Ahmad, Tarno, beserta dua rekannya sudah menaiki perahu. Mereka sengaja menggunakan satu perahu. Perahu digunakan hanya untuk menyeberang ke tengah sungai sekaligus tempat kerang. Laju perahu juga tak menggunakan mesin, hanya menggunakan dayung serta sebilah bambu panjang. Tidak seperti saat musim hujan tiba, perahu dijalankan dengan mesin.
Setelah sampai di tengah dan tempat yang pas, Tarno pelan-pelan menuruni sungai.
“Kene bae ya?” Ucap Tarno pada Ahmad serta kedua rekannya.
( Sini saja ya? )
“Iya wis.” Jawab kedua rekannya hampir berbarengan.
( Iya sudah )
Ahmad sendiri hanya diam membisu. Ahmad hanya mengikuti apa yang dilakukan kedua rekan Tarno. Kebetulan kedua rekannya turun dari perahu. Ahmad pun ikut turun ke sungai.
“Mas Ahmad, jangan jauh-jauh ya! Dekat perahu saja, kamu bisa renang kan?” Ucap Tarno pada Ahmad. Tarno merasa punya tanggung jawab pada Ahmad. Sari sudah menitipkan Ahmad padanya.
“Iya Kang, bisa.” Ahmad menganggukkan kepala.
“Ya sudah, sekarang kita mulai cari kerang ya! Kamu gunakan kedua kakimu untuk mencari kerang! Nanti kalau terasa menginjak baru kamu selami! Jangan lupa, bambunya kamu tancapkan yang kuat buat pegangan! Yang penting hati-hati saja! Nanti kalau sudah biasa, gampang kok.” Tarno menjelaskan pada Ahmad.
Tarno pun mulai berjalan mencari tempat yang pas. Dari air sungai yang tingginya sepinggang, kini sudah sedada Tarno. Kedua kakinya dia injak-injakan ke dasar sungai. Saat dirinya menginjak kerang, barulah Tarno menyelami ke dalamnya.
Tak terasa satu waring sudah Tarno dapatkan. Tarno kembali ke perahu untuk meletakkan hasil kerangnya. Kedua bola mata Tarno berputar mencari keberadaan Ahmad. Pikiran Tarno belum lega, jika belum melihat Ahmad dulu.
Satu rekan Tarno muncul ke perahu. Sama seperti Tarno yang meletakkan hasil pencarian kerangnya.
“Kang, ra weruh Ahmad?” Tanya Tarno pada rekannya.
( Mas, gak lihat Ahmad )
“Ora luh.” Jawab rekan Tarno sembari menggelengkan kepala.
“Aduh nang ndi kie bocah!” Tarno cemas karena tak melihat keberadaan Ahmad.
( Aduh di mana lagi ni anak! )
Tak lama, satu lagi rekan Tarno pun muncul ke perahu. Sama seperti Tarno dan satu rekannya yang meletakkan hasil pencarian kerang.
“Ana apa jane, kayong pada bingung?” Tanya rekannya yang baru saja tiba.
( Ada apa sih, kelihatannya pada bingung? )
“Kie Kang, Ahmad ra keton dewek.” Jawab salah satu rekannya.
( Ini Mas Ahmad gak kelihatan sendiri. )
“Priwe sih. Makane aku mau ya mandan maras, pas ngerti Ahmad melu!”
( Gimana sih. Makanya aku tadi ya agak cemas, pas tahu Ahmad ikut! )
Tarno dan kedua rekannya diliputi perasaan cemas dan bingung. Bagaimanapun, Ahmad pergi dengan mereka. Mau tak mau mereka harus bertanggung jawab atas keselamatan semua penumpang. Termasuk dengan Ahmad.
Di saat mereka sedang kebingungan, Ahmad muncul dengan membawa satu waring kerang. Seperti rekan-rekannya, Ahmad juga ingin meletakkan hasil pencarian kerang ke dalam perahu.
“Walah Mas, dicariin. Kita sudah cemas eh!” Ucap Tarno dipenuhi rasa lega dengan kehadiran Ahmad.
“Iya Mas, habisnya Mas Ahmad dewe yang ndak kelihatan eh!” Jawab rekan yang lain.
“Oh, tenang saja! Aku nyarinya ndak jauh-jauh kok Kang! Insya Allah aku bisa jaga diri, karena aku punya Tuhan yang selalu menjaga dan melindungi umatnya!” Ahmad menenangkan ketiga rekannya.
“Syukurlah Mas. Jan wis nlethek pisan nyong! Priwe rep cerita karo Sari?” Tarno terlihat khawatir.
( Sudah gemetar banget aku! Bagaimana mau cerita sama Sari? )
“Ngomong apa Kang, bingung aku?” Ahmad tak paham dengan ucapan Tarno.
“Sudah lah ndak usah dilanjut, sekarang pikiranku sudah lega. Alhamdulillah.” Dengan tangan kanan, Tarno mengusap-usap dadanya.
“Mumpung wis kumpul, kita istirahat dulu! Sudah masuk azan Dzuhur.” Ucap Ahmad pada Tarno dan kedua rekannya.
“Kamu saja Mas, nanti aku urung lapar! Mau cari sekali selam lagi!” Jawab salah satu rekan.
“Kang, punten ya bukannya saya mau menggurui. Saya hanya mengingatkan, karena saya kan sudah kenal sama sampean. Menurut yang saya tahu dan saya pelajari, saat azan tiba sebisa mungkin untuk menghentikan segala aktivitas kita. Berhenti sejenak gitu Kang! Sama kaya sekarang, tadi saya dengar azan jadi mending kita istirahat!” Ahmad menjelaskan pelan.
“Maaf Mas Ahmad, tapi kebutuhane aku lebih banyak dari pada kamu! Nek aku sebentar-sebentar istirahat, anak bojoku mau dikasih makan apa? Wis nek kamu mau istirahat, istirahat saja ndak usah pakai ceramahi orang! Memangnya ceramah kamu bisa bikin kerang datang sendiri, ndak kan? Aku tetep kudu cari sendiri!” Rekan pertama tak terima dengan ucapan Ahmad. Baginya cari kerang yang utama. Bisa mendapatkan banyak kerang adalah tujuannya.
“Wis... wis, ndak usah berantem! Wis Mas Ahmad biar saja, ndak usah urusi urusan orang lain! Kalau mau istirahat, istirahat saja! Biarkan kalau kang Mijo mau cari kerang lagi!” Tarno menengahi Ahmad dan rekannya yakni Mijo.
“Wis Kang sana nek mau cari kerang lagi! Kita liren sit, kencot!” Ucap Tarno pada Mijo.
( Kita istirahat dulu, lapar! )
Tarno, Ahmad, dan salah satu rekannya pun makan siang bersama. Makan siang di atas perahu di antara perolehan hasil kerang. Makan siang ditemani terik matahari siang itu yang begitu menyengat ke kulit. Makan siang di tengah-tengah sungai, dengan pemandangan yang menyedapkan mata. Ditemani angin sepoi, hingga membuat rasa panas tak terasa di badan mereka.
Di mana saja Ahmad berada, Ahmad tak pernah meninggalkan kewajibannya. Begitu juga saat mencari kerang di sungai. Keadaan perahu yang basah, membuat Ahmad memilih melaksanakan kewajibannya di darat. Ahmad berpamitan pada Tarno dan salah satu rekannya, untuk menepi sebentar. Ahmad ingin melaksanakan kewajiban di sana.
***
Sore telah tiba. Azan Ashar juga sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Waktunya para pencari rupiah untuk kembali ke daratan. Setelah seharian melawan dinginnya air sungai. Seharian dijemur di bawah terik matahari secara langsung. Panas, dingin silih berganti tak dihiraukan. Hanya demi meraih rezeki halal. Demi menghidupi anak dan istri.
Perahu pun sampai di tepi sungai. Ahmad, Tarno, dan dua rekannya bergantian mengangkat hasil pencarian kerang ke daratan. Mereka langsung memasukkan kerang ke dalam karung saat masih di dalam perahu. Hingga mereka tiba di tepi, tak perlu repot lagi karena tingkat angkat saja ke daratan.
Hari pertama Ahmad mencari kerang, hasilnya bisa dibilang lumayan. Meski baru pertama kali, hasil pencarian Ahmad tak jauh dari ketiga rekannya.
“Wih, Mas Ahmad hebat ya! Baru pertama nyari kerang, dapatnya dah kaya kita-kita yang sudah biasa. Mas Ahmad ini pinter nyelam ya.” Mijo mengacungkan jempol tangan kanannya pada Ahmad.
“Biasa wae Kang. Alhamdulillah, berapa pun rezeki kita, yang penting halal. Betul ndak Kang Tarno?” Jawab Ahmad tersenyum sembari menggoda Tarno.
“Iya Mas Ahmad. Kalau aku sing penting asap dapur bisa ngepul! Istri ndak ngomel dah bersyukur.” Tarno menimpali.
“Bener kue Kang! Istri ndak peduli gimana kita cari rezeki! Yang istri tahu, pulang-pulang bawa duit saja!” Satu rekannya ikut menimpali.
Gelak tawa terdengar memenuhi pinggiran sungai. Rasa kebersamaan terlihat jelas dari bercandaan mereka. Ahmad menyadari bahwa warga kampung istrinya yang kini sudah menjadi kampung Ahmad sendiri memang memiliki persaudaraan yang tinggi. Buktinya Ahmad yang baru pertama ikut mencari kerang, ketiga rekannya begitu perhatian. Apalagi pas Ahmad tidak kelihatan sendiri, ketiga rekannya terlihat begitu cemas.
Sayang kebersamaan di kampung ini tidak diimbangi dengan tingkat agama yang cukup. Hingga kampung ini menganggap segala sesuatu bukan dengan nalar dan pikiran melainkan dari tradisi yang sudah berjalan lama. Seperti saat ini, warga menganggap bahwa peraturan larangan bagi pendatang baru itu benar adanya.
Warga melarang orang baru seperti Ahmad menggantungkan hidupnya di sungai. Hanya karena seringnya kejadian buruk yang menimpa. Dan kejadian buruk itu dialami warga yang baru saja datang ataupun tinggal di kampung ini. Warga itu nekat melewati larangan hingga nasib buruk pun dialaminya. Dari kejadian berulang kali inilah, warga begitu percaya dengan peraturan yang ada.
Peraturan larangan pendatang menggantungkan hidupnya di sungai sendiri tidak ada di peraturan perundang-undangannya di kantor kelurahan kampung. Namun karena sudah sering terjadi, dan dari rasa kebersamaan warga inilah peraturan itu muncul. Dan terus berjalan hingga sekarang.
Namun hari ini, Ahmad telah membuktikan bahwa peraturan itu belum tentu benar keberadaannya. Hari ini, Ahmad berhasil melewati tantangan warga yang melarangnya ke sungai. Dan Ahmad akan terus buktikan kepada warga sini, bahwa pikiran mereka adalah kurang benar.
***
Sari tengah menyiapkan secangkir kopi hitam untuk suaminya. Rasa lelah yang mendera suaminya akan luluh seketika dengan secangkir kenikmatan yang ada pada cita rasanya. Setiap tegukan kopi mampu menghapus rasa haus dan kenikmatan yang tiada tara bagi penggemarnya.
Sari merasa lega, melihat suaminya telah kembali di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Ahmad sudah membuktikan ucapannya pada Sari bahwa dirinya akan baik-baik saja. Dan saat ini, Sari percaya bahwa suaminya pasti bisa melewati semua ini.
Meskipun rasa ketakutan itu sering muncul, Sari terus yakin akan kebesaran Tuhan. Seperti yang sudah Ahmad ajarkan selama ini pada Sari. Sari yakin, Tuhan akan menjaga suaminya selama suaminya terus beriman dan bertakwa pada-Nya. Yang penting kita tetap hati-hati dan waspada karena musibah bisa menimpa siapa saja dan kapan saja.
“Piye Pak, hari pertama cari kerang?” Tanya Sari pada Ahmad yang tengah menikmati nikmatnya seduhan kopi hitam buatannya.
“Piye yo Bu, biasa sih. Bapak senang tinggal di sini Bu, orang-orang kampung toleransinya besar ndak kaya di kota! Meskipun Bapak baru, warga begitu peduli dengan keselamatan Bapak.” Ahmad sedikit menjelaskan.
“Iya Pak, dari dulu warga sini memang persaudaraannya kuat. Kalau ada musibah ataupun kebahagiaan mereka selalu bersama. Kalau ada musibah, yang lain membantu. Sebaliknya kalau salah satu warga ada yang sedang merasakan kebahagiaan, warga lain biasanya akan diundang menikmati kebahagiaan bersama. Misalnya hajatan, selamatan ataupun syukuran lainnya.” Sari mengakui kebenaran ucapan Ahmad.
“Hanya sayang Bu, Pendidikan agama warga sini masih sangat minim. Tidak seimbang dengan kebersamaan mereka. Sangat berbanding terbalik. Andai saja, warga sini mau belajar ilmu agama pasti kehidupan kampung sini akan lebih baik lagi.” Ucap Ahmad menyayangkan.
“Ya begitulah hidup Pak, ndak semua bisa sesuai dengan keinginan kita. Ndak semua bisa sempurna seperti yang kita harapkan. Lha kan katanya Bapak yang akan mengajarkan ilmu pendidikan agama sama warga sini. Dimulai dari anak-anak dulu Pak!” Sari mengingatkan Ahmad.
“Ibu ini memang pintar. Terima kasih Ibu sudah selalu mengingatkan Bapak selama ini. Ibu sudah menerima Bapak apa adanya.” Ahmad memuji istrinya, Sari.
“Bapak ini ndak usah nggombal to Pak! Wis tua! Kan sudah kewajiban kita sebagai pasangan untuk saling mengingatkan.” Sari tersenyum.
“Terus ngajine bocah-bocah piye Pak?” Bapak kan baru pulang, apa mau langsung ngajar ngaji?” Sari melanjutkan ucapannya.
“Hari ini, Bapak suruh libur dulu sehari. Soalnya Bapak kan baru pertama ikut, jadi ya ngikuti rekan-rekan lain. Besok-besok Bapak akan pulang lebih cepat dari hari ini. Jadi sorenya Bapak bisa ngajar ngaji anak-anak di musala. Yo wis Bu, Bapak mau mandi dulu!” Ahmad sudah menghabiskan secangkir kopi buatan Sari.
Sepeninggal Ahmad, Sari membereskan bekas cangkir kopi suaminya. Tak lupa Sari membawa masuk ember tempat peralatan mencari kerang. Sari mengeluarkan tempat bekal suaminya yang kini tinggal tempatnya saja. Sari bersyukur meskipun suaminya dari kota, namun Ahmad mau hidup susah dengan mencari penghidupan di sungai. Padahal Sari tahu, penghidupan di sungai begitu keras. Ahmad harus berteman dengan teriknya matahari dan juga dinginnya air sungai.
Sari berharap, semoga besok-besok suaminya akan terus diberi keselamatan dalam mencari rezeki di sungai. Ahmad dijauhkan dari segala mara bahaya yang selama ini mengintai warga baru seperti Ahmad.