BAB. 7

1743 Words
    “Fit, kamu enggak lupa sesuatu, kan?”     Fitri yang lagi membereskan berkas-berkas pemeriksaan hari ini jadi menoleh dan mengerutkan kening. “Lupa apa, ya, Dok?”     Andra berdecak pelan. “Saya mau ke kampus adik kamu. Lupa?”     Fitri ingin sekali menghindari percakapan mengenai kunjungan Dokter Andra ke kampus adiknya. Walau dia belum tau tujuannya apa, tapi rasanya Fitri masih tak enak hati. Apalagi masih dia ingat, bantuannya untuk kuliah sang adik juga beberapa lembar merah penyambung hidupnya.     Apa sebaiknya Fitri bertanya saja?     “Maaf, Dok. Mau ke sana urusannya apa, ya?”     Andra malah tertawa. “Kamu itu lucu, Fit, Fit. Kenapa saya enggak boleh berkunjung ke kampus di mana saya ini kadang jadi pembicara.”     Malunya Fitri sekrang. Wajahnya tak lagi menatap dokter yang masih duduk santai di kursi kebesarannya. Sudah tak lagi mengenakan snelli kebanggaannya tapi tetap terlihat serius dalam bicara.     “Memang kamu pikirnya saya mau ngapain, hem?” tanya Andra bertopang dagu. Fitri yang berdiri di depan meja di mana rak berkas masih ia bereskan sesuai dengan nomor abjad yang ada di masing-masing folder.     “Enggak ada, Dok.”     Andra menggeleng pelan sembari memperhatikan kerja gadis itu. Selama bersama Andra dan membantunya bekerja, sebenarnya gadis ini termasuk yang teliti juga tak banyak tingkah. Senyumnya selalu ada bahkan mau menemani ngobrol pasien di saat menunggu beberapa hasil pemeriksaan lanjutan.     Tipe perempuan pekerja keras dan ulet. Tak segan juga tak pernah ragu bertanya juga meminta maaf kalau salah melakukan sesuatu. Membuatnya cukup dikenal sebagai salah satu perawat yang memiliki effort kerja cukup tinggi.     Walau saat Andra mengetahui cerita dari satu staff ke staff lain mengenai Fitri, begitu ia konfirmasi dan menemui kebenaran, rasanya ada rasa kasihan yang tinggi untuk Fitri. Gadis bertubuh kurus padahal wajahnya manis ini berjuang keras untuk ibunya saat sakit dulu. Sampai mengembuskan napas terakhir karena gula darah yang menggerogotinya, Fitri tetap berdiri tegar. Menyisakan hidup bersama adiknya yang kini ia biayai. Menjadikan gadis itu tulang punggung karena ayahnya yang benar-benar tak habis pikir Andra melihat kelakuannya.     Apalagi kemarin saat Fitri meringis pada bagian punggung. Lalu cerita Parmi setelah Andra desak karena gadis ini hanya dekat dengan Parmi. Kalau dengan staff lain, hubungan mereka biasa saja. Senormal mungkin tapi kalau dengan Parmi, Fitri ternyata sedikit banyak berkeluh kesah. Mungkin saja karena Parmi ini jauh lebih dewasa juga terlihat mengayomi.     “Lukanya bikin ngilu, Dok. Saya enggak tega sebenarnya sama Fitri tapi mau gimana? Anak itu susah banget disuruh lapor aja ke polisi tentang bapaknya yang gila.”     Andra peringati jangan terlalu kalau mau mencaci. Siapa tau ada sesuatu hal yang membuat ayahnya Fitri seperti itu tapi yang namanya Parmi, paling tau bagaimana mempertahankan dirinya.     “Alah. Kalau memang seorang ayah itu, kan, harusnya melindungi anaknya. Bukan menyakiti gitu, Dok,” sungutnya yang membuat Andra tergelak.     Ucapan demi ucapan, sumpah serapah Parmi, juga doa yang Parmi selip untuk Fitri membuat Andra mengukuhkan niatnya. Tadinya ia hanya sebatas ingin berkunjung ke kampus tempat Lia kuliah. Minimal ia bisa meringankan sedikit biaya semesteran Lia jadi Fitri tak perlu membayar dalam jumlah keseluruhan. Tapi mendengar ucapan Parmi, entah kenapa hati Andra ikutan sakit.     Gadis itu gadis yang baik. Tak banyak tingkah, terlihat peduli dengan sekitar, belum lagi … senyumnya yang memiliki lesung pipi yang makin membuat gadis itu bersinar.     “Ayo, segera selesaikan pekerjaan kamu. Nanti kita kesorean. Saya masih ada janji.” Andra menepis pelan pemikiran anehnya mengenai Fitri. Apalagi ditambah sekarang gadis itu menatapnya dengan tatapan polos. Bibirnya sedikit mengerucut mungkin karena Andra terkesan memaksakan diri.     “Sedikit lagi, Dok. Tanggung.”     Andra memilih keluar dari ruangan. “Saya tunggu di mobil, ya. Kamu tau mobil saya yang mana, kan?”     Ucapan Andra disambut tawa yang berderai dari Fitri. Mengangguk segera adalah jawabannya. Siapa yang tak tau mobil sedan putih mengkilap dengan plat nomor yang gampang sekali diingat. B-4-DRA. Terparkir di tepat khusus di mana kentara sekali selain salah satu jajaran dokter ternama di rumah sakit berlantai lima ini, sekaligus sebagai salah satu pemilik dari rumah sakit ini.     “Nah kalau tertawa seperti itu wajah kamu makin manis, lho, Fit.”     Senyum milik Fitri tadi langsung dihilangkan begitu saja. Fitri jadi kembali menunduk. Malunya sudah sampai ke tulang-tulang.     “Eh? Kenapa malah nunduk? Enggak mau lihat saya lagi? Apa lebih ganteng lantai ruangan saya, ya, ketimbang sayanya?”     “Bu-bukan gitu, Dok?”     “Lalu apa?” Andra sekarang sudah berdiri di depan Fitri. “Coba bilang, kenapa kamu lebih milih nunduk dari pada melihat saya? Saya seram, ya?”     Fitri cepat menggeleng, lalu mengangguk, dan menggeleng lagi. tapi tak lama menggangguk. Ah, Fitri pusing sendiri jadinya. Digoda seperti ini oleh Andra bukan hal yang bagus untuk keberlangsungan jantung juga hatinya.     Ingat, Fit, Dokter Andra ini sudah memiliki istri juga dua orang anak.     “Malu-malunya kamu itu, lho, Fit. Bikin gemas sendiri.” Andra berdeham sekilas. “Sudah, cepat selesaikan pekerjaan kamu. Saya tunggu di mobil.”     Fitri buru-buru mengangguk. Membiarkan Andra keluar ruangan menyisakan aroma parfum yang Fitri biasa baui. Matanya melirik pada tubuh tegap pria yang sepertinya tak menua ini. Masih tegap berjalan walau rambutnya mulai ditumbuhi banyak helaian putih. Punggungnya lebar dan mungkin kalau digunakan untuk bersandar pasti rasanya nyaman.     Gadis itu tersenyum kecil, betapa beruntungnya istri seorang Andra Riyanto. Ia pernah bertemu saat acara di rumah sakit. Wanita dengan gelung rambut kecil juga menggunakan klip mutiara serta menggunakan dress selutut berlengan sesiku, menampilkan sosok wanita yang anggun dan berkelas. Cantiknya benar-benar membuat Fitri saat itu minder. Bukan hanya Fitri, sih. Selesai acara, banyak staff yang membicarakan istri Dokter Andra.     Mereka berdua sama-sama beruntung.     Saat mata Fitri melihat arah jarum jam di dinding ruangan, ia terpekik. Masa iya membereskan berkas saja memakan waktu lama? Belum lagi membiarkan Dokter Andra menunggu lama? Astaga, Fitri! Kenapa bodoh sekali!!!     Secepat mungkin ia mengerjakan berkas yang tinggal sedikit lagi. Kelamaan melamun tentang Dokter Andra ini malah bikin konstrasinya rusak. Ya ampun! Tak professional banget Fitri tanpa ada orang yang mengawasi, ya? Apa karena ... itu, lho, godaan Dokter Andra? Siapa yang tak suka digoda seperti itu. Manis sekali terdengar, kan?     “Fit, buru-buru mau ke mana?” tanya Dilla salah satu staff perawat yang kebetulan melintasi Fitri yang berjalan cepat. Tas lusuh miliknya sudah tersampir di bahu kanan juga tentengan kotak makan yang sudah bersih milik Parmi. Mungkin besok akan ia kembalikan sembari membelikan beberapa potong kue donat sebagai balasan.     Walau Fitri yakin bakalan dimarahi tapi tetap saja ia mengerti balas budi. Tak sampai menghabiskan jatah uang hariannya, kan? Jarang sekali juga Fitri membawakan sarapan untuk Parmi. Siapa tau saja tak ditolak.     “Mau pulang, Mbak. Aku duluan, ya.”     Dilla hanya mengangguk cepat melihat Fitri yang sekarang juga sudah hilang dari balik koridor. Ia merasa tumben sekali Fitri cepat pulang, biasanya memilih lembur ikut membantu department lainnya.     Sementara Fitri benar-benar merasa tak enak hati jadinya. Apalagi saat ia tiba di parkiran, mobil Andra sudah menderu pelan. Pemiliknya sudah dipastikan ada di dalam. Fitri makin merasa bersalah saat berada tepat di pintu samping pengemudi. Ia pun memberanikan diri mengetuk pelan kaca samping mobil mewah ini.     “Sudah?” tanya Andra begitu menurunkan kaca mobilnya. Fitri segera mengangguk cepat tapi masih terdiam. “Kalau sudah, ayo … masuk. Tunggu apa?”     “Maaf kalau membuat Dokter tunggu lama.”     Andra melihat Fitri yang lagi-lagi tertunduk. Padahal sejak tadi, ia mulai menyukai saat mereka beradu pandang. Mata Fitri ini bagus. Bulu matanya lentik, bola matanya berbinar penuh semangat, hitam legam seperti rambutnya yang terikat rapi. Ditambah wajahnya yang cantik natural.     “Ada hukumannya kalau begitu.”     “Maaf, Dok?”     “Kamu dihukum nantinya karena buat saya, seorang dokter spesialis ternama, menunggu kamu.”     Fitri mengatupkan bibir. Napasnya jadi megap-megap. Kebingungan sendiri kenapa Andra bersikap seperti ini. Pria yang berselisih usia dengan Fitri ini seolah tengah mempermaikannya.     “Dokter … serius?”     “Cepat masuk. Tunggu apa lagi, Fit?”     Selain penggoda, Fitri sepertinya harus mengingat jelas kalau Andra ini juga tipe pria yang hobi sekali memaksakan kehendak. Tapi auranya, suaranya yang berat, belum lagi tatapan tajam yang Andra miliki, membuat Fitri tak mampu berkutik banyak. Selain menuruti Fitri tak tau lagi harus berbuat apa. ***     Selama perjalanan menuju kampus Lia, Fitri sema sekali tak bersuara kecuali di tanya. Malah di sampingnya, Andra sesekali malah bernyanyi. Lagu lawas yang membuat Fitri bingung sendiri karena merasa asing dengan lagu-lagu ini. Walau sebenarnya, Fitri sendiri menikmati.     Selain lirik lagunya yang mengena di hati, suara penyanyinya yang terdengar merdu. Dan … tingkah konyol Dokter Andra selama perjalanan. Fitri baru tau kalau Dokter Andra bisa bertingkah seperti itu. ia pikir, pembawaannya yang selalu berwibawa tak bisa bercanda atau selalu serius. Ternyata Fitri salah.     Belum lagi Andra yang banyak bertanya mengenai keluarganya yang mana membuat Fitri tak nyaman. Tak ada yang bagus untuk ia bagikan kecuali prestasi adiknya. Tapi karena pria di sampingnya ini mendesak dengan kata-kata yang terkesan tak memaksa namun membuat Fitri bisa bersuara.     “Mungkin ayah saya seperti itu karena kehilangan sosok istrinya, Pak,” kata Fitri dengan pandangan lurus ke depan. Jalan di depannya agak tersendat.     “Bisa jadi, Fit. Tapi saya tetap tak suka atau setuju kalau seorang ayah malah memukuli putrinya, Fit,” sesal Andra. “Masih terasa sakit, kah?”     Fitri denga cepat menggeleng. “Alhamdulillah obat yang diberikan kemarin mengurangi banyak banget sakitnya.”     Andra tersenyum simpul. “Syukur lah.”     Mereka kembali diam.     “Saya ini punya anak juga, Fit. Anak saya seusia Lia sepertinya. Adik kamu usia berapa?”     “19 tahun, Dok.”     “Berarti seusia Adi.” Andra menjentikkan jari. “Bu Naira, istri saya, juga jarang ngomel. Semuanya dituruti. Katanya biar saja selama anaknya masih bisa diatur dan diarahkan. Saya percaya saja. yang terpenting, mereka tumbuh dengan baik.”     Mendengar hal itu, hati Fitri seperti disengat jutaan volt listrik. Ngilu sekali.     “Saya yakin, suatu saat nanti kamu bisa menjadi ibu yang hebat, Fit. Pengalaman hidup kamu dengan seorang ayah, juga bagaimana kamu dewasa karena keadaan, pasti jadi pengalaman sendiri, kan, Fit?”     Ternyata ini maksudnya. Ngilu yang tadi hati Fitri rasakan, mendadak hilang begitu saja. ucapan Andra di mana senyum pria itu tertangkap jelas oleh Fitri. Di mana persis banget lampu merah menyala. Mereka saling mengunci tatapan. Yang mana membuat Fitri makin mengagumi sosok pria dewasa di sampingnya ini.     Berharap dengan sangat, siapa tau jodohnya kelak sebaik, sekharismatik, juga seperti Dokter Andra.     “Ehm … Dokter, lampunya sudah menyala hijau. Kita juga sudah diklakson,” peringat Fitri yang buru-buru membuat Andra menekan gas.     “Karena kamu ini, Fit. Hilang konsentrasi saya.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD