Sebuah perintah, tetap akan menjadi bagian dari hidup terberat dalam anak-anak Ivanska. Katakanlah, mereka harus sanggup memenuhi semua itu. Bukan semata seorang Nathan membenci anaknya memilih jalan sendiri dalam hidup, dia hanya merasa apa yang menimpa Xander selama ini tidak akan terulang lagi pada diri Frada atau Gio.
Hari pernikahan Xander akan tiba pada musim dingin pertama di Rusia. Namun, acara ini diselenggarakan di sebuah kota besar yang ada di Indonesia. Semua undangan telah menyebar, dan hanya dari kertas tipis itu telah mengungkap memori yang harus dilupakan Frada selama tiga Tahun.
Lamuman Frada terhempas ketika pintu mobil diketuk oleh Gio, sambil memaksa diri membuka dia menyingkirkan kertas undangan yang sengaja diambil sebagai bahan Frada mengingat semuanya. "Ada apa?"
"Aku ingin menumpang, mobilku tiba-tiba saja mogok. Mau 'kan?" Gio merayu dengan kedipan mata.
Frada melirik ke arah mobil yang diparkir di deretan paling utama. "Kenapa sih kamu selalu bikin aku repot? Enggak bisa ya sekali aja kamu itu pergi jauh? Jauh … Dari … Ayo buruan, cepetan!"
Gio sempat bingung akan sikap itu, Frada mudah sekali bersikap aneh. Tanpa membuang waktu, dia cepat-cepat masuk. "Ayo, kita ke bar."
"Ke bar?" Frada menatap Gio tegang.
"Iya, ke bar. Kenapa? Kamu enggak mau?" tanya Gio mengerutkan kening kesekian kali setiap melihat sikap Frada.
"Lusa acara pernikahan kedua Xander, aku enggak mau keliatan bego di sana karena akibat mabuk malam ini." Frada menolak, dia pun langsung menambah kecepatan saat telah meninggalkan halaman parkir kantor SKA.
"Kalau gitu aku maksa," Gio hendak merenggut stir mobil. "Sini, aku aja yang nyetir!"
Perlakuan itu hampir membuat mereka terperosok ke pembatas jalan, Frada langsung memukul stir dan menatap beringas Gio. "Kau hampir saja membuatku celaka! Apa kau memang senang melihatku mati? Iya?"
Dari mulai bahasa dan intonasinya membuat Gio diam, dia tahu Frada memang sukar ditebak sejak gagal menikah. "Maaf, Frada aku hanya … Bercanda."
Tangan Frada langsung membuka pintu mobil dan keluar, kemudian dia berjalan menuju pintu satunya dan langsung membuka. "Keluar!"
"Ayolah, Frada. Aku ini hanya bercanda, kau tahu bagaimana aku 'kan?" Gio seperti sedang menyadarkan Frada yang terkadang marah tanpa alasan.
"Keluar! Atau aku …,"
"Baiklah, baik. Aku akan keluar sekarang," Gio melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. "Kau yakin akan meninggalkanku di sini Frada?"
Tidak ada jawaban, Frada bergegas masuk lagi ke dalam mobil dan menancap gas meninggalkan Gio yang kini berada di tengah kota. "Sial. Aku harus ke mana?"
Merasa bingung, Gio pun segera menghubungi Xander guna meminta bantuan agar dia kembali ke rumah tepat waktu, tanpa harus menunggu taksi. Panggilan ditanggapi dengan baik oleh Kakak pertamanya itu, dan Gio hanya menunggu beberapa menit Xander pulang.
Dalam jarak lima menit saja, Gio mendapati mobil sedan hitam berhenti di hadapannya. Tanpa menunggu lama, Gio pun masuk ke bagian depan. "Ayo, Pak jalan!" ucap Gio pada sopir di sebelahnya.
"Baik, kita akan ke mana Tuan Gio?" tanya sang sopir membuat Gio sontak menoleh dan terbelalak.
Mata itu memandang sekilas, kemudian Gio menemukan Xander menatapnya sambil tertawa kecil dari bagian jok belakang. Lalu Gio kembali duduk tenang, dari arah kaca depan dia melihat lagi ekspresi Xander. Sopir yang ada di sebelah Gio merupakan orang baru di SKA Corp. Namun, bukan itu masalahnya karena sopir berperawakan tinggi besar itu merupakan seseorang yang pernah dekat dengan keluarga Ivanska. Apa-apaan?
Jujur saja, Gio merasa tidak tenang. Meski dia tidak terlalu dekat dengan pria di sampingnya, tetap saja ini akan menjadi masalah baru di keluarga setelah perkara pernikahan Kakaknya yang pertama gagal, dan kini tengah menjalani sebuah hubungan rumit dengan wanita baru. Gio membanting punggungnya, gelisah tentu dirasakan olehnya. Tetapi, dia tetap diam seolah enggan ikut campur semua masalah Ayahnya.
[...]
Pikiran yang tegang kini kembali terobati dengan beberapa perawatan wajah dan tubuh di salah satu salon paling terkenal. Frada, ditemani Anna telah menghabiskan waktu seharian untuk terapi. Kini, dari beberapa perawatan salah satunya tengah dilakukan. Yaitu kuku cantik Frada, dia ingin mengganti warna catnya sebelum acara pernikahan Xander. Dia pasti akan sibuk, mengurus beberapa persiapan pernikahan. Karena saudaranya yang kini tengah mengalami perang dingin dengan Nathan, enggan menyiapkan secara pribadi.
"Hei, Frada. Apa kau sudah selesai?"
Baru saja Frada membuka sebuah aplikasi chatting, dia telah mendapat pesan berupa suara Anna. Dan tentu saja Frada tidak menanggapi, dan memilih meletakkan ponsel di pangkuan, dia kembali melanjutkan membaca majalah yang disediakan oleh salon.
"Frada!"
Kali ini suara itu nyata, Frada segera menoleh. "Apa? Aku belum selesai, mungkin satu jam lagi!"
"Baiklah, aku pulang dulu untuk mengambil barang milik Pak Xander, dia menitip bingkisan padaku kemarin." jawab Anna sambil mencari kunci mobil di dalam tas.
Hanya satu kode dari tangan Frada. Dia kembali pada majalah, mengikuti beberapa berita lokal karena Frada tengah belajar mengerti adat dan beberapa artis di Indonesia. Itu semua dilakukan supaya Frada mempunyai topik saat bersama teman-teman di kafe. Sudah sering Frada mendengar mereka bercerita banyak hal, tentang film bahkan restoran yang enak di Jakarta.
Satu jam berlalu, Frada hampir tertidur. Membaca tanpa mengenakan kacamata selalu membuatnya kantuk, meski mata minus tidak parah itu mampu membuat Frada kesulitan. Dia belum mengganti softlens yang baru.
"Sudah selesai, Nona. Apa ada yang masih perlu diperbaiki?" tanya beautician ramah.
Frada menatap sekilas kuku berwarna biru dipadupadankan dengan glitter kuning dan beberapa hiasan menghiasi kuku yang lain. "Ya, bagus kok. Udah enggak ada yang perlu diperbaiki lagi."
"Baik, mari saya antar ke pintu keluar!" sahut seorang penjaga salon.
"Terima kasih," Frada menatap lagi logo salon yang tertera di sekitaran resepsionis. Dia merasa puas, rasa sakit karena lelah akibat mengurusi beberapa persiapan pernikahan Xander telah hilang.
Dengan ditemani seorang penjaga di luar, Frada berusaha menghubungi Anna. "Sialan, ke mana sih anak ini?"
Lagi, Frada berusaha menelpon ponsel Anna. Tetapi, tidak ada jawaban. Frada pun mendekati penjaga. "Pak, bisa bantu cariin taksi enggak?"
"Oh iya, mari saya antar ke jalan!"
Frada mengekor dari belakang, tidak lama pun taksi lewat dan dia tidak perlu menunggu lama. "Terima kasih banyak, Pak. Saya senang dengan pelayanan di sini."
"Sama-sama Bu. Wah … Terima kasih, kami menunggu kedatangan Anda kembali ke sini." ucap satpam sopan.
Frada tersenyum manis, dia pun sudah berada di dalam taksi. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam waktu setempat, Frada pun memutuskan untuk ke rumah Xander. Tetapi, sebelum itu Frada lebih dulu membeli oleh-oleh untuk keponakan satu-satunya. Sate ayam kesukaan Isabella.
Satu tujuan telah usai, Frada meminta taksi untuk ke perumahan elit di tengah kota. Perlu satu kilometer Frada telah berada di depan gerbang rumah Xander, dia turun dan membayar tarif yang tertera. "Terima kasih."
"Sama, Nona." sahut sopir taksi.
Perasaan Frada selalu senang saat akan bertemu Ibel, keponakan yang telah dianggap seperti anaknya sendiri. Dari halaman Frada sudah berteriak memanggil nama Ibel. Namun, tidak ada sahutan. Mungkin di dalam. Dalam hati Frada menduga, dia segera menuju ke pintu utama.
"Ibel, Bibi datang nih, bawa …,"
Frada langsung membungkan mulutnya saat dia melihat ada tamu. Di sana juga terlihat Nathan dan Xander. Benar-benar ceroboh. Frada pun membungkuk, dan sempat mengamati punggung seorang pria di depannya. "Maaf, mengganggu."
Nathan langsung bangun. "Hai, Sweety. Sini, duduk di sebelah Papi! Kita bicara bentar, eh bukan! Papi cuma mau kamu liat Bodyguard baru mu."
Frada mendengus. Rupanya Nathan tidak melupakan hal itu. Baiklah, Frada pun mendekat dan mendapati tubuh itu berdiri tegak di depannya. Senyum itu mengundang banyak rasa sakit di dadanya, seketika mematikan semua perasaan hari ini.
"Selamat malam." sapa pria pemilik hidung mancung, rahang tegas, mata bulat abu-abu kecoklatan dengan pakaian serba hitam tersenyum manis kepada Frada.
Suara itu pun berperan sebagai luka lama yang kini kembali muncul. Frada menelan ludah, menganggap bahwa ini masih terlalu menyakiti. Frada pun langsung menatap Nathan dari mimik wajah kurang suka. "Oh. Jadi maksud Papi, dia? Thats great, Buddy!"
Frada menaruh kasar bingkisan ke meja, dia pun langsung keluar. Melihat itu, Xander yang duduk di bangku bangku paling ujung langsung mengejar Frada. "Frada!"
Teriakan apa pun tidak dihiraukan, Frada berlari sebisa mungkin sambil menata lagi hati yang masih hancur sampai kapan pun. Air matanya pun menetes tiada henti, dia terus berlari meski Xander mengejarnya. Teriakan namanya terus terdengar, dan Frada tetap tidak ingin kembali apa pun keadaannya.
Pada sebuah pemberhentian angkutan umum, Frada mendapat taksi. Namun, dia terlambat karena Xander lebih dulu menahan dan meminta agar taksi itu pergi. "Dengerin Kakak dulu!"
Secara kasar Frada melepas tangan Xander. "Telingaku ini tetap akan tuli apa pun alasannya!"
"Hei," Xander melawan tenaga Frada untuk bebas. "Dengerin dulu! Dia … Dia di sini memang ditugaskan untuk …,"
Xander menahan kata-katanya saat Frada menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Secara pelan dia pun menunggu dan berusaha melepas tangan Frada, Xander tahu ini sangat berat bagi Frada yang harus melihat kembali mantan kekasih yang pernah pergi di hari pernikahan mereka.
Meski dia telah kuat, nyatanya Frada lemah kembali setelah menatap jelas wajah itu. Begitu dekat, walau beberapa detik saja. Tetapi, Frada mampu mengingat semua memori dulu saat dia masih sering menikmati suasana bersama Tristan.
"Biarkan aku pergi!" ucap Frada melemah, dia berusaha tetap berdiri tegak.
Xander langsung memeluk erat, dia memberi belaian lembut di rambut panjang Frada. "Lusa ada acara pesta pernikahanku, tolong jangan membuat dirimu lebih lagi Sayang!"
Frada terus berontak, dia pun langsung memegang kendali itu dengan tenaga penuh. Xander menatap sayu Frada. "Maafin Kakak, bukan ini yang kita mau! Bukan!"
"Apa yang kalian rencanakan huh? Papi, apa maksud semua ini? Katakan, Xander!" teriak Frada menahan emosi memuncak yang muncul dengan sempurna.
Xander tidak mungkin menceritakan semua ini secara jelas, dalam keadaan Frada yang masih syok saat melihat Tristan. "Tenang, Frada!"
Tangis itu masih terus berlangsung, Frada pun lelah melawan tenaga Xander yang terlalu besar. Dia pun diam, sambil memeluk erat dan membenamkan wajahnya di d**a Xander. "Kau … Kenapa lakukan ini padaku, Xander?"
Suara itu mulai habis, Xander tidak kuasa melihat semua ini. Dia tahu betapa sangat berat ketika orang yang dicintai memberikan sebuah penghiatan. Tetapi, ini lain saat Xander telah mengetahui satu fakta yang bisa mengancam Frada kapan pun. Dan setelah mencari tahu siapa yang pantas menjadi penjaga utuh Frada, dia memutuskan untuk mempekerjakan Tristan kembali.
Selama tiga Tahun ini, Xander pun mencari di mana keberadaan Tristan. Dia menemukan Tristan di perbatasan kota kecil di Rusia, bersama seorang anak kecil dan perempuan yang merupakan istri sah. Xander pun merasa kecewa, dia bahkan sempat menghukum dirinya dengan memukuli dinding dan melukai tangannya. Tetapi, ini adalah situasi yang sangat memaksa dan Xander telah mengetahui jika Tristan merupakan mantan tentara bayaran Amerika Serikat. Tristan adalah orang yang tepat untuk menjaga Frada dari seseorang yang telah meresahkan hati Nathan.
[...]
Keadaan kembali tenang setelah Xander mengajak Frada duduk di taman kota. Mereka masih saling diam, dan sesekali Xander menghapus air mata membasahi pipi Adiknya.
"Sekarang kamu bisa cerita, Xander! Sekarang!" ucap Frada meneguhkan hatinya yang masih remuk.
"Besok ada rapat antara aku, Papi, dan … Um …,"
"Tristan! Kenapa? Aku harus dateng? Iya?" Frada menatap sekilas, dia segera memalingkan wajah ketika tidak kuat melihat kenyataan pada wajah saudaranya.
"Ya, kamu dateng ya! Ini penting juga buat kamu," Xander menggenggam erat tangan Frada. "Nanti aku bakal jelasin semuanya! Janji!"
"Aku benci janji! Kamu tau itu, 'kan?" ucap Frada setengah membentak.
"Iya, iya. Ok," Xander tetap berusaha tegar menghadapi kemarahan Frada. "Aku bakal cerita, kalau kamu dateng!"
Mendengar alasan itu, Frada semakin kesal. "Sejak kapan kamu punya persyaratan, Kak Xander?"
"Sejak kamu seperti ini! Kenapa sih kamu masih mau aja nyiksa batin? Apa yang sudah berlalu, kenapa perlu diingat lagi?" ungkap Xander mulai kesal menghadapi sikap Frada.
Lampu di atasnya menyirami warna kekuningan, membuat pandangan Frada terasa kurang jelas. Tetapi, dia langsung berdiri dan berkata, "Dia pergi, meninggalkan segala perasaan dan penantian yang begitu lama. Bagaimana perasaanmu, Xander?"
Xander menarik napas, dia tahu ini sangat sulit. "Ya, aku tau. Seperti orang t***l, maksudmu?"
"Kamu bukan t***l, Xander! Tapi …,"
"Bodoh dan enggak berguna! Itu yang aku rasakan saat terus mikirin Adhisti!" balas Xander akhirnya mengungkap mantan istri yang juga telah meninggalkannya.
Frada terpaku menatap wajah Xander melemah, dia pun kembali duduk dan berusaha tenang. Frada tidak ingin berpikiran kacau lagi, dan akan membuat hubungan baik dengan saudaranya hancur. Sesekali Frada melihat wajah Xander, dia dapat merasakan kelemahan jiwa itu ketika mengungkap apa yang terjadi. "Maafin aku, Kak Xander."