Cahaya kuning menyilaukan kamar berukuran sedang itu menyambut pandangan Tristan, dia merasa kurang nyaman dan akhirnya mematikan lampu pijar yang terbuat dari air dan beberapa bunga bunga yang diawetkan, kemudian diberi lampu inti putih tertempel di dinding.
Rasa rindu telah memasang semua ingatan kepada anak kecil berusia 7 Tahun. Dialah penguat diri selama tiga Tahun ini, dan Tristan tidak lagi menyembunyikan identitas Fredi Maureen. Anak semata wayang yang Tristan temukan ketika sedang menjalani tugas melindungi Nathan di pedalaman Denmark. Kini, dia telah menganggap anak laki-laki itu sebagai keturunannya dan telah memiliki identitas resmi berkebangsaan Rusia.
"Hai si pemberani," Tristan menyambut Fredi yang seketika bangun. "Apa kabar, huh?"
"Daddy."
Tristan memeluk Fredi. "Hai, apa aku mengganggumu?"
Fredi menepuk-nepuk pundak Ayahnya. "Tidak, aku baru saja bermimpi tentangmu."
"Benarkah? Mimpi apa?" tanya Tristan menahan sesuatu sangat berat di pikiran, dia membayangkan bagaimana jika suatu saat tugas berat kembali membawanya.
Lalu Fredi melepas pelukannya, dia mengusap pipi kiri Tristan. "Aku bermimpi kau menangis seperti anak kecil, lalu meminta tolong dan ada wanita cantik memelukmu. Tapi itu bukan Mommy, kenapa?"
Tristan menarik napas dalam-dalam, mengerutkan kening dan harus tetap terlihat riang dengan senyum seperti biasa. "Oh ya? Wanita cantik siapa? Kau tahu namanya?"
Fredi menggelengkan kepala, wajah polos itu menatap serius. "Daddy ke mana saja?"
"Ada tugas yang harus aku lakukan, Nak. Maaf jika terpaksa meninggalkanmu lagi," Tristan memainkan rambut sebatas bahu Fredi. "Kau tidak masalah 'kan?"
"Aku sudah terbiasa tanpamu, Dad. Tidak masalah." Fredi turun dari tempat tidur.
Sungguh, kata terbiasa itu merupakan arti jika Tristan sering mengabaikan putranya. Kini dia pun dikejutkan dengan sebuah gambar yang tertanam di selembar kertas, wajah dari seorang wanita. Entah, siapa yang dimaksud Fredi.
"Dia, yang ada di mimpiku bersamamu." ucap Fredi memberikan hasil gambarnya.
"Siapa namanya?" tanya Tristan semakin penasaran walau itu hanya mimpi sedang anak-anak.
"Tidak tahu," Fredi menatap polos. "Aku berencana akan menanyakan namanya jika memimpikan dia lagi."
Mendadak Tristan tertawa. Hanya tingkah konyol Fredi yang mampu membuatnya lupa akan masalah hidup. "Kapan rencana kau akan bermimpi lagi, huh?"
Terlihat Fredi berpikir keras, dan Tristan masih menunggu jawaban itu. Namun, getaran ponsel di saku membuyarkan situasi. Tristan melihat nama salah seorang teman yang menggantikan posisinya menjaga Frada. "Ya, ada apa?"
Lalu panggilan suara tersebut berganti menjadi tampilan video, Tristan melihat keramaian bar dan beberapa laki-laki sedang berpesta. Tidak lama, kamera mengarah pada posisi Frada yang sedang mabuk berat. Tristan langsung mengakhiri panggilan, dia segera menggendong Fredi keluar kamar.
Pada area ruang tengah, Tristan menemukan Feodora sedang bersantai. "Hei, burung Gagak. Aku titip Fredi lagi."
Feodora terkejut, dia langsung menaruh gelas ke meja dan menerima tubuh Fredi di pangkuan. "Kau mau ke mana?"
"Ada tugas mendadak," Tristan langsung mengecup kening Fredi. "Mungkin besok siang, aku kembali lagi ke sini."
Jujur saja, selalu membuat keadaan hati semakin sulit jika harus berpisah dengan Fredi. Tetapi, gadis itu sama pentingnya bagi Tristan. "Pria hebat, kau dengan Ibumu ya! Jangan nakal, dan tanyakan nama wanita yang ada di mimpimu itu!"
Demi apa pun, Tristan ingin memaki keadaan. Entah kepada siapa dia akan melampiaskan, semua karena dia telah pergi terlalu lama dan membuat seorang Frada benar-benar lain. Ya, Tristan tahu bahwa sikap itu tidaklah liar. Frada hanya mencari kesibukan saat semua telah hancur. Ini semua diketahui ketika Xander menceritakan semua kisah selama tiga Tahun ini.
[...]
Musik menerkam habis telinga Tristan ketika dia masuk melalui pintu belakang klub, sambil mencari di mana letak yang terlihat di video tiga puluh menit lalu. Tristan pun hanya menemukan temannya berbaring di sofa, dari yang terlihat pria itu telah dicekoki alkohol kadar tinggi. Tristan langsung membungkuk untuk merasakan denyut nadi dan menghirup aroma dari mulut pria itu. Memang benar jika ini efek dari alkohol. Tristan bangkit, dia berjalan lagi untuk mencari Frada. Tanpa sengaja Tristan menemukan Anna di bartender. "Mana dia?"
Anna terkejut, dan langsung menarik lengan Tristan. "Aku sudah mencegahnya, karena orang yang dekat dengan Frada saat ini seperti orang jahat, dia …,"
Terlalu lama jika Tristan harus mendengarkan Anna, dia bergegas ke lantai dua. Tristan perlu berjalan lebih cepat, dan dia mendapati Frada berada area panggung penari. Tubuh itu tengah dipaksa untuk naik. Tetapi, tampak Frada menolak lemah.
Tristan langsung menyingkirkan pria yang berusaha untuk membawa Frada ke atas, kemudian dia membawa gadis itu menjauh dari area penari. Namun, saat akan membantu Frada duduk di sofa tiba-tiba ada yang memukul punggung Tristan dengan gelas. Pukulan itu terasa lemah, karena pemuda yang ada di belakang Tristan juga sedang mabuk berat.
Tanpa memberi perlawanan berarti, Tristan hanya mendorong pria itu agar menjauhi Frada. Tidak lama, dia dikejutkan lagi oleh pukulan dengan tangan. Walau tidak terasa apa-apa karena gerakannya melambat, tetap saja Tristan menjadi kesal. Dia langsung mendorong keras pria itu hingga terjungkal dan mengenai orang lain.
"Hei, apa-apaan nih? Kok berantem di sini?" pria bertato menatap Tristan kurang suka.
Lalu Tristan mendekat, dia mengambil botol dari tangan orang lain yang sedang duduk. "Kenapa? Kamu enggak terima?"
Orang lain mendekat, dan berusaha menahan tubuh Tristan. "Udah, udah! Jangan, berantem! Nanti ada yang lapor polisi, gawat!"
Lalu Tristan membuang botol itu sembarang, dia menatap lagi pria yang sedari tadi memaksa Frada menari. "Hei kamu, jangan sekali lagi dekat-dekat sama Frada. Ini peringatan!"
Kemudian Tristan berhasil menahan emosi sesaat yang membuatnya sangat bodoh, lalu datang Anna membawa dua orang penjaga. "Tristan, bagaimana?"
"Aku akan membawanya pulang," Tristan menyambut orang-orang SKA yang baru saja datang. "Kalian, jangan sampai Tuan tahu!"
"Baik, Pak."
"Anna," Tristan memberikan tas jinjing Frada. "Bawa mobil hijau, dan aku akan memakai mobil Frada."
"Baiklah, Tristan."
Tristan pun keluar dari area klub, sambil membawa Frada yang setengah sadar. Saat berada di mobil, tiba saja tangan Frada berontak menolak dibantu memakai sabuk pengaman. Matanya kurang suka saat melihat. "Anda harus pulang!"
Frada langsung tertawa keras. "Bukannya kamu itu cuti ya? Ah, kenapa cepet banget sih? Masa baru sejam pulang, dua hari udah berlalu? Um … Apa jangan-jangan memang kamu itu lagi berusaha buat aku … Terkekang ya?"
Tristan mengabaikan. Tetapi, usahanya kembali memakaikan sabuk pengaman ditolak Frada. "Nona, Anda bisa celaka tanpa …,"
"Berhenti panggil aku Nona! Jijik!" bentak Frada wajahnya sangat dekat dengan Tristan.
"Saya bantu memakai sabuk." Tristan tetap berupaya memastikan bahwa Frada aman saat naik mobil.
Meski terus mendapat perlawanan, Frada akhirnya kalah dalam menyaingi tenaga Tristan. Semua telah siap, dan Tristan cepat-cepat pergi meninggalkan area klub malam. Dia tidak peduli meski Frada berusaha melepas sabuk pengaman, karena dari tenaga itu sendiri masih lemah menghadapi efek alkohol yang dikonsumsi.
Jarak dari klub menuju rumah Frada hanya beberapa menit saja, Tristan segera memarkirkan mobil ke garasi guna agar tidak ada yang melihat. Yang dimaksud Tristan jika salah satu anak buah Nathan sampai melihat, tentu Frada akan menjadi masalah lagi.
Mobil telah terparkir di sebuah garasi besar yang terletak sedikit menjorok ke bawah. Tristan memastikan lagi tidak ada yang melihat, kemudian dia berusaha membangunkan Frada. Tetapi, tangannya tiba saja tertarik untuk menyisihkan sisa rambut tergerai ke wajah. Benar-benar cantik. Tristan mendekati wajah itu, mengamati setiap struktur dan kulit terlihat sangat lembut.
Tidak ingin berlama-lama seperti orang bodoh, Tristan segera keluar dan membuka pintu bagian samping, lalu menggendong Frada menuju pintu belakang rumah. Di sana Tristan telah melihat Anna menunggu di ruang keluarga.
"Apa ada yang tahu?" dari cara Anna bertanya, sepertinya dia khawatir.
"Tidak ada." jawab Tristan singkat, dia segera membawa Frada yang tengah melenguh dan berbicara tidak jelas menuju kamar.
"Pergi!" tangan Frada mendorong lemah wajah Tristan saat dibaringkan di tempat tidur.
"Apa yang harus dilakukan? Bagaimana jika Tuan tahu?" tanya Anna masih panik.
Tristan memperhatikan sekitar, dia mengambil gelas kosong yang ada di meja lalu memberikannya kepada Anna. "Buatkan s**u hangat!"
Anna baru saja mengingat sesuatu. "Ah ya, baiklah. Aku segera kembali."
Tristan membantu melepaskan sepatu dan beberapa aksesori di tangan dan leher Frada. Setelah itu, dia berdiri diam tanpa berkeinginan melakukan apa pun. Itu semata hanya agar matanya tidak tergoda, Tristan pun berjalan ke sana kemari mencerna semua yang dilakukan oleh Frada malam ini.
"Apa laki-laki itu pacarnya?" ah, sungguh ini mengganggu pikiran Tristan.
Semua anggapan tidak diungkapkan meski Tristan tetap memikirkan pria yang memaksa Frada menari, dia hanya fokus pada tangan terasa begitu dingin. "Selalu aja begini, dia ini enggak kuat alkohol tetap nekat. Keras kepala!"
"Hei … Pergi, sana!" ucap lagi Frada dalam keadaan masih setengah sadar.
Tristan menghalangi usaha Frada mengibaskan tangan. Pelan, Tristan membawa Frada ke posisi yang lebih baik dengan bantal mengganjal bagian leher dan kepala. Tidak lama, Anna datang sambil membawa baki. "Apa itu yang ada di mangkuk?"
"Ini sup dan susu."
"Baiklah, kau suapi dia!" pinta Tristan bangun dari tempat tidur.
Anna menatap tegang wajah Tristan. "Aku?"
"Ya, kau. Kenapa?" Tristan hanya tidak ingin semua perlakuannya terekam di sebuah alat yang selalu terpasang di telinga dan lensa kontak.
Kening Anna mengkerut, dia merasa Tristan benar-benar sudah lain. Dia pun segera menyuapi Frada, meski susah Anna tetap berusaha melakukan. "Kau ini, benar-benar anak nakal! Aku tahu kau sudah dewasa, tapi kau ini … Payah dalam hal mabuk, Frada."
Tristan mendengarkan semua ocehan Anna, sambil mengamati sekitar di bawah pengawasan kamera di sekitar rumah dari ponselnya. "Apa rumah ini pernah kedatangan orang asing, yang mencurigakan misalnya?"
Anna sempat menoleh saat merespon pertanyaan Tristan. "Tidak, memangnya kenapa?"
"Aku hanya bertanya."
Meski sebatas pertanyaan Anna tidak bisa mengabaikan, dia langsung menahan langkah Tristan saat akan pergi. "Hei, ada sesuatu yang aku bicarakan!"
Kemudian Tristan melirik ke arah Frada. "Kau urus saja dulu, aku ada di luar."
"Baiklah."
Lalu Tristan keluar. Namun, saat akan menutup kembali pintu dia menatap cukup lama Frada yang terbaring lemah sambil mengunyah pelan sup dari Anna. Mungkin saja jika hari ini Tristan tidak mengambil cuti dan pulang, Frada akan tetap aman di rumah. Sesal itu muncul di pikiran, dan semua telah menjadi hal yang percuma.
Beberapa menit terlewati, Anna keluar dari kamar dan Tristan sedang berdiri dengan posisi siap siaga. Hingga Anna mendekat, Tristan tetap pada posisi utama. Dia hanya tidak ingin lalai dalam menjaga Tuan nya. "Ada apa? Kau ingin bicara apa?"
"Tentang … Pertanyaanmu, tadi. Aku sempat melihat seorang pria, wajahnya … Bukan seperti kebanyakan manusia di sini. Maksudku dia seperti orang Amerika." jelas Anna setengah, dia menatap sekeliling.
"Dia sempat berdiri di depan pintu gerbang, saat aku mendatangi dia langsung pergi." lanjut Anna merasa tidak perlu ada yang mendengar pembicaraan ini terutama Frada.
"Kau yakin bukan teman Frada?" Tristan mulai tertarik dengan cerita Anna.
"Aku kenal semua teman Frada, bahkan yang ada di sini. Yang ada di klub, dia pernah menyatakan cinta tapi … Frada hanya tertawa." jelas Anna lagi.
"Lalu siapa pria Amerika yang kau maksud?" tanya Tristan hanya ingin satu penjelasan didapat.
Anna mengangkat kedua bahu, dia mengingat dan terus berusaha. Namun, tetap saja dia merasa asing dengan pria itu. "Aku tidak tahu, dan aku rasa bukan teman Xander atau Gio. Aku belum pernah melihatnya."
Menduga itu bukan hal yang menyenangkan bagi Tristan. Tetapi, dia juga mendapati keadaan yang janggal. Pria Amerika? Mungkinkah seseorang yang akan dibicarakan oleh Xander? Ketika Tristan benar-benar sudah melalui masa percobaan selama satu bulan menjaga Frada.
"Ya sudah, mungkin itu hanya orang yang salah alamat. Kau masuk dan jaga Frada, aku ada di sini!" ucap Tristan tidak semudah itu memiliki pendapat, hanya dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
"Kau … Membatalkan cuti hari ini?" tanya Anna memastikan.
"Mungkin besok, atau lusa." jawab Tristan tanpa menatap Anna.
"Hm … Baiklah, aku masuk dulu. Jika ada apa-apa aku pasti memberitahumu." ucap Anna berlalu.
Dalam hati Anna memiliki kebencian terdalam untuk Tristan. Tetapi, entah dia selalu percaya bahwa Tristan mampu menjaga Frada keadaan di negara yang bisa saja membawa bahaya. Kemudian Anna masuk ke kamar, sambil menaruh harapan akan ada setitik kebaikan pada hubungan Tristan dan Frada.
Lain dengan Tristan yang berdiri tegap di samping pintu kamar Frada, dia masih memikirkan siapa pria yang dimaksud oleh Anna. Memang tidak heran jika banyak lelaki yang berusaha mendekati Frada, bahkan dulu Tristan mempunyai banyak pesaing dan mereka berasal dari keluarga kaya raya. Dia hanya mampu memberikan waktu, itu pun Tristan telah menghancurkan semuanya. Ya, tanpa sisa.
"Aku harus tetap mencari tahu alasan Nathan memintaku bekerja lagi dengannya. Dia yang telah memecatku tanpa hormat, dan kini … Semua berbalik, ada apa sebenarnya?" gumam Tristan melirik pintu kayu kuat nan kokoh kamar Frada.