Tak terasa satu minggu sudah Ahmad tinggal di kampung istrinya. Ahmad pun mulai mengenal warga kampung tempat tinggalnya sekarang. Selain alim, Ahmad juga dikenal warga karena kemurahan senyumnya. Ahmad dikenal sebagai warga baru yang tidak sombong.
Satu minggu juga Ahmad hanya berdiam diri di rumah. Sesekali Ahmad ke kebun mertuanya, itupun hanya untuk mencabut singkong. Kebetulan di musim kemarau seperti sekarang ini, kebun mertuanya dibiarkan terbengkalai. Kebun yang hanya mengandalkan air hujan tak bisa ditanami saat musim kemarau seperti sekarang ini. Satu-satunya tanaman yang masih bisa bertahan yakni singkong serta pohon pisang. Untuk tanaman palawija sendiri sudah selesai masa panennya.
Begitu juga dengan persawahan warga yang masih menunggu waktu tanam tiba. Sementara ini sawah juga dibiarkan terbengkalai hingga menunggu waktu tanam tiba. Apalagi tanaman padi yang butuh banyak air. Warga harus menunggu musim tanam tiba atau labuhan biasa warga menyebutnya.
Untuk mengisi hari-harinya, Ahmad lebih sering menghabiskan waktunya di musala. Apalagi saat jam shalat tiba. Sebisa mungkin Ahmad melaksanakan shalat berjamaah di musala. Karena selain pahalanya berlipat, dengan shalat berjamaah akan mempererat silaturahmi Ahmad dengan warga sekitar. Apalagi Ahmad yang masih warga baru harus bisa menyesuaikan dengan warga sekitar.
Ahmad senang meskipun hanya beberapa kepala yang sering melaksanakan shalat berjamaah, mereka selalu datang rutin. Terutama di jam shalat Maghrib dan Isya. Namun Ahmad masih penuh tanya kenapa yang rutin melaksanakan shalat jamaah di musala hanya kaum ibu saja. Lalu ke mana kaum bapak serta anak-anak mudanya? Pertanyaan itu selalu muncul dalam benak Ahmad.
Usai shalat Maghrib, ibu-ibu jamaah biasanya lebih memilih duduk sebentar di musala. Mereka biasanya membahas masalah kampung mereka yang sedang ramai diperbincangkan. Mau tak mau Ahmad pun bergabung dengan kaum ibu. Ahmad hanya ingin menghormati saja bukan karena ingin tahu ataupun ikut campur. Mungkin dengan cara ini, Ahmad bisa mendekatkan dirinya dengan warga. Ahmad juga bisa menyampaikan keinginannya tanpa menyinggung warga.
“Bu maaf, ini saya mau tanya! Tapi jangan piye-piye! Selama saya shalat di musala kenapa saya jarang lihat bapak-bapaknya. Saya hanya melihat ibu-ibu, itupun hanya beberapa orang. Padahal saya lihat warga kampung sini cukup banyak.” Tanya Ahmad memulai pembicaraannya.
“Bapak-bapaknya gak gelem Mas, jare kesel kerja.” Jawab salah seorang ibu.
( gak gelem : gak mau, jare kesel : katanya capek )
“Iya Mas, wong suami saya nek saya suruh juga bilang gitu. Malah katanya, ngapain shalat memang shalat bisa bikin kenyang! Yang bikin kenyang itu duit! Kalau kita punya duit banyak, bisa beli makanan apa saja yang kita mau!” Ngono Mas jare suami saya. Yo wis Mas, saya ndak mau ribut!” Jawab ibu lainnya.
( Begitu Mas kata suami saya. Ya sudah Mas, saya gak mau ribut! )
“Astagfirullah, kok bisa gitu ya Bu! Padahal shalat itu kan tiang agama. Amal pertama kali yang akan dihisab nantinya. Ya ibu jangan berhenti nasihati suaminya, pahalanya besar loh Bu! Apalagi nek suaminya terus sadar, saya acungi jempol buat Ibu!” Jawab Ahmad sembari mengacungkan ibu jari tangan kanannya pada ibu tadi.
Ibu-ibu pun sontak tertawa melihat ekspresi yang dilakukan Ahmad. Ahmad yang biasanya selalu berwajah serius, ternyata bisa bikin humor juga.
“Mas Ahmad ini, bisa saja bercandanya.” Ibu tadi tersenyum.
“Terus saya lihat di sini anak-anaknya juga banyak, tapi kok gak ada yang ke musala? Apa mereka gak pada ngaji?” Tanya Ahmad lagi.
“Iya Mas, dulu sempat ada pengajian sore buat anak-anak. Tapi ya itu, awalnya saja ramai. Ke sini-sini berkurang-berkurang, tinggal beberapa anak saja. Akhirnya yang mengajar memilih tempat lain. Sini gak ada lagi guru ngaji. Mbok Mas Ahmad saja jadi guru ngaji, tapi yaitu Mas kudu sabar terus telaten.” Ibu lain menjelaskan.
Pantas saja tiap sore, Ahmad sering melihat anak-anak menghabiskan waktunya untuk bermain. Padahal di usia seperti itu, seharusnya anak sudah bisa melafalkan huruf hijaiyah. Ahmad semakin terpacu untuk bisa berbagi ilmu pada warga sekitar khususnya anak-anak.
“Oh gitu. Saya sih mau saja, tapi anak-anaknya mau gak? Soalnya kalau sore saya lihat anak-anak pada asyik bermain!” Jawab Ahmad santai.
“Yang penting Mas Ahmad bersedia saja, nanti urusan anak-anak kita yang kasih tahu. Mulai dari anak-anak kita dulu terus suruh ajak teman-temannya juga! Nanti lama-lama kan banyak!” Jawab ibu tadi.
“Iya benar Mas. Nanti saya suruh anak saya juga kon ngaji!” Ibu lain ikut menimpali.
( kon : untuk )
“Iya baik! Nek ibu-ibu semua percaya dengan saya, insya Allah saya siap!” Jawab Ahmad cepat.
“Terus kapan pengajian akan dimulai?” Tanya ibu pada Ahmad.
“Sementara, anak-anak suruh ikut shalat jamaah aja dulu! Nanti kalau sudah cukup baru kita mulai pengajiannya! Ibu-ibu kalau mau ikut juga bisa!” Ahmad kembali tersenyum. Senyum yang menghiasi wajah mengkilapnya karena sering terbasuh air wudhu.
“Ibu-ibu ya khusus ibu-ibu Mas! Malu kalau gabung sama anak-anak. Ilate wong tua wis angel, utekke ya wis kedul kakehen sing dipikirna.” Jawab ibu dengan bahasa Cilacap.
( Lidahnya orang tua sudah susah, otaknya ya sudah tumpul kebanyakan yang dipikirkan )
Ibu-ibu kembali tertawa mendengar ucapan tetangganya barusan. Memang benar pikiran orang tua sudah tak secepat pikiran anak-anak lagi. Untuk mengingat sesuatu sudah sangat sulit dilakukan. Karena yang di pikiran orang tua saat ini begitu banyak. Dari pasangannya, anak-anak hingga masalah ekonomi sudah cukup memenuhi pikiran orang tua. Jadi untuk menambah pikiran tentang pelajaran agama akan lebih sulit dibanding mengajari anak-anak yang otaknya sedang mengalami pertumbuhan.
***
Ahmad kembali tiba di rumah. Ahmad bercerita perihal pembicaraannya dengan ibu-ibu jamaah barusan di musala.
“Bu, tadi Bapak diminta sama ibu-ibu jamaah buat mengajar ngaji mereka sama anak-anak di sini. Alhamdulillah, Bapak senang kalau bisa berbagi ilmu. Setidaknya ilmu yang selama ini Bapak pelajari akan bermanfaat bagi orang lain.” Ucap Ahmad dengan perasaan senang disertai senyum di kedua sudut bibirnya.
“Syukur lah Pak, nek jamaah nerima sama Bapak. Ibu mung ndukung, apa saja keinginan Bapak selagi itu untuk kebaikan. Ibu mung pesen sama Bapak, sing sabar dan jangan sampai nyinggung warga perihal agama.” Sari mendukung keputusan suaminya. Bagaimanapun suaminya harus bisa menyesuaikan dengan warga kampung.
“Makasih Bu! Oh ya Bu, Ibu masak opo, Bapak lapar eh?” Ucap Ahmad sembari tangan kiri memegang bagian perutnya.
“Dilihat wae Pak, kono ndang!” Jawab Sari yang sedang mengipasi Ifah karena kegerahan. Sudah menjadi kebiasaan Ifah setiap mau tidur minta dikipasi dulu sama Sari. Padahal kipas angin ada, namun Ifah selalu minta dikipasi manual.
( Dilihat saja Pak, sana cepat! )
“Ndak ada kerang Bu?” Tanya Ahmad pada Sari dari dapur.
“Ndak ada Pak! Mesti beli ke tetangga dulu! Besok ibu beli sama kang Tarno, dia biasa cari kerang untuk dijual.” Jawab Sari pada suaminya.
“Yo wis Bu, besok Bapak cari sendiri aja ke sungai dari pada beli! Bapak kan gak ngapa-ngapain juga di rumah.” Ahmad kembali ingin ke sungai.
“Wis, Bapak makan saja dulu! Ndak usah bahas kerang, besok ibu belikan!” Jawab Sari tegas.
Mendengar jawaban Sari, Ahmad semakin penasaran. Sari selalu saja menghindar saat Ahmad membahas ingin mencari kerang sendiri di sungai. Menurut Ahmad, kan sayang uangnya dari pada buat beli kerang mending buat kebutuhan lain. Apalagi saat ini, Ahmad belum punya pendapatan tetap. Mereka harus bisa mengatur keuangan mereka dengan baik.
Ahmad sendiri juga sedang tak ada kerjaan, tak ada salahnya dia ikut mencari kerang di sungai. Selain bisa untuk lauk sendiri, jika dapat hasil banyak juga bisa dijual. Itung-itung dapat penghasilan juga.
Usai makan malam, Ahmad kembali mendekati istrinya. Kali ini Sari berada di ruang TV.
“Ifah endi Bu, dah tidur?” Tanya Ahmad yang tak melihat Ifa lagi di pangkuan istrinya.
( endi : mana )
“Iyo Pak, capek seharian main sama teman-temannya.” Jawab Sari sembari kedua mata terus tertuju pada acara sinetron di TV.
“Oh ya Bu, besok kang Tarno golek kerang ndak ya? Bapak mau ikut!” Tanya Ahmad kembali membahas soal kerang.
“Ndak usah Pak, kita beli saja! Bapak ndak usah repot-repot nyari. Apa lagi ini kemarau Pak, nyari kerangnya harus nyelam. Mana arus sungai kenceng, ndak usah Pak!” Sari terus saja melarang.
“Bapak bisa nyelam kok Bu. Bapak biasa mandi di sungai jaman kecil dulu. Kalau cuma nyelam Bapak bisa!” Ahmad berusaha memberi pengertian pada Sari agar diizinkan mencari kerang di sungai.
“Masalahnya beda Pak! Jaman dulu sama sekarang beda! Keadaan sungainya juga beda. Bapak ndak usah aneh-aneh Pak!” Sari tetap melarang.
“Beda piye Bu? Namanya sungai di mana-mana sama, dipenuhi air!” Ahmad mempertahankan keinginannya.
“Pokoknya beda wae Pak! Bapak fokus mengajar anak-anak ngaji saja! Tadi kan Bapak cerita, katanya Bapak diminta mengajar ngaji.” Sari mengalihkan pembicaraan. Sari gak senang jika suaminya membahas tentang sungai.
“Kalau itu sih sudah jelas Bu! Memang kan sudah keinginan Bapak, dari Bapak datang ke kampung ini! Bapak sih berharap mulai besok banyak anak-anak yang tertarik untuk belajar mengaji. Kalau dari kecil anak-anak sudah dibekali ilmu agama, kelak mereka besar akan benar-benar bisa membedakan antara yang benar dan salah. Dengan bekal ilmu agama, anak-anak juga bisa menjaga dirinya dari pergaulan bebas saat remaja nanti.” Ahmad menjelaskan pada Sari. Ahmad sebenarnya masih bertanya-tanya dengan ucapan Sari tadi perihal sungai.
“Ibu setuju sama pendapat Bapak! Moga cita-cita Bapak yang mulia ini banyak mendapat dukungan dari warga sini ya Pak! Karena setahu Ibu warga di sini masih sangat minim agamanya. Tapi Bapak jangan maksa juga, terutama dengan orang tua yang tak setuju dengan niat Bapak ini!” Sari terus menasihati. Sari paham dengan sikap suaminya yang begitu bertekad untuk kebaikan warga. Namun Sari juga paham bagaimana kebiasaan warganya, yang tak suka diatur apalagi tentang keagamaan.
“Baik Bu! Ibu tenang saja!” Ahmad memegang pundak Sari.
Ahmad merasa lega karena keinginannya untuk mengajak warga ke jalan yang benar sudah mendapat dukungan dari istrinya. Selain itu, Ahmad juga mendapat dukungan dari sebagian jamaah musala dekat rumahnya. Ternyata apa yang Ahmad inginkan tak sulit dia dapatkan.