Air mata terus berjatuhan di atas liang lahat yang masih basah itu, menangisi kepergian seseorang yang hanya bisa dikenang, tanpa bisa disentuh, atau sekadar dilihat wujudnya lagi. Dia benar-benar pergi untuk selamanya. Ini memang pilihannya, pergi tanpa pamit, hanya menyisakan rasa bersalah yang terpatri pada hati seorang pria yang terus menatap batu nisan itu. Pemakaman sudah sepi, hanya seorang perempuan dan dua orang laki-laki yang masih di sini. "Maaf," cicit pria itu. "Maaf buat kata-k********r saya yang menyakiti kamu." Seandainya kata-kata menyakitkan itu tidak keluar dari mulut Pras, mungkin Tania tidak akan mengambil langkah cepat untuk mengakhiri hidupnya. Selin menepuk pundak Pras. "Papa, jangan merasa bersalah. Mungkin emang takdirnya yang seperti ini." Lalu dia memberika