Pagi ini sebagai rasa ucapan terima kasih, ada satu kotak kecil bolu yang semalaman Fitri buat. Ia pernah membantu ibunya membuat bolu walau lebih banyak merecoki juga memarut keju sebagai hiasan di atasnya. Lia juga ikutan membantu katanya juga sebagai rasa terima kasih walau sebenarnya ia takut juga.
“Harusnya itu jadi penyemangat kamu, Lia, untuk belajarnya makin rajin bukan malah seperti beban.” Fitri tersenyum memperhatikan Lia yang tampak lesu walau tangannya tak berhenti membantu sang kakak mengaduk adonan kue.
“Iya, Kak. Aku semangat, kok. Aku tau dalam tiap hari yang aku jalanin di kampus, ada kerja keras Kak Fitri. Aku harus hargai. Tapi kalau harus nilainya bagus di akademis, duh … Kak Fitri. Mending aja aku dikukus.”
Fitri tergelak. “Mana ada kayak gitu. Sudah, berjuang dulu. Pasti bisa. Seenggaknya kita enggak khawatir tentang biaya semesteran kamu kuliah, Fit.”
Senyum Lia akhirnya terkembang lebar. Kepalanya mengangguk cepat menyetujui ucapan kakaknya. Dalam hatinya ia benar-benar bersyukur atas berkah yang ia dapat. Tugasnya kini harus lebih keras lagi untuk belajar sembari tetap mencari uang sampingan dengan bisnis kecil-kecilannya. Jangan sampai ia mengecewakan kakak serta donaturnya itu. “Siap, kakakku sayang.”
Mereka kembali sibuk di dapur agar besok bisa dibawa dan diberikan pada si donator.
“Aku yakin Dokter Andra suka, Kak,” puji Lia begitu melihat hasil bolu yang sudah dihias parutan keju oleh Fitri. Lia sendiri bahkan dapat satu loyang jatah untuknya besok dibawa ke kampus. Katanya kalau bolu keju ini enak, dia mau pasarkan sesuai dengan orderan yang ada.
Fitri sempat berpikir pastinya repot kalau ada pesanan mengingat ja kerjanya juga tak menentu. Tapi Lia bilang, “Kita terima pesanannya di hari sebelum Kakak libur. Nanti aku bantuin, kok. Jadi buatnya tergantung liburnya Kakak kapan.”
Fitri agak lama terdiam.
“Lumayan, Kak, untuk cari tambahan.”
Gadis berlesung pipi itu jadi teringat Mbak Parmi yang juga mencari uang lebihan dari menjual dimsum. Kenapa dirinya tak mencoba? Toh … sudah beberapa kali ia buat bolu dan rasanya cukup enak.
“Kita coba, deh.”
“Nah, gitu dong!” Lia berlonjak girang. “Kita harus optimis.”
Lia dan semangatnya memang patut diacungi jempol. Fitri pun seharusnya begitu, kan? Mengandalkan siapa lagi kecuali dirinya, kan? Tak mungkin ia meminta pada sang ayah, kan?
Malam tadi, ayahnya tak pulang. Fitri yang sudah terbiasa tak mendapat kabar sang ayah, hanya mengusap dadanya pelan saat bangun pagi, di kamarnya tak ada kehidupan kecuali kamar yang agak berantakan. Kalau ayahnya tak pulang ke rumah biasanya tidur di pangkalan taksi tempatnya mencari uang. Bekerja sebagai supir salah satu brand yang cukup terkenal di Jakarta. Yang mana uangnya juga tak pernah Fitri terima sebagai salah satu bentuk kewajibannya sebagai seorang ayah.
Tiap kali Fitri meminta, yang ia terima hanya pukulan serta hardikan. Dulu ibunya yang giat mencari uang untuk hidup mereka bertiga. Tak jarang ibunya sampai larut malam bekerja hanya demi mendapatkan hasil lemburan yang ada di pabrik. Fitri dan Lia sudah terbiasa ditinggalkan oleh sang ibu juga sosok ayah yang hanya datang kalau uangnya sudah habis.
Memarahi ibunya yang katanya tak pandai menyimpan uang padahal Fitri tau kalau ayahnya jarang sekali memberi uang. Memberi hanya saat ia pulang, meminta masak ini dan itu, kebutuhan yang lainnya tak digubris. Tapi kalau diingatkan, semuanya kena maki.
Itu lah Amir yang sebenarnya.
Fitri sangat menahan diri untuk tak menyuarakan kekesalannya tapi beda dengan Lia. Sejak ia mulai memahami kalau ayahnya ini hanya seonggok tubuh tak berguna di rumah, Lia selalu bermulut tajam dan bisa membuat amarah Amir makin jadi. Puncaknya ketika sang ibu jatuh sakit. Bukannya berpikir mengenai keadaan anaknya, tapi makin jadi berbuat ulah. Ibunya sering kali dimaki karena tak bisa mencari uang lagi.
Kalau mengingat itu semua membuat d**a Fitri sesak terus menerus. Ketimbang mengingat, ia memilih segera berangkat kerja saja. Masih ada yang harus ia perhatikan yaitu Lia. satu-satunya adik serta keluarga yang ia punya. Paman dan bibi dari pihak ibunya, ada di pulau seberang. Mereka hanya bertemu saat ibunya meninggal. Sementara dari pihak ayahnya, baik Fitri juga Lia tak terlalu mengetahui asal latar belakangnya.
Ayahnya saja tak bisa diajak bicara secara normal. Hanya tau mabuk, judi, dan maki-maki anak.
Sebelum berangkat, ia berpesan pada Fitri agar tak terlambat ke kampus. Mulai sekarang harus memberi citra yang paling baik sebagai salah satu mahasiswa. Bukan untuk menambahkan beban pada Lia tapi memacu adiknya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
“Iya, Kak. Beres.” Lia tersenyum lebar. “Kakak hati-hati berangkatnya, ya. Tadi di grup aku udah promo tentang bolu ini. Udah aku potong-potng juga untuk tester. Semoga aja mereka ikutan cocok. Lumayan kalau libur nanti ada pesanan 10 loyang.”
“Aamiin.” Fitri mengacak pelan rambut adiknya. “Kakak berangkat, ya.”
Tak ada yang aneh selama perjalanan Fitri menuju rumah sakit. Langkahnya ringan juga satu beban besar paling tidak, sudah tak terlalu mencekiknya. Tinggal ia makin giat bekerja untuk mengumpulkan banyak uang, siapa tau bisa dijadikan modal dan akan ia ingat terus jasa baik seorang Andra Riyanto.
Ia tak tau kalau Dokter Andra membutuhkan banyak uang tapi setidaknya, Fitri berusaha untuk mengumpulkan ganti uang kuliah Lia. Fitri akan makn bersalah kalau ia tak berjuang untuk adik satu-satunya itu. kalau semangatnya mulai kendor, ia selalu teringat pesan sang ibu sebelum menghadap Illahi.
“Fitri, Lia itu adik kamu satu-satunya. Lindungi dia, kasihi dia, ya, Nak. Kalian harus selalu bersama. Jangan saling egois dan saling sayang.”
Hanya kalimat itu yang lagi-lagi terngiang dan ia jadikan semangat tersendiri untuk melampaui batas-batas yang menghadang langkahnya.
“Pagi, Mbak Parmi,” sapa Fitri segera setelah dirinya absen. Dikeluarkannya kotak yang kemarin berisi beberapa potong dimsum di mana sudah Fitri ganti isinya dengan beberapa potong bolu. “Ini Fitri buat semalam. Semoga Mbak Parmi suka.”
“Eh?” Parmi mengerjap bingung. Matanya berbinar melihat potongan bolu yang mana parutan kejunya sangat berlimpah ini. “Ini kamu buat sendiri? Kamu bisa?”
Fitri terkekeh saja.
“Mbak enggak bisa, lho, buat bolu. Ajarin, Fit.”
Gadis itu hanya mengangkat kedua jempolnya.
“Ini buat siapa, Fit?” Parmi cukup penasaran dengan satu kantung lain yang gadis itu letakkan di atas lemari.
“Oh, untuk Dokter Andra, Mbak. Kemarin …” Fitri jarang emnyembunyikan beberapa hal pada Parmi kecuali kelakuan ayahnya. Walau tak tersirat berkisah mengenai keluarganya, tapi seepertinya Parmi tau garis besar kehidupan apa yang Fitri alami.
Ia bukan tak ingin banyak berkeluh kesah. Sebenarnya juga hatinya penuh akan kesal, marah, kecewa, juga sedih karena keluarganya seperti bukan keluarga pada umumnya. Tapi kalau ia terlalu banyak mengeluh, orang lain bukannya makin bersimpati, kan? Justeru nantinya akan menjadi boomerang tersendiri? Bisanya ngeluh terus bukannya berusaha lebih.
Kira-kira seperti itu ketakutan yang Fitri alami kalau terlalu banyak bercerita. Jadi hanya beberapa hal yang terpenting yang ia bagi pada Parmi. Sementara dengan rekan lainnya, Fitri hanya menceritakan keseruannya bekerja saja. Tak kurang tak lebih.
“Kenapa, Fit?” desak Parmi.
“Mbak ingat waktu Fitri mau pinjam uang bayar semesteran Lia?”
Parmi mengangguk cepat.
“Yang bantu Fitri saat itu Dokter Andra. Bolu ini aku buat sebagai balas terima kasih walau, yah … mungkin enggak seberapa di mata beliau.”
Wanita itu tersenyum lebar. mengusap bahu Fitri yang sudah ia anggap seperti adiknya ini penuh sayang. “Bagus, Fit. Itu artinya kita tau rasa berterima kasih. Biarpun kelihatannya sepele tapi nilainya pasti besar di mata Dokter Andra. Apalagi dia itu memang dasarnya baik, sih. Kamu tau sendiri, kan, kebaikan hatinya.”
Fitri mengangguk.
“Beruntung banget, kan, yang jadi istrinya?”
Ah … itu benar. Tapi kenapa Mbak Parmi tiba-tiba membahas istrinya Dokter Andra?
“Hari ini ada kunjungan dari Bu Naima. Pemilik rumah sakit ini, Fit. Tapi paling enggak ngecek sampai ke sini, sih. Kamu, kan, tau kalau ada kunjungan dari Bu Naima, kita enggak boleh terlihat menyambutnya. Pasien tetap nomor satu.”
“Pas acara rumah sakit aku ketemu sekali itu aja, sih, Mbak. Cantik banget.”
“Iya betul, Fit. Beliau cantik banget.” Parmi berkata dengan mata berbinar. Mulutnya penuh dengan suapan demi suapan bolu yang dibawakan Fitri untuknya. “Eh, ini enak, lho. Kamu mesti ajari Mbak buat, ya. Jangan sampai enggak.”
“Iya, Mbak. Nanti Fitri tulis resepnya. Aku kerja dulu, ya. Mau rapikan berkas pasien dulu. Tau sendiri, kan, Mbak pasien Dokter Andra itu selalu banyak.”
Parmi tertawa sembari melepas kepergian Fitri. Di mana tangannya tak lupa membawa kantung yang berisi bolu yang tadi Parmi cicipi.
Di ruang Dokter Andra, pria itu belum tiba. Tak masalah untuk Fitri. Jam praktiknya masih satu jam lagi. Ia sudah bisa lihat pada system antria pasien, sudah ada dua pasien langganan Dokter Andra yang menunggu.
Fitri memilih menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan sampai Andra datang. Bekerja seperti baisanya rutinitas Fitri di ruang ini. Sesekali menanggapi pertanyaan Dokter Andra tapi seputaran dengan pasien. Sampai lima jam kemudian di mana waktunya makan siang.
“Ini benar-benar buat saya, Fit?” Andra bertanya sekali lagi padahal tadi pagi sudah bertanya dan mendapatkan jawabannya. Tapi ia suka saat ini. Di mana Fitri yag tadinya tersenyum juga ramah, mendadak cemberut.
“Dokter sudah tanya ini beberapa kali.”
“Enak enggak, ya?” ledek Andra lalu diambilnya satu potong kue tadi. Mencicipi. “Oke lah rasanya.”
Biarpun baru ditanggapi dan dicicipi, tapi rasa senang sudah membuat Fitri senang bukan main. Senyumnya terbit dengan lebarnya. Lalu kesenangannya berakhir saat pintu ruang Andra diketuk dan masuk satu sosok wanita yang tadi pagi menjadi pembicaraan antara Fitri juga Parmi.
Naima Hasyim. Istri sekaligus pemilik rumah sakit tempatnya bekerja.
“Ibu,” Fitri langsung bangun dengan gugupnya. “Mari, silakan duduk, Bu.”
“Ini pasti Fitri, ya? Yang suka bantu Bapak di sini?”
Fitri tersenyum canggung. Ia sudah bangkit dari duduknya dan memilih menyingkir dari ruangan ini.
“Eh, kamu mau ke mana, Fit?” cegah Andra dengan wajah bingung. “Padahal saya mau puji bolu buatan kamu di depan istri saya, lho. Coba, Bu. Ini buatan si Fitri. Katanya sebagai ucapan makasih kemarin sudah bantu dia.”
Naima menatap Fitri dengan tatapan yang sulit diartikan tapi kemudia ia tutup dengan senyum ramah.
“Bapak memang sering membantu sekitar, Fit. Kamu enggak perlu repot begini.”
“Maaf, Bu. Hanya bisa membuatkan ini sebagai rasa terima kasih.” Fitri makin menunduk. “Saya permisi dulu, Pak, Bu.”
Belum juga langkahnya keluar, ponselnya sudah berdering. Saat ia lihat, nama Lia muncul di layar. Waktu yang pas untuk menjauh dari ruangan ini, kan?
“Mari, Pak, Bu,” pamit Fitri segera dan juga buru-buru mengangkat telepon dari adiknya. “Ya, Lia?”
Fitri terdiam tepat di balik pintu yang baru saja ia tutup. Telinganya makin tajam mendengar semua ucapan Lia di ujung sana. Disertai tangisan ketakutan juga hardikan dari banyak orang yang menjadi latar di sana.
“Ya Allah, Fit. Kakak pulang sekarang,” putus Fitri cepat. “Kamu tunggu sebentar, ya.”
“Iya, Kak. Tolong aku. Mereka … mereka mau bawa aku!” Lia makin kencang menangis. “Jangan dekat-dekat! Sana! Nanti kakak aku bawa uangnya! Kalian mau uangnya, kan?”