Ahmad, pemuda jebolan salah satu pondok pesantren di Jawa Timur baru saja melangsungkan pernikahannya. Ilmu agamanya tak perlu diragukan lagi. Namun jodoh di tangan Tuhan. Ahmad pemuda alim, dengan wajah selalu mengkilap karena sering terbasuh air wudhu menikahi perempuan bukan dari kalangan beragama.
Sari, perempuan kampung dari pinggiran kota Cilacap yang tidak begitu dekat dengan ilmu agama. Sari juga tidak berhijab seperti perempuan-perempuan yang ada di pondokan. Yang Sari tahu hanya kewajibannya yang harus dilaksanakan dalam lima waktu. Dalam hal membaca Alquran, Sari hanya sekedar bisa. Sari tak begitu paham ilmu tajwid yang harus dipakai dalam membaca Alquran.
Ahmad dan Sari bertemu di Surabaya. Kebetulan saat itu Sari bekerja di sana. Ahmad yang merupakan keluaran dari pondok pesantren tak ingin menunda pernikahan. Begitu mengenal Sari dan merasa cocok, Ahmad langsung ke kampung Sari untuk meminangnya.
Gayung pun bersambut. Pinangan Ahmad langsung diterima keluarga Sari. Keluarga Sari yang berasal dari kampung, punya kepercayaan kalau anak gadis pertama dipinang, tak boleh ditolak. Karena itu akan berpengaruh pada jodoh anak gadisnya. Jika pinangan pertama ditolak, maka akan susah lagi mendapat jodoh.
Ahmad dan Sari pun menikah di rumah orang tua Sari. Pernikahan dadakan ini, dilaksanakan cukup meriah. Keluarga Sari memang cukup berada dan terpandang di kampungnya. Jadi untuk sekedar melaksanakan resepsi pernikahan adalah hal mudah bagi orang tua Sari.
Usai menikah, Ahmad dan Sari memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Mereka memilih mengadu nasib di kota yang sudah mempertemukan cinta mereka. Satu tahun pernikahan, Sari dikabarkan berbadan dua. Dan kini empat tahun sudah berlalu.
Alifah adalah putri sulung Ahmad dan Sari yang kini usianya menginjak empat tahun. Sari dan Ahmad memutuskan pulang ke kampung halaman Sari di pinggiran Cilacap. Kampung Sari berada di pinggiran sungai. Untuk ke kota butuh waktu berjam-jam lamanya.
Selain pandai ilmu agama, Ahmad juga memiliki kelebihan lain yang tak dimiliki orang-orang pada umumnya. Ahmad bisa merasakan keberadaan makhluk lain di sekelilingnya. Karena kelebihan ini, Ahmad jadi cenderung disukai makhluk dari dunia lain.
Saat memasuki perbatasan kampung istrinya, Ahmad sudah mencium aroma mistis yang begitu kental. Bahkan hawa dingin yang berbeda sangat terasa di kulit Ahmad. Namun Ahmad yang hanya percaya dan takut pada Tuhan memilih bersikap biasa saja. Ahmad juga percaya, makhluk-makhluk di dunia lain itu tak akan mengganggunya jika keimanan seseorang kokoh.
Sebagian warga sekitar Sari menggantungkan hidupnya di sungai. Sungai yang mengalir dari kabupaten Wonosobo hingga kabupaten Cilacap ini, memang menyimpan banyak kekayaan. Selain menyimpan banyak kekayaan, sungai ini juga terkenal dengan aroma mistisnya. Maklum saja, sungai merupakan tempat yang sudah ada sejak ratusan bahkan mungkin jutaan tahun lamanya. Jadi kejadian mistis pasti sudah menjadi hal yang sangat wajar. Termasuk di kampung Sari.
Kejadian-kejadian mistis sudah sering dialami warga sekitar. Dan warga sekitar juga sangat meyakini bahwa sungai yang mereka jadikan sumber kehidupan benar memiliki banyak penghuni lain di luar dunia ini.
Malam pertama Ahmad tinggal di kampung istrinya, kejadian janggal mulai dialaminya. Ahmad sering mendengar suara tangis minta tolong dari arah sungai. Awalnya Ahmad mengira kejadian ini berasal dari tetangga yang sedang terkena musibah.
“Tolong... tolooong..." Seperti suara wanita yang merintih meminta tolong. Suara itu semakin terdengar jelas di telinga Ahmad. Tapi anehnya kenapa tak seorang pun warga yang ke luar rumah. Ahmad juga tak mendengar suara satu warga pun yang ingin melihat arah suara minta tolong itu berasal. Karena penasaran Ahmad berniat ke luar rumah untuk memastikan suara itu. Namun sebelum Ahmad sempat membuka gagang pintu rumahnya, tiba-tiba desir angin menyentuh kulit luar tubuhnya. Entah angin yang berhembus dari mana, karena semua jendela serta pintu rumah Ahmad dalam keadaan terkunci. Yang pasti sejak tersentuh desir angin barusan, bulu kuduk Ahmad mulai berdiri. Ahmad pun memilih mengurungkan niatnya untuk ke luar rumah. Ahmad memilih kembali tidur di sebelah Sari dan Ifah.
Namun suara rintihan minta tolong itu terus terngiang di telinga Ahmad. Ahmad tak bisa memejamkan mata dengan rapat. Ahmad pun beranjak dari tempat tidur. Ahmad mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat malam. Ahmad berharap dengan shalat sunat yang dia kerjakan, pikirannya akan kembali tenang.
***
Malam yang mencekam telah berubah menjadi pagi yang terang. Seperti biasa selesai melaksanakan shalat Subuh, Ahmad selalu membiasakan diri membaca ayat suci Alquran meski hanya beberapa ayat. Suara merdu Ahmad terdengar saat melantunkan ayat-ayat suci. Bahkan suara lantunan Ahmad bisa membuat bulu kuduk merinding, bagi mereka yang sudah terbiasa mendengar lantunan ayat Alquran.
Sari merasa beruntung karena bisa memiliki suami seperti Ahmad. Suami yang punya iman kuat serta pandai mengaji. Tiap hari Sari diajari mengaji yang benar, bahkan sekarang Sari juga sudah mulai menutup auratnya.
Harum masakan Sari sudah memenuhi seluruh sudut ruang rumah Ahmad dan Sari pagi itu. Aroma harum yang membuat perut Ahmad tak bisa menahan lagi rasa laparnya.
“Masak apa Bu?” Tanya Ahmad menghampiri Sari ke dapur.
“Eh Bapak... sayur bening sama tempe goreng terus sambel terasi Pak. Terus iki yo ono kerang lombok ijo dikasih Mbok mau isuk.” Jawab Sari dengan logat campuran Cilacap dan Jawa Timur.
( Terus ini iya ada kerang cabai hijau dikasih Ibu tadi pagi )
“Kerang opo to Bu? Kok Bapak ndak pernah lihat eh?” Ahmad mengambil piring berisi kerang cabai hijau yang baru pertama dilihatnya. Lalu tangan kanannya hendak mengambil kerang karena penasaran ingin mencobanya.
“Sstt... cuci tangan sek Pak! Ini kerang sungai Pak, orang sini sebutnya thoe.” Tangan kanan Sari refleks memukul tangan kanan Ahmad.
“Apa thoe? Kok namanya aneh, Bapak baru denger!” Ahmad mengerutkan kedua alisnya.
“Iya memang Pak, thoe cuma ada di sungai. Kalau di tempat lain orang sebutnya beda-beda. Tapi lebih dikenal dengan kerang si Pak.” Sari menjelaskan.
“Yo wis Bu, Bapak lapar mau sarapan sek!” Bapak mengambil piring yang sudah disiapkan di meja makan.
( sek : dulu )
Ahmad terlihat lahap menyantap kerang yang baru dijumpainya.
“Alhamdulillah Bapak kenyang Bu. Enak yo kerang kuwi! Kalau kerang sungai, berarti orang-orang pada cari di sungai Bu?” Tangan kanan Ahmad memegang perutnya.
“Iya, di sungai mburi omah akeh Pak. Sebagian warga sini kan nyari thoe kuwi mau!” Sari menunjuk ke arah sungai.
( Di sungai belakang rumah banyak Pak. Sebagian warga sini kan cari kerang itu tadi! )
“Lha banyak-banyak mau buat apa Bu? Dimaem dewe yo mblenger!”
( Dimakan sendiri ya bosan! )
“Owalah, Bapak gak ngerti apa? Thoe kuwi kan laku dijual. Warga sini loh banyak yang menggantungkan hidup dari mencari thoe! Dan sampai saat ini, warga bisa bertahan hidup, dan malah bisa mbangun rumah, bisa beli tanah.” Sari kembali menjelaskan.
“Iyo to Bu? Kalau gitu, besok-besok Bapak juga mau ikut nyari thoe aja!” Ahmad tertarik.
“Gak usah Pak! Kalau ada kerjaan lain, mending Bapak kerja lain aja, jangan nyari thoe ataupun kerja yang ada hubungannya sama sungai!” Sari melarang.
“Lha nyapo Bu! Yang penting kan halal! Tenang aja Bu, Bapak bisa kok kerja di sungai! Bapak kan dari kampung juga, biasa renang di sungai. Jadi Ibu gak usah khawatir!” Ahmad menenangkan Sari.
( La kenapa Bu! )
“Pokoknya gak usah Pak! Nek Ibu bilang gak usah ya jangan!” Sari tetap menolak dengan tegas.
“Lha iyo, Ibu itu melarang pasti ada sebabnya! Tapi apa Bu?” Ahmad masih penasaran.
“Wis gak usah bahas cari thoe lagi! Bapak kan bisa ke kebun apa ke sawah to?” Sari melambaikan tangan. Sari yang memang asli kampung, sudah paham dengan larangan yang dari jaman Sari kecil sudah tersebar.
“Oh ya Bu, tadi malam Ibu denger gak ada suara minta tolong? Suaranya cukup jelas, tapi kok gak ada orang ke luar rumah ya?” Ahmad teringat dengan suara yang dia dengar semalam.
“Suara? Gak, Ibu gak denger apa-apa!” Sari menggelengkan kepala. Sari pernah dengar dari cerita warga kampungnya, memang ada sebagian orang yang pernah mendengar jerit minta tolong dari arah sungai. Dan sebagai istri Ahmad, Sari sudah paham kalau suaminya memiliki kelebihan. Suaminya pasti sudah tahu, kalau jeritan itu berasal dari makhluk lain.
“Yo wis Bu, nek gak denger! Mungkin Bapak hanya salah denger.” Ahmad berusaha menghentikan pertanyaannya. Karena Ahmad tahu, istrinya penakut. Dan paling tidak suka membahas soal ataupun kejadian di luar nalar.
“Besok-besok nek Bapak denger suara itu lagi, gak usah digubris Pak! Jarke wae! Pokoknya, kalau Bapak denger suara aneh-aneh dari arah sungai biarin!” Sari berpesan pada suaminya.
( Jarke wae : Biar aja )
“Iyo Bu. Bapak tak metu sek yo, cari udara segar!” Ahmad bangkit dari kursi lalu berjalan ke arah luar rumah.
( Bapak mau ke luar dulu ya )
“Iya Pak, gak usah jauh-jauh! Gak usah ke sungai!” Teriak Sari dari dalam rumah.
Ucapan Sari membuat Ahmad semakin penasaran. Sebenarnya ada apa, kenapa Sari seolah menutupi sesuatu tentang sungai dari dirinya? Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut Ahmad tentang sungai, Sari selalu memberi jawaban yang tidak memuaskan hati Ahmad. Bahkan saat Ahmad berniat mencari penghasilan di sungai, Sari juga melarangnya.
Padahal Ahmad adalah suami Sari sendiri. Dan Ahmad juga akan menetap di kampung Sari. Mau tidak mau, Ahmad harus bisa mengenal warga serta tempat-tempat yang ada di kampung Sari. Termasuk sungai dekat rumahnya.
Namun Ahmad bukanlah orang yang mudah putus asa. Ahmad akan tetap berusaha mencari tahu, alasan istrinya menutupi semua ini darinya. Karena Ahmad tahu, selama ini istrinya selalu jujur dan tak pernah menutupi apa-apa dari Ahmad. Dengan mendengar beberapa penjelasan dari Sari, Ahmad justru semakin ingin tahu. Apalagi setelah Ahmad mencoba rasa kerang sungai. Suatu saat Ahmad ingin mencari kerang sendiri di sungai. Berbagai keingintahuan terus mendesak di pikiran Ahmad.