BAB. 14

1496 Words
    Naima sudah mempersiapkan diri. Pulang dari rumah sakit, ia masih harus bertemu dengan klien lain. Ada beberapa hal yang harus ia bicarakan terutama mengenai pasokan obat. Jangan sampai rumah sakitnya mengalami kelangkaan obat tertentu dan digantikan dengan yang lebih rendah kualitasnya. Naima tipe orang yang sangat menjaga kualitas pelayanan sejak memutuskan terjun langsung di rumah sakit ini.     Belasan tahun ini ia berusaha menjaga Rumah Sakit Medika ini untuk berjalan sebagaimana mestinya. Melakukan perubahan juga atas pertimbangan dan saran dari suaminya. Ia motor penggeraknya sementara sang suami, Andra Riyanto sebagai penasihatnya. Terdengar cocok bukan? Saling mendukung dan menyokong satu sama lain di mana Andra bisa langsung mengecek apa-apa saja yang dibutuhkan sementara Naima menjalin kerja sama eksternal dengan banyak pihak.     Dan jadilah sekarang. Rumah Sakit Medika dikenal sebagai rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang oke punya.     Saat ia tiba di rumah, keadaan masih sepi. Hanya ada pembantu dan tukang kebun saja. dua anaknya masih melakukan kegiatan di luar. Adi masih repot dengan kuliahnya yang masih tahap semester awal. Belum lagi Kiran, adik Adi yang tak kalah sibuk dengan ekskul tarinya. Katanya mau persiapan lomba dua minggu lagi. Makanya latihannya makin dibuat gencar.     Naima dan Andra tak masalah kalau kedua anaknya sibuk dengan banyak kegiatan di luar. Selama kegiatan itu positif dan memberi dampak cukup baik bagi perkembangan mereka, Naima juga Andra membebaskan mereka. Lagi pula kedua anaknya sadar diri kalau ada kepercayaan orang tuanya di bahu masing-masing. Jadi tak pernah ada niatan untuk melenceng dari apa yang sudah mereka emban.     “Bu, nanti mau makan malam apa?” tanya Bik Riri. Pembantu di rumahnya. Naima yang baru meletakkan tas kerjanya, hanya menoleh dan tersenyum kecil. Memberikan bungkusan berisi bolu yang tadi dibawa dari meja kerja suaminya.     “Aku mau makan ini dulu, Bik. Siapkan teh melati, ya. Saya mandi dulu. Makan malamnya buatkan sup sea food aja. Bapak kayaknya capek banget akhir-akhir ini. Kasihan.”     Bik Riri mengangguk cepat dan segera melaksanakan apa yang majikannya pinta. Membiarkan majikannya duduk melepas lelah dan tak lama masuk ke dalam kamarnya. Naima ingin berendam terlebih dahulu sebelum menyantap apa yang tadi ia minta. Kata suaminya, bolu buatan salah satu karyawan di rumah sakit itu enak.     Naima bukan orang yang memiliki banyak prasangka buruk. Kalau suaminya sudah berkata seperti itu, maka apa yang dikatakan suaminya itu memang benar. Dan tak mungkin Naima menaruh curiga apalagi anak itu terlihat biasa saja. Tak terlihat macam-macam atau patut dicurigai.     Cukup lama Naima bersiap dan ketika sudah dirasa lelahnya luntur, ia bergegas keluar kamar. Mengenakan piyama berbahan sutera lembut dengan motif bunga-bunga dilatari hitam sebagai back ground, membuat Naima terlihat cantik walau usianya sudah mendekati kepala lima. Ia tetap menjaga kebugaran tubuh serta pola makannya. Ia sadar kalau usianya tak lagi muda. Banyak penyakit mengintai dan bisa saja menyerangnya.     “Silakan, Bu.” Bik Riri menyajikan satu piring berisi beberapa potong bolu juga teh melati saat Naima duduk di sofa favoritnya. Bik Riri sudah mengetahui banyak kebiasaan para penghuni rumah dua lantai ini.     Sebagai nyonyah rumah, Naima memiliki satu spot kesukaannya di taman samping. Di mana ada sofa malas yang mengarah langsung pada rak-rak tanaman pot anggrek yang menjadi koleksinya. Juga beberapa tanaman yang tengah digandrungi di masyarakat.     Tak jarang, tiba-tiba nyonyahnya itu membawa dua atau tiga pot koleksi baru padahal daunnya ya seperti itu saja. Tak ada yang istimewa menurut mata Bik Riri. Kalau Naima bilang, Bik Riri ini tak paham mengenai penggolongan jenis tanaman. Mana yang hias dan bernilai tinggi dan mana yang tanaman hias biasa dan umum dimiliki di beberapa rumah.     Naima melirik pada bawaan yang Bik Riri sajikan. “Sudah Bik Riri coba belum?”     “Sedikit, Bu. Enak rasanya. Manisnya pas.”     Naima tersenyum senang. “Bapak bilang ini enak, sih. Syukurlah. Nanti sisakan untuk Kiran juga Adi, ya. Mereka sudah pulang?”     “Belum, Bu.”     Naima mengangguk saja. memilih menikmati sajiannya sembari merasakan kesegaran udara yang berembus di sisa sore ini. Matahari sudah mulai kehilangan dayanya. Menyisakan senja yang cukup indah bersanding dengan birunya langit. Diseruputnya pelan teh melati buatan Bik Riri. Rasanya pas. Semua yang ia nikmati hari ini, tak berlebihan takarannya.     Ia agak kurang suka dengan makanan terlalu manis. Selain tak baik untuk kesehatan, ia juga memang lagi mengurangi konsumsi gula berlebih. Mengganti gula biasa menjadi gula rendah kalori. Kadang tindakannya ini diprotes Kiran. Katanya, “Ibu ini enggak asyik kalau makan aja dibatas-batasi. Enak padahal makan itu.”     Naima hanya tertawa. Anaknya belum terlalu memahami betapa perempuan harus menjaga dirinya terutama kebugarannya apalagi kalau sudah bersuami. Naima juga pernah sibuk mengurus anak-anak yang masih kecil usianya tapi seiring berjalannya waktu, ia memiliki waktu dan didukung oleh suaminya melakukan aktifitas di luar.     Mengingat hal itu membuat Naima menyambar ponsel yang ia letakkan di dekat meja. Ia geser pelan layar dan mencoba menghubungi anak gadisnya; Kiran Melati Senja. Saat tersambung, Naima hanya tertawa karena dumelan anaknya itu.     “Ini lagi jalan pulang tapi aku ribet, Bu, kalau pegang ponsel segala. Takut jatuh. Di ojek, kok, nanti aku kasih tau nomor pesanannya.”     “Iya, Nak. Ya sudah hati-hati, ya.”     Obrolan itu tak berlangsung lama tapi paling tidak, Naima tau kalau anaknya lagi menuju pulang ke rumah. Tak lama berselang juga, Adi, anak pertamanya pulang. Tinggal menunggu satu penghuni lagi yang tak sabar Naima nanti kepulangannya.     Suami tercinta; Andra Riyanto.     Tapi … penantiannya membuat Naima lagi-lagi harus menelan obat bernama sabar. Ponselnya juga tak ada respon. Dan jam di dinding kamar sudah menunjuk pukul Sembilan malam. Ke mana sebenarnya sang suami tercinta. Makan malam yang ia santap bersama dua anaknya, walau banyak cerita serta beragam kisah seru seputar kegiatan mereka hari ini, tak mampu menutupi gundah yang Naima punya.     Sudah berapa lama dirinya merasa kalau Andra terlalu sibuk?     Mungkin karena dirinya juga sibuk makanya tak terlalu memerhatikan tapi kali ini, entah kenapa dirinya ingin bersama suaminya malam ini. Sekali lagi, ia menghela napas pelan. Duduk di tepi ranjang sembari menggulir ponselnya berharap ada balasan dari suaminya.     Hampir setengah jam ia menunggu dan tak sia-sia masa tunggunya saat mendengar deru mesin mobil suaminya masih dalam car port. Ia bersiap, menyambut suaminya yang pulang. Dirapikan sekali lagi rambutnya yang sepertinya agak kusut karena sempat merebahkan diri. Lalu disemprotnya lagi parfum kesukaannya. Memastikan dirinya tampil sempurna sebelum menyambut kepulangan suaminya.     Begitu ia membuka pintu, “Baru pulang, Mas?” Tangannya segera terulur untuk mengambil tas kerja suaminya. Mencium punggung tangan suaminya seperti kebiasannya yang sudah-sudah.     “Iya, Bu. Tadi ada urusan mendadak.”     “Sudah makan? Mandi dulu, ya. Sudah Ibu siapkan baju untuk Bapak. Tadi Bik Riri masak sup sea food.”     “Wah, Bu. Bapak sudah kenyang. Makan dua porsi soto daging. Enak, lho. Kapan-kapan kita ke sana, ya. Cobain.”     Kecewa itu ada di hati Naima tapi emlihat suaminya yang antusias mengajak Naima, membuat perempuan itu sedikit melupakan kekecewaan di hatinya. “Iya, Pak. Boleh. Sekarang mandi dulu, ya. Mau dibuatkan apa?”     “Enggak usah, Bu. Ibu pasti juga capek, kan? tolong ambilkan air putih saja.” Andra tersenyum sembari mengecup kening istrinya. Berjalan cepat menuju kamar mandi di mana ia tau kalau semua perlengkapan bergantinya sudah disediakan.     Meninggalkan Naima yang lagi-lagi terdiam. Senyum cerah yang tadi ia gunakan untuk menyambut kepulangan suaminya, terpaksa ia simpan lagi. mengembuskan napas panjang, Naima pun berjalan ke nakas tempatnya terbiasa menyediakan air minum agar tak terlalu repot harus ke dapur segala hanya untuk minum air putih.     Ia menunggu suaminya selesai mandi di sofa. Menyalakan serial drama yang tak tau juntrungannya karena ia jarang sekali nonton TV. Suara gemericik air itu terdengar cukup lama, tapi tak jua membuat Naima mengantuk. Ia tetap menunggu suaminya selesai mandi. walau tubuhnya sudah sangat letih sebenarnya.     Besok ia masih harus menjalani meeting yang panjang. Dan kemungkinan bertemu suaminya juga larut malam. Terlalu sedikit waktunya untuk berduaan, itu lah kenapa ia memilih bersabar saja.     “Lho? Ibu belum tidur? Sudah malam ini.” Andra mendekat pada istrinya yang kini tersenyum padanya. “Ibu itu sudah lelah, lho. Ayo, tidur.”     “Tunggu Bapak.”     Andra tertawa. “Yakin tunggu Bapak aja?”     Sejak mengenal Andra puluhan tahun silam, Naima tau kalau dirinya selalu terjebak dalam pesona pria di depannya. Semakin hari usianya memang semakin tua tapi kharismanya sama sekali tak luntur. Malah makin bertambah hari ke hari. Ada khawatir yang Naima punya sebenarnya tapi selalu berhasil dipatahkan oleh Andra mengingat betapa romantisnya sang suami memperlakukannya.     Seperti malam ini. Saat perlahan Andra mendekatinya. Memberinya satu ciuman panjang tepat di bibir Naima yang dipulas pelembab.     “Ini rasa apa, Bu?”     Naima sebenarnya malu tapi ia tak kuasa menahan tawanya “Jeruk, Pak. Enak?”     “Enakan bibir Ibu, lah. Sini, cium lagi. Bilang aja kalau kangen.”     Setidaknya malam ini apa yang Naima harapkan dari Andra bisa tersampaikan. Walau kadang suaminya ini sering membuatnya khawatir tapi tetap saja perlakuannya terlewat manis. Dilenyapkan begitu saja semua pemikiran buruk Naima pada Andra melalui ujung sentuhannya.     Yang masih sama, menggetarkan hati juga melumpuhkan seluruh syaraf Naima. Yang ada hanya sesekali desahan pelan juga nama Andra yang memenuhi kamar mereka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD