“Kak.” Lia sebenarnya tak mau menganggu acara memasak Fitri. Dia juga lapar, sama seperti kakaknya. Tapi ia harus bicara.
“Kenapa?”
Lia mulai ragu tapi sudah terlanjur begini. daripada mundur dan kakaknya tau di kemudian hari, habis lah ia dimarahi. Kakaknya galak seperti macan tapi Lia tau, sesayang itu seorang Fitri padanya.
“Besok aku bayar semesteran, Kak. Sudah ada uangnya belum?”
“Hari terakhir?”
Lia mengangguk cepat padahal ia tau, kakaknya belum tentu melihatnya. Fitri asyik memainkan sutilnya di wajah. Nasi goreng tiga porsi dengan satu telur di dalamnya, sudah sangat Lia syukuri sebagai sarapannya pagi ini.
“Kakak belum gajian, sih. Tapi nanti coba Kakak carikan pinjaman dulu, ya. Kamu enggak usah khawatir. Kakak usahakan.”
Lia, adik yang paling beruntung di dunia. Menurut versinya. Kakaknya sedikit menoleh, memberi senyuman paling lebar, penuh ketulusan, juga rasanya beban Lia sejak bangun tadi pagi terangkat begitu mudahnya.
“Belajar yang benar, Lia. Jangan macam-macam kamu,” peringat Fitri setelahnya. Kembali ia sibuk menaruh aneka bumbu penyedap agar masakannya layak makan.
“Iya, Kak. Maaf masih belum bisa bantuin Kakak cari uang. Kalau nanti ada pekerjaan sam—“
“Jangan coba-coba kamu, Lia!”
Satu hal yang paling Lia benci dari diri Fitri; tukang atur. Padahal niatnya baik mau membantu sang kakak tapi malah dilarang. Katanya bisa menyebabkan ia tak konsentrasi belajar di kampus. Padahal Lia belum mencobanya. Seharusnya Fitri memberinya kesempatan, kan?
Kali ini, Lia tak mau mengalah dengan mudah biarpun jantungnya berdebar keras. Melawan kakaknya adalah hal yang sangat ia pertimbangkan sejak lama. Mungkin sejak ibu mereka meninggal dunia, Lia merasa ibunya menjelma dalam sosok kuat tapi rapuh bernama Fitri Mayressa.
Kakaknya.
“Kak, enggak ada yang salah dari memiliki pekerjaan sampingan. Aku bakalan rajin belajar juga, kok. Masa iya aku lupa tugasku. “Lia bergerak mendekat pada Fitri yang kembali fokus pada wajannya.
Aroma nasi goreng yang sedap mulai mengganggu konsentrasi Lia. Kakaknya menggeleng tegas di dekat kompor, masih asyik bermain dengan masakannya.
“Aku enggak pengin ngerepotin Kakak terus,” keluh Lia untuk ke sekian kalinya. “Aku cari yang fleksibel, Kak.”
Fitri tak tahan lagi dengan rengekan adiknya itu. Dia butuh uang untuk kuliah adknya tapi kalau sampai adiknya bekerja dan melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa, percuma perjuangannya selama ini untuk bisa membuat adiknya menjadi salah satu mahasiswa di salah satu universitas ternama.
Gadis berlesung pipi itu bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta yang cukup bonafit. Gajinya kalau hanya dimakan berdua sang adik, sangat cukup. Kalau perlu, adiknya itu tak pernah menunggak masalah uang kuliah seperti sekarang.
Masalahnya … ada beban hidup lain yang harus Fitri tanggung.
“Sudah selesai masaknya belum? Malah ngobrol! Ayah mau berangkat kerja.” Sosok pria yang melabeli dirinya ayah, muncul dari balik pintu kamarnya. Matanya masih kuyu seperti habis ronda malam padahal bukan.
Fitri paling tau ke mana ayahnya semalam. Kalau bukan judi, ya … mabuk-mabukan.
“Lia, mana kopi Ayah? Bukannya dibuatkan malah bengong aja. Berguna Lia jadi anak.”
Pagi yang tadinya berbicara dengan hangat dan akrab, rusak begitu saja karena kedatangan Amir. Ayah dari Lia dan Fitri. Belum lagi suara kursi yang ia tabrak tanpa sengaja karena jalannya terhuyung persis seperti orang mabuk.
“Sialan! Siapa yang taruh bangku di sini?”
Lia ingin sekali bicara tapi matanya masih bisa merasakan lirikan maut sang kakak. Kalau saja bukan karena kakaknya, sudah pasti Lia akan terus mendorong ayahnya untuk pergi dari rumah ini.
BRAK!!!
Pintu kamar mandi dibanting seenaknya oleh Amir. Bunyinya nyaring dan beruntung pintunya tak rusak karena diamuk setiap harinya.
“Kenapa bukan Ayah aja yang mati? Malah Ibu yang pergi meninggalkan kita?” sungut Lia tanpa basa basi. Didengar jelas oleh Fitri yang langsung terkekeh dibuatnya.
“Semakin kamu doakan orang itu mati, semakin panjang umur.”
Lia berdecak kesal. “Jangan buat aku makin kesal sama Ayah, Kak.”
Andai saja Lia tau betapa kesal dan geramnya Fitri pada Amir. Setiap harinya pulang larut malam, bau alkohol dari tubuhnya, belum lagi Fitri sering kena tampar dan pukul karena tak mau memenuhi keinginan ayahnya itu.
Ayahnya belum sebejat itu. Belum. Kalau kelakuannya seperti itu terus, mungkin saja kebejatan itu terjadi. Fitri ngeri membayangkannya. Makanya Lia selalu dilarang membukakan pintu untuk ayahnya. Kalau pun sesuatu hal buruk terjadi, Fitri ada untuk melindungi adiknya itu.
Yang Amir butuhkan dari Fitri adalah uang, uang, uang, dan uang.
Setiap hari bekerja tapi tak pernah ada hasilnya. Sementara makan jalan terus, kehidupan tak berhenti mendadak, kebutuhan makin mencekik, juga uang sekolah adiknya pun makin tinggi.
Ayahnya?
Sama sekali tak bisa diharapkan.
Selalu saja Fitri yang dijadikan sapi perahan.
“Sarapan duluan, Lia. Kakak mau siap-siap dulu.” Fitri suda menyelesaikan bagiannya. Sebelum sarapan, ia memilih berganti pakaian dulu. Parfumnya bukan jenis parfum mahal. Kalau seragamnya sudah bau asap dapur, rasanya tak sopan dan Fitri punya sedikit malu karenanya.
“Aku tunggu Kakak.” Lia duduk dengan sedikit cemberut. Ia pikir, kakaknya akan sarapan dulu baru berganti seragam. Ternyata ia harus menunggu sedikit lagi untuk menyantap hidangan yang ada. Semalam ia tak makan. Porsi makannya ia beri pada sang kakak yang baru pulang sehabis lembur.
Bohong adalah jalan yang ia tempuh sekadar untuk memastikan, kakaknya makan dengan teratur.
“Sebentar, ya,” kata Fitri dengan senyum lebar di wajahnya. Lesung pipi itu terlihat jelas, menambah kesan manis di wajah oval kakaknya itu. Juga satu usapan lembut Lia terima dari sang kakak.
Lia balas senyum itu tak kalah lebar. Fitri buru-buru ke kamarnya untuk berganti pakaian juga mengambil tas yang sudah ia persiapkan. Di kamarnya, ia mulai menghitung uang yang tersisa di dompet. Masih kurang untuk adiknya membayar uang semesteran.
Sembari berganti pakaian, otaknya juga berpikir mencari dana talangan di mana. Mbak Parmi sepertinya bisa menjadi solusi. Kurang dari lima hari lagi rekeningnya terisi, kok. Fitri tak takut kalau harus meminjam sementara pada rekan kerjanya itu.
Bismillah. Katanya dalam hati sembari mengancingi kemejanya pada butir terakhir. Merapikan rambutnya yang bergelombang dalam sekali ikat agar tak berantakan, memastikan wajahnya terpoles bedak walau sangat tipis. Juga menyemprot parfum.
Dirasa cukup, Fitri bersiap keluar kamar namun tiba-tiba ia mendengar suara piring pecah. Mau sampai kapan, sih? Batinnya pelan. Segera ia ambil tas yang sudah ia cek isinya. Tak ada barang yang tertinggal. Dompet lusuh, ponsel yang agak ketinggalan zaman, tisu yang hampir habis isinya, juga beberapa bungkus permen.
“DASAR ANAK ENGGAK TAU DIUNTUNG!!!”
Di depannya kini, hati Fitri langsung menjerit tak terima. “AYAH!!! LEPAS!!!”
Adiknya mendongak walau kesulitan karena cekalan tangan ayahnya pada rambut yang ia milik, kencang sekali. Rasanya saat ini, ia seperti digunduli paksa. Mungkin banyak helaian rambutnya terlepas karena jambakan dari ayahnya itu.
“Apa kamu?!! Berani perintah-perintah Ayah, hah!!!” Amir seperti orang kesetanan. Tangannya makin kuat mencengkeram rambut putrinya itu. Matanya bengis menatap sang putri di mana anak itu juga tak ada takut-takutnya. Malah terlihat meremehkan.
“Lepas, Yah!” Fitri tak tinggal diam. Adiknya ini adalah saudari satu-satunya yang ia miliki. Akan ia bela sampai kapan pun apalagi di depan ayahnya ini. Berkali-kali ia tarik tangan ayahnya agar segera dilepaskan dari rambut Lia, tapi ia kalah tenaga.
Lia mana mau merintih kesakitan. pantang baginya untuk mengeluh karena ulah ayahnya yang setengah gila.
“Dasar anak enggak berguna! Nyusahin aja bisanya!”
“Ngomong sama diri sendiri!!!” pekik Lia tanpa ragu. Hal itu jelas membuat Amir makin murka. Makin ditariknya rambut Lia dengan sekuat tenaga. Ia tak peduli kalau Fitri sudah berulang kali teriak-teriak minta dilepaskan. Enak saja.
Lia harus mendapat hukumannya. Anak keduanya ini di matanya adalah pembangkang nomor satu. Tak seperti Fitri yang bisa ia pergunakan uangnya. Lia? Tak berguna.
Mata Lia yang selalu mengingatkan Amir pada sosok Ningrum, istrinya, makin membuatnya kalap. Satu tamparan keras hingga sudut bibir anaknya itu berdarah, dilakukan tanpa ada penyesalan.
“AYAH!!!”