Butuh Pembuktian?

1076 Words
“Ra, jangan marah, ya!” Lara yang baru saja selesai mandi karena merasa sangat kotor sekarang. Satu-satunya yang paling dibencinya, adalah ketika tahu kalau Ben tidak menggunakan pengaman. “Ben, kamu tahu, kan? Kalau nanti terjadi sesuatu gimana?” Pria itu memegang tangannya Lara. “Aku tahu, aku bakalan lakukan apa pun. Aku nggak bakalan lari.” Lara juga sudah terlanjur sering melakukannya. Takut kalau Ben meninggalkannya, apalagi mereka sudah lama sekali pacaran. Janji Ben juga untuk menikahinya tidak main-main. Sekarang ada rumah yang sudah dibeli oleh Ben. “Sayang. Aku janji.” Lara duduk di pinggir ranjangnya dekat dengan Ben. “Kamu tahu kan, aku takut.” “Aku tahu. Tapi kamu sendiri tahu juga aku bakalan tanggung jawab kalau terjadi sesuatu. Kita juga sudah beberapa kali lakukan ini. Bahkan sudah sering.” “Ini pertama kalinya kamu nggak pakai pengaman, Ben. Kamu tahu, kan?” Pria itu mencoba menenangkan Lara. "Baiklah, aku paham. Tapi harus kamu tahu kalau aku nggak bakalan pernah lari dari tanggung jawab ini. Aku akan tanggung jawab sama kamu. Toh kamu juga tahu kan aku cinta sama kamu. Jangan ribut sepagi ini, Lara.” Dia memilih untuk mengalah dibandingkan berdebat dengan Ben. “Kamu mandi sana! Kita sarapan di mana?” Kemarin Lara menginap di sini karena jalan menuju ke rumahnya terputus karena terbawa arus. Jadi mau bagaimana lagi? Padahal orang tuanya mengatakan bahwa dia harus tidur di rumah temannya. Tapi Lara malah menginap di rumahnya Ben. Rumah yang katanya akan ditempati oleh mereka berdua. Sepanjang malam mereka berbincang tentang rencana masa depan, sampai Ben mengajaknya melakukan hubungan terlarang itu lagi. Dan Lara bisa apa? Menolak akan membuat Ben berpaling ke lain wanita. Tentu saja Lara tidak akan mau jika itu terjadi. Lara menunggu di luar sambil melihat ada beberapa pesan dari papanya. Setiap kali berkencan, tidak akan ada jeda untuk mereka berdua melakukannya, entah itu di hotel ataupun di apartemen. Kadang di mobil ketika Ben ingin. Keluar dari kamar dengan setelan berbeda dan juga Lara memakai setelan berbeda karena dibelikan oleh Ben kemarin. “Sayang. Kamu mau sarapan di sini apa di luar?” “Terserah kamu aja.” “Kok terserah?” “Ya terserah kamu, kan. Mau di mana aja gitu.” Ben mengambil kunci mobilnya untuk memanaskan mesin mobil. Lara tidak akan pernah pergi darinya, ia sudah tahu bahwa Lara tidak akan meninggalkannya karena pria lain. seperti yang sudah terjadi bahwa Lara pernah disentuhnya. Bukan hanya satu atau dua kali. Tapi sudah berkali-kali dan itu pun sudah sering terulang. Ben memang mencintai Lara, tapi untuk mengikat dengan pernikahan. Sungguh dia belum siap untuk soal itu. “Aku udah transfer uang bulanan kamu, ya!” Ben masih sempat-sempatnya mencium kening Lara dan mencium tangan wanita itu. Lara memejamkan matanya merasa bahwa ini paling nyaman. “Ben, kamu janji kan?” “Aku harus bilang apa sama kamu, Ra? Kamu kan udah dikenal baik sama orang tua aku. Mana mungkin aku bisa setega itu buat kamu menderita? Orang tua aku udah tahu siapa kamu, sedangkan Papa kamu juga udah tahu aku kerja apa. Aku cuman mau kamu ngerti. Dan untuk satu bulan kedepan aku kerja di luar kota. Aku dipindahkan ke sana untuk urusan mendadak, dan ini bakalan berangkat hari selasa nanti, makanya sekarang aku bisa temenin kamu di sini.” Mendengar kepergian Ben selama satu bulan sudah pasti meresahkan bagi Lara. dia tidak sanggup berpisah meskipun hanya sebentar dengan Ben. “Ingat aku udah kasih kamu cincin tunangan kita. Nggak bakalan ada apa-apa.” “Tapi ini kan bakalan lama.” “Perlu aku bilang ke orang tua kamu kalau aku udah lamar kamu?” “Harus.” Lara menjawab dengan tegas kalau Ben harus berkata jujur. Dia tahu kalau Ben sangat serius padanya. Bukan hanya untuk satu urusan, tapi untuk berbagai hal juga Ben sudah banyak sekali berkorban. Turun dari mobil usai perjalanan selama beberapa menit untuk mencari tempat sarapan mereka. “Kamu mau sarapan apa?” “Apa aja, yang penting nggak bikin aku gendut. Nanti kamu protes kalau aku gendut, kan? Nurunin berat badan itu susah tahu.” “Masa sih aku protes cuman karena itu? nggak mungkin sayang.” Lara tidak menjawab apa-apa. “Ben, aku harus ke mana coba? Kan nggak bisa pulang?” “Coba telepon Papa!” Lara menuruti permintaan Ben yang mengatakan kalau bagaimana keadaan jembatan itu. Mendapat jawaban bahwa masih belum diperbaiki Lara harus bisa bersabar. “Papa bilang masih kayak kemarin, katanya disuruh di rumah teman dulu. Aku gimana?” “Tinggal di rumah, sekalian kita beli perabot. Nanti kamu yang masak kan di sana. Kita isi pokoknya semua perabot. Kemarin kan batal masak, kamu bilang mood kamu buruk. Nah sekarang kita jalan-jalan aja dulu. Nanti langsung beli perabotan yang lain. sekalian deh kamu yang pilih.” Lara mengangkat sebelah alisnya. “Wih banyak uang kamu?” “Nggak kok, kan nabung juga, sayang. Ini juga untuk kamu, kan?” Lara tertawa melihat ekspresinya Ben yang menyangkal barusan. “Aku lupa bilang sama kamu. Aku kan mau pergi juga nanti. Minggu depan nih, aku diajak sama teman-teman aku buat kemah kan. Kamu bolehin nggak?” “Nggak masalah, kamu beli obat, kamu kan biasanya sering sakit. Ingat selimut kamu.” “Beneran dibolehin?” Ben mengangguk lalu mengangkat sesendok sarapannya. “Makan dulu! Kamu dari tadi ngobrol mulu, nanti kita pergi beneran ya. Kita cari perabot, cari lemari. Terus beli meja buat tempat baca kamu. Ra, kalau Papa kamu mendesak nikah ya kita nikah. Kalau Mama aku juga nyuruh nikah ya kita nikah. Nggak masalah kalau kamu kuliah.” Alasan pria itu sangat kuat. Sehingga membuat Lara bisa berada di dekatnya seperti ini. Lara menghela napas panjang sambil cemberut. “Sayang. Aku kan butuh beberapa buku, nah kamu beliin?” “Tenang aja, aku juga rencana mau ganti HP kamu kan nih. HP kamu masih yang lama. Ya biar samaan kayak aku.” “Mahal nggak? Kalau mahal sih nggak usah.” “Aku dapat bonus, jadi aku harus bahagiakan pacar aku. Laptop kamu juga aku ganti, ya!” Lara mengangguk karena dia tidak mungkin akan menolak kalau pacarnya sendiri yang akan memberikan tanpa dia minta. “Ingat uangnya aku udah kirim. Kamu pakai beli yang sesuai kebutuhan kamu, ya! Jangan boros-boros, ingat aku juga lagi nabung buat resepsi kita. Kamu kan mau gaun yang bagus juga. Jadi harus irit, oke! Nanti kalau udah nikah baru deh kamu belanja semau kamu. Kalau sekarang jangan dulu.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD