Baik Fitri juga Lia hanya bisa saling memeluk juga menangis. Sepeninggalan orang Bank, walau masih bicara baik-baik dan menunjukkan beberapa berkas kontrak juga banyaknya pinjaman yang diajukan ayahnya, tetap saja membuat mereka berdua kebingungan. Belum lagi jangka waktu yang diminta. Dibantu Bu Arum mereka bernegosiasi kalau masalah menyitaan rumah jangan dulu dilakukan karena Fitri pun baru mengetahui hal ini.
Orang Bank sendiri baru kali ini menagih ke rumah karena seringnya bertemu sang ayah di poul tapi sudah sebulan ini Amir sulit sekali ditemui. Tiap kali akan dilakukan penyitaan, Amir langsung membayar satu kali cicilan juga meminta waktu lebih untuk melakukan p********n lagi.
Alurnya seperti itu terus sampai akhirnya mereka ke rumah yang dijaminkan.
“Nasib kita gimana, Kak?” tanya Lia demikian lirih. “Kita mau tinggal di mana?”
Fitri berusaha tegar sekali. Diusapnya punggung sang adik pelan. “Kakak juga enggak tau, Lia. Ini rumah peninggalan Ibu. Aku yang diamanahi Ibu untuk menjaga malah begini, Lia. aku bersalah banget jadinya.”
“Kakak enggak salah,” Lia sedikit mendorong tubuh kakaknya. Mengusap pelan sudut matanya yang masih meneteskan air mata. “Ini semua salah si Tua Bangka enggak tau diuntung. Sialan banget orang itu! Buat apa, sih? Ngasih uang untuk kita makan aja enggak. Ngerawat Ibu selama sakit aja juga enggak. Aku masih ingat, kok, yang pontang panting cari uang itu, kan, Kakak. lalu uang sebanyak itu untuk apa?”
Mau tidak mau, Fitri setuju dengan ucapan Lia kali ini biarpun kasar juga tak sopan. Rasanya memang memaki ayahnya butuh Fitri lakukan karena sejak tadi, dirinya seperti dicekik juga dibuat kesulitan bernapas.
“Utang sama rentenir, ada. Sama Bank, juga ada. Gila kali dia utang di mana-mana,” sungut Lia lagi. “Judi ddan mabuk terus. Kenapa bukan dia aja yang mati? Malah Ibu yang meninggalkan kita duluan?”
Biasanya kalau Lia sudah mengoceh seperti ini, Fitri akan menahannya. Bukan tak suka kalau mendengar ada orang yang menjelekkan salah satu anggota keluarganya. Bukan. Tapi rasanya marah seperti ini pun sia-sia. Tak ada gunanya malah menahan dosa karena mulutnya tak bisa dikontrol. Namun mala mini mendengar Lia mengoceh dan memaki, hatinya mendadak sedikit berkurang bebannya.
“Besok Kak Fitri izin kerja mau cari Ayah. Biar bagaimana pun kita harus tau versinya gimana.”
“Mau cari di mana, Kak?” erang Lia dengan kesalnya. Ia sampai menjambak pelan rambutnya saking kesal dengan pemikiran kakaknya. “Dari pada nyari Tua Bangka yang enggak pantas disebut ayah itu mendingan kita pergi dari sini. Ini bukan urusan kita. Kalau kelamaan di sini, preman itu datang lagi, aku yakin bukan cuma aku aja yang dibawa. Kakak juga.”
Fitri diingatkan lagi mengenai keberadaan preman-preman tadi. mungkin hari ini mereka masih bisa dilindungi oleh orang-orang di sini karena kedatangan mereka di siang hari. Tapi kalau malam hari? Belum lagi kalau membawa preman lainnya? Berbuat onar?
Ya Allah, Fitri tak bisa membayangkan.
Akan tetapi, rumah ini, yang mana sekarang dia pandangi tiap sudutnya. Beberapa potret dirinya saat kecil. Juga Lia. bersama ibu dan ayahnya yang tersenyum bahagia. Merasakan manisnya hidup berkeluarga. Yang berubah seiring waktu berjalan. Yang mendewasakan Fitri tanpa tau harus berpegangan dengan apa kecuali keyakinannya.
Di mana di setiap sudut ruang ini kenangan manis akan ibunya masih sering terbayang di mata Fitri.
“Aku harus tetap mencari Ayah, Lia. Ini harus diselesaikan. Rumah ini milik kita, Lia. peninggalan dari Ibu. Seandainya memang tak bisa diselamatkan, paling enggak aku tau, apa yang Ayah lakukan dari uang sebanyak ini.”
Lia berdecak. “Kak Fitri ini masih enggak tau memangnya digunakan apa uangnya? Kak Fitri ini mau cari sakit hati sendiri, ya?”
Fitri tersenyu kecil di antara miris yang ia punya. Sebenarnya ia yakin apa yang Lia katakan pasti lah kemungkinannya benar. Tapi keinginannya kuat sekali untuk tau dari mulut sang ayah. Juga kenapa harus mereka berdua yang menanggung utang dengan para preman itu? Apalagi Lia yang dijadikan jaminan?
Apa hati da nisi kepala ayahnya itu dibuat dari tong kosong?
“Enggak apa-apa, Lia. Besok aja aku carinya. Lusa, kita siap-siap tinggalkan rumah ini saja.” Keputusan ini tidak seratus persen Fitri yakini. Tapi setidaknya, setelah mengatakan hal ini, Lia mengangguk cepat.
“Aku coba cari pinjaman dengan teman-teman siapa tau bisa untuk kita ngekost dulu, Kak.”
Fitri lagi-lagi tersenyum. “Maafkan Kakak, ya, Lia. Kakak enggak punya banyak daya di sini.”
***
“Kenapa baru angkat telepon saya, Fit?”
Gadis berlesung pipi itu memejam kuat. Tangannya meremas ujung daster katun yang ia kenakan. Berdiri di ruang depan menikmati beberapa pengendara motor yang mondar mandir. Sesekali dari warga yang melintas, melirik ke arah rumah Fitri lalu berbisik-bisik.
Sudah terbiasa bagi Fitri apalagi ditambah kejadian siang tadi. Pasti menjadi gosip hangat yang semakin jadi dibuat-buat.
“Maaf, Dokter. Sejak tadi di-charge.”
“Benar, kah?”
Suara itu mengandung sekali rasa sangsi yang demikian besar pada Fitri. Kalau pria itu ada di depannya, pasti matanya sudah sedikit memicing curiga. Lalu kembali mendesak Fitri untuk bicara. Sama seperti sebelum-sebelumnya di mana ia dibuat tak berdaya untuk bercerita mengenai hidupnya di rumah.
Sama sekali tak bisa menghindari cara Andra menekan lewat suara. Seolah ada tekanan tak kasat mata yang membuat bibir Fitri untuk bergerak dengan sendirinya.
Fitri tak kuasa menjawab. Menahan air matanya yang mulai berkaca-kaca. Hatinya terus meminta agar tidak ada yang perlu diceritakan mengingat kebaikan Andra akhir-akhir ini. Ia tak mau merepotkan orang lain. Lagi pula siapa Andra?
Hanya orang luar yang kebetulan, kadang terlalu banyak ingin tau mengenainya. Di mana kebodohan Fitri yang membuatnya banyak membuka hal-hal yang seharusnya ditutupi.
“Fitri, saya sudah ada di masjid rumah kamu. Temani saya makan bisa?”
“Ya, Dok?”
“Saya tau kamu dengar dengan jelas ucapan saya barusan. Saya tunggu.”
Fitri mengerjap berulang kali begitu layar ponselnya kembali pada menu awal. Sambungan telepon tadi terputus begitu saja. Fitri bukan orang tuli tapi kenapa? Apa maksudnya.
Tak lama berselang, satu pesan masuk dari Andra.
Dokter Andra : Saya tunggu lima menit lagi atau saya ke rumah kamu?
Andra itu pemaksa, Fitri seharusnya sudah hapal di luar kepala. Belum lagi, Fitri tak bisa berkutik karena banyaknya utang budi antara dirinya juga Andra. Cepat-cepat ia masuk ke dalam. menyambar cardigan yang ada di salah satu gantungan. Menyemprot parfum karena cardigan tadi agak lama tersimpan di sana. Siapa tau ada bau apak. Rasanya sungkan kalau sampai Andra mencium bau kurang sedap darinya.
“Kak?” tanya Lia begitu ia keluar dari kamar dan mendapati kakaknya terkesan buru-buru melangkah keluar. “Mau ke mana?”
“Aku mau ketemu teman dulu,” dusta Fitri tapi setelah dipikir-pikir, ia tak berdusta, kan? Andra termasuk salah satu temannya, kan? Walau beliau usianya lebih jauh? Tapi …
Lia mengerutkan keningnya tapi tetap mengekori langkah Fitri keluar. Jalannya masih sama, terburu-buru hingga Lia melihat satu mobil sedan putih di mana kakaknya masuk ke dalam. Lalu pergi begitu saja. membuat Lia makin kebingungan. Apa kakaknya sekarang memiliki pacar?
Pacar yang kaya?
Benar kah?
Sejak kapan?
Kakaknya tak pernah bercerita mengenai hubungan asmaranya. Cerita kakaknya hanya seputar Dokter Andra, Dokter Abi, Dokter Lissa, Mbak Parmi, Diana, beberapa teman yang agak Lia lupa namanya karena jarang sekali disebut dalam keseharian sang kakak beraktifitas.
Senyum Lia terkembang lebar. Paling tidak, dari banyaknya masalah yang mengimpit mereka berdua, kakaknya tak melupakan hatinya yang harus diurusi. Siapa tau pria itu pria baik yang mau mengerti keadaan Fitri. Bisa menjadi teman curhat yang baik.
Pulang nanti, Lia harus mendesak kakaknya untuk bercerita. Jangan sampai ia tertinggal terlalu jauh mengenai hubungan kakaknya dengan pria lain. Minimal Lia harus kenal agar tau, pria ini benar-benar baik untuk Fitri atau tidak. Siapa tau saja hanya mau memanfaatkan karena kaya? Tidak ada yang tau, kan?
Di lain tempat, Fitri tampa terengah karena setengah berlari juga mengawasi sekitar. Dokter Andra ini keterlaluan. Saat dirinya masuk, malah ditertawakan katanya, “Kamu ini dikejar hantu, Fit?”
“Dokter malam-malam ke sini ada perlu apa?” Fitri tak mau basa basi terlalu lama padahal dirinya juga rasanya sungkan sekali mengatakan hal ini.
“Oh, banyak Fit. Salah satunya mau makan dulu sebelum bertanya dan kamu jangan mengelak. Saya enggak suka orang di sekitar saya ini menutupi sesuatu.”
Fitri menelan ludah gugup.
“Kamu dengar, kan, Fit?”