tak ada tenaga untuk mengangkatnya. Ahmad ingin cepat-cepat tiba di rumah. Melepas rasa berat serta tidak enak di tubuhnya.
“Mas Ahmad sebenarnya kamu kenapa, tadi perasaan baik-baik saja?” Tanya Tarno lagi.
Tarno merasa ada yang aneh pada Ahmad. Tarno merasa ada sesuatu yang Ahmad tutupi dari dirinya dan juga ketiga rekannya. Karena perubahan itu seperti mendadak dan baru saja dialami Ahmad.
“Iya Mas, tadi kan Mas Ahmad ketemu aku baik-baik saja. Dan terakhir kita ketumu juga belum lama. Paling setengah jam sebelum kejadian ini. Yang pas Mas Ahmad katanya nemu tempat banyak kerang terus kerangnya gede-gede. Yang aku menolak ikut. Lha itu kan Mas Ahmad masih baik-baik saja.” Ucap salah satu rekannya yang terakhir ketemu Ahmad sebelum Ahmad kondisinya seperti ini.
“Iya, sebenarnya.... Nanti saja lah saya cerita di rumah. Saya sudah ndak tahan, rasanya ndak karuan. Saya pengin cepat-cepat sampai di rumah. Saya belum bisa cerita sekarang.” Jawab Ahmad sembari menahan rasa tidak enak di tubuhnya.
“Sebenarnya apa Mas? Jangan buat kita penasaran! Kita kan satu tim, kalau ada apa-apa cerita saja sama kita-kita. Kamu kenapa?” Mijo ingin tahu.
Dari ketiga rekannya, Mijo memang memiliki sifat paling keras. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Mijo juga paling tak senang dilarang-larang. Di balik sikap kerasnya, Mijo adalah orang yang perhatian dengan rekannya satu tim. Keselamatan mereka selalu diutamakan. Terutama pada Ahmad yang masih baru dan bukan warga asli kampung sini.
“Iya terima kasih kalian sudah perhatian sama saya. Tapi beneran saya sudah ndak kuat untuk bercerita. Nanti malam kalian ke rumah saja! Nanti saya cerita semua!” Jawab Ahmad masih menolak.
Ahmad memang saat ini masih enggan bercerita. Suhu tubuhnya yang tinggi, ditambah hawa dingin yang menyelimuti membuatnya malas bercerita banyak. Rasa di tubuhnya sudah tak karuan lagi. Saat ini hanya rumah lalu tempat tidur yang ingin Ahmad temui.
“Kamu ini Mas, tinggal cerita saja pakai nunggu nanti malam!” Ucap Mijo sedikit ketus.
“Yo wis Kang, mungkin Ahmad belum siap cerita sama kita-kita sekarang! Mungkin nanti malam atau besok, dia pasti cerita.” Ucap Tarno lebih bijak.
Perahu pun tiba di daratan. Keempatnya bergantian menuruni perahu sembari membawa kerang masing-masing.
“Kamu masih kuat bawa ndak Mas Ahmad?” Tanya Tarno pada Ahmad, melihat kondisi Ahmad yang menggigil.
“Insya Allah kuat Kang.” Jawab Ahmad pelan.
Meski sempoyongan Ahmad berusaha mengangkat kerang pelan-pelan. Ahmad tak ingin merepotkan rekan-rekannya.
“Apa nanti tak bawakan saja! Aku ngantar kerang punyaku dulu! Dari pada kamu lemes gitu! Kamu pulang sendiri saja, kerangnya kamu tinggal. Di sini masih ada Mijo juga.” Ucap Tarno pada Ahmad. Tarno tak tega melihat keadaan Ahmad seperti ini. Untuk mengangkat tubuhnya saja seperti tidak sanggup lagi. Belum ditambah kerang.
“Ndak papa Mas, biar tak angkat sendiri! Nanti saya ambil motor dulu ke rumah” Ahmad tetap saja menolak.
“Kalau ndak biar aku panggil Sari saja suruh antar motor ke sini! Jadi kamu ndak bolak-balik!” Tarno kembali menyarankan.
“Jangan Kang, sudah biar saja. Saya bisa sendiri!” Ahmad tetap menolak.
Ahmad tak ingin merepotkan Sari. Mengingat kejadian semalam serta tadi pagi. Sari sebenarnya tidak mengizinkan Ahmad pergi ke sungai lagi. Dan sekarang kalau Sari menjemput lalu melihat Ahmad dalam kondisi seperti ini. Sari pasti akan semakin emosi. Yang pasti Sari akan semakin menolak pilihan Ahmad untuk mencari penghidupan di sungai.
“Wis No, biar saja! Orang ndak mau jangan dipaksa! Memang si Ahmad itu susah kalau dibilangi!” Ucap Mijo masih jengkel.
“Sabar to Kang!” Rekannya menimpali.
“Habisnya si Ahmad itu, kadang-kadang menjengkelkan! Kita ini kan ngomongi buat kebaikan dia. Eh dia tetap nolak!” Lagi-lagi Mijo mengungkapkan kekesalannya pada Ahmad.
Ahmad sendiri memilih diam mendengar ucapan Mijo. Ahmad tak ingin memperpanjang masalahnya. Merasakan tubuhnya yang tidak karuan saja hampir tak sanggup. Ahmad berusaha melanjutkan perjalanannya meski sempoyongan. Langkah demi langkah Ahmad lewati pelan-pelan. Tak terasa Ahmad sudah meninggalkan sungai cukup jauh. Dan saat ini dia sudah hampir tiba di halaman rumah.
Ahmad pun tiba di rumah kembali. Setibanya di rumah, Ahmad langsung membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Melaksanakan shalat Ashar lalu Ahmad duduk di ruang TV. Ahmad merebahkan tubuhnya di kursi panjang ruang TV. Kepalanya sudah tak terasa pusing lagi. Namun tubuhnya terasa sakit semua.
***
Sari sendiri sebenarnya masih kesal dengan pilihan suaminya. Namun melihat keadaan suaminya yang lemah tak berdaya, Sari tak tega. Sari tak mungkin membiarkannya. Bagaimanapun dia kesal, Ahmad tetaplah suaminya. Bapak dari Ifah, putrinya.
Tangan kanan Sari memegang kening Ahmad yang tengah tidur di kursi panjang depan TV. Tak biasanya, Ahmad pulang langsung tiduran seperti ini. Bahkan Ahmad tiduran menggunakan jaket serta berselimut. Sari pun jadi cemas.
“Pak, Bapak kenapa? Panas banget, Bapak sakit?” Tanya Sari diliputi rasa cemas.
“Bapak sedikit gak enak badan Bu. Istirahat sebentar nanti juga sembuh.” Jawab Ahmad pelan. Ahmad juga tak ingin Sari cemas dengan keadaannya yang sebenarnya tak karuan ini.
“Bapak sudah makan belum? Bapak makan dulu terus minum obat! Ibu ambilkan ya?” Sari bergegas ke dapur mengambil makan. Lalu Sari mengambil obat di kotak obat yang tersedia di rumah.
“Ayuk Pak bangun, makan dulu! Terus minum obat, biar cepat sembuh!” Sari meminta suaminya bangun.
Ahmad sebenarnya enggan untuk bangun. Tubuhnya terasa habis dipukuli orang sekampung. Tapi Ahmad tak ingin kembali membuat Sari kesal. Sari memang istri perhatian, meski dirinya tengah kesal dia tetap memperhatikan Ahmad. Sari langsung mengurusi Ahmad saat dirinya tahu Ahmad sedang tak enak badan.
Ahmad juga mulai mengunyah makanannya dengan terpaksa. Rasa pahit di mulut membuat Ahmad malas untuk mengunyah apa pun di mulutnya. Namun demi istrinya, Ahmad mau melakukannya pelan-pelan.
“Sudah ya Bu! Bapak sudah kenyang, mulutnya pahit ndak enak!” Ucap Ahmad pelan. Ahmad hanya menghabiskan sedikit makanan.
“Kok sedikit Pak? Atau mau Ibu suapi?” Sari berusaha merayu. Sari tak ingin terjadi hal buruk pada Ahmad.
“Iya Bu, mulut Bapak ndak enak. Ibu ini, memangnya Bapak Ifah mau disuapi.” Ahmad pun sedikit tersenyum mendengar ucapan Sari.
“Iya ndak papa Pak! Sekali-kali disuapi, kan Bapak lagi sakit!” Sari terus saja merayu.
“Mana obatnya Bu, biar Bapak minum!” Ahmad mencari obat yang diberikan Sari tadi.
Usai minum obat, Ahmad kembali tiduran di kursi panjang. Ahmad berharap usai minum obat, tubuhnya bisa kembali sehat seperti sedia kala. Ahmad tak ingin merepotkan istrinya.
***
Malam yang gelap kembali cerah. Pagi pun tiba dengan munculnya senyum mentari di pojok langit timur. Tubuh Ahmad masih terasa sakit semua. Suhu tubuhnya juga belum normal. Hawanya juga masih terasa dingin.
Hari ini Ahmad tak bisa ke sungai. Ahmad ingin mengembalikan kondisinya dulu seperti sebelumnya. Pagi ini usai shalat Subuh, Ahmad kembali rebahan di kasur. Ahmad ingin istirahat dulu dari aktivitasnya di sungai.
“Bu, semalam gak ada teman Bapak yang ke sini?” Tanya Ahmad pada Sari.
“Gak ada Pak, memangnya kenapa?” Jawab Sari sembari menggelengkan kepala.
“Gak sih Bu, gak papa. Iya sudah, makasih Bu.” Jawab Ahmad masih terlihat lesu.
Ahmad teringat ucapannya kemarin. Ucapan saat ketiga rekannya menanyakan alasan kenapa kondisi Ahmad tiba-tiba berubah. Ahmad sudah berjanji, kalau semalam dia akan menjelaskan. Namun ketiga temannya gak ada yang datang berkunjung. Ahmad pun mengundur penjelasannya.
Malam pun kembali tiba. Tarno datang berkunjung ke rumah Ahmad. Tak lama Mijo dan juga salah satu rekannya juga tiba di rumah Ahmad.
“Piye keadaanmu Mas?” Tanya Tarno pada Ahmad.
“Alhamdulillah, sudah mendingan Kang.” Jawab Ahmad meski terdengar masih lemah suaranya.
“Syukurlah, kamu sebenarnya kenapa sih Mas?” Tanya Tarno lagi penasaran.
“Iya, kamu kenapa?” Tanya salah satu rekannya lagi.
“Begini Kang, kapan hari saya pernah mimpi bertemu buaya putih tepat di bawah pintu masuk sungai.” Ahmad memulai penjelasannya.
“Apa!” Jawab ketiga rekannya hampir bersamaan.
“Kok kamu ndak cerita!” Ucap Mijo dengan kedua mata mau keluar.
“Iya maaf, saya kira hanya mimpi biasa.Dan kemarin sore, mimpi itu hadir dalam kenyataan. Kemarin saya dikejar buaya putih berukuran cukup besar. Dan anehnya kejadiannya sama persis di dalam mimpi. Sama tempatnya.” Ahmad menjelaskan sembari rebahan.
“Kamu itu, kalau ada apa-apa mbok cerita sama kita-kita! Terutama saat di sungai. Bukannya kita sok tahu, kita kan lebih banyak pengalaman. Kalau menemui kejadian apa saja kamu cerita!” Ucap Mijo pada Ahmad.
“Terus bagaimana kamu bisa selamat dari kejaran buaya putih itu?” Salah satu rekannya penasaran. Setahu dia apa pun yang akan dimangsa buaya putih tidak akan bisa menghindari. Namun Ahmad bisa selamat.
“Saya membuang hasil kerang yang saya dapat dari tempat itu. Anehnya bertepatan dengan habisnya kerang. Buaya putih itu juga menghilang.” Jawab Ahmad masih sedikit ketakutan.
“Kamu itu kok berani-beraninya mencari kerang tepat di pintu masuk sungai! Memang di sana dilarang, gak boleh siapa pun itu! Yaitu buktinya, kamu sudah mengalami sendiri kan? Di sungai sini banyak larangan, jangan sembarangan kalau kamu ingin selamat!” Mijo menjelaskan.
“Untung saja kamu membuang kerang-kerang itu! Coba kalau kamu tetap mempertahankan, bisa-bisa nyawa kamu menjadi taruhan!” Mijo melanjutkan ucapannya.
“Ya sudah ini menjadi pelajaran kamu Mas. Lain kali jangan mengambil apa pun di bagian pintu masuk sungai!” Ucap Tarno menasihati.
“Yang penting kamu selamat dan terus jaga diri di sungai!” Tarno kembali menasihati.
Mereka bertiga sebenarnya tak janjian bertemu di rumah Ahmad. Tanpa sengaja mereka bisa bersamaan berkumpul di rumah Ahmad. Mereka hanya berniat untuk menjenguk Ahmad. Namun Ahmad sudah cerita semua. Cerita apa yang sudah Ahmad alami selama dua hari dia bekerja di sungai.
Warga berharap tidak akan ada hal buruk lagi yang akan menimpa Ahmad. Cukup kali ini saja. Sebagai warga asli kampung, mereka tahu larangan pendatang yang begitu kuat peraturannya. Mereka juga sudah menasihati Ahmad. Namun Ahmad tetap pada pilihannya. Meski ketiga rekannya cemas, semua keputusan tetap pada Ahmad. Karena dari kejadian buruk ini bisa jadi pertanda buruk sesudahnya.