Di toko bunga samping kafe yang sedang dikelola oleh wanita cantik bernama Lara Ayana berusia dua puluh tujuh tahun mengabdikan hidupnya sebagai penjaga toko bunga milik orang tuanya di pusat kota dan juga kafe tempat tongkrongan anak muda dan juga anak-anak sekolah karena harganya memang sangat murah untuk makanan dan minuman di sana.
Selain itu dia juga mengabdikan dirinya di sebuah yayasan panti asuhan untuk berbagi kasih sayang dengan anak-anak yatim piatu di sana.
Kisah masa lalu yang pedih, menjadikannya tidak percaya lagi dengan cinta. Apalgai yang disebut dengan sebuah pernikahan. Sama sekali Lara tidak percaya dengan janji seorang pria.
Setiap hari dia habiskan untuk bersama dengan orang-orang yang dia kasihi.
Lara sedang menyiapkan bunga aster yang dirangkainya untuk salah satu pelanggannya yang akan datang setiap hari kamis pagi.
Sudah menjadi pelanggannya sejak dua tahun terakhir. Bahkan Lara juga dekat dengan anak dari pria yang berstatus sebagai duda tersebut. “Lara, bunga pesanan saya sudah jadi?” tiba-tiba terdengar suara itu menyapanya dari belakang ketika dia sedang membungkusnya.
Wanita itu berbalik. “Sudah, Pak,” jawab Lara dengan ramah pada siapa pun orang-orang yang datang berkunjung ke tempat ini.
Dia adalah Aiden, salah satu pelanggannya yang sangat rutin berkunjung pukul sembilan pagi pada hari kamis karena akan berkunjung ke makam orang tuanya yang sudah tiada semenjak ia remaja. Itu menurut yang di dengarnya dari pria ini. Entah untuk kelanjutannya dia tidak tahu tentang hidup orang lain.
Lara menyerahkan bunga itu dengan sopan. “Nanti Kadita mau ke sini sama Riko. Jadi suruh aja mereka nunggu ntar sore sepulang mereka les ya! Saya bayar bunganya nanti sama makanan mereka gimana?” tawar pria itu seperti biasanya.
Senyuman ramah Lara kepada pria itu sangat hangat. “Nggak apa-apa kok, Pak,”
Pria itu membalas senyumannya lalu pergi dari tokonya setelah pamitan. Lara sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Namun tidak ingin menikah.
Sampai siang dia berada di toko bunga. “Eva, kamu jagain ya!” pintanya lalu pindah ke kafe yang ada disebelah toko bunganya.
“May, buatin es kopi kayak biasanya ya!” Lara menghampiri karyawannya.
Dia duduk dipinggir jendela dan kebetulan hari itu hujan sangat deras pada siang hari. Ia menikmati setiap rintikan hujan dari dalam kafenya.
Sampai jam tiga sore, kedua bocah yang sudah ditunggunya itu datang saat hujan baru saja reda. “Kalian kok main hujan sih?” tanya Lara yang perhatian pada anak ini yang katanya tidak punya mama lagi. Menurut Riko sang adik, mamanya sudah tiada. Tapi Kadita menyangkal itu mengatakan jika orang tua mereka berpisah. Entah mana yang benar. Yang jelas dia sangat suka dengan kedua adik kakak ini.
Seragamnya Kadita sedikit basah karena kena gerimis. “Daddy jemput nanti sore katanya, kalian les kan tadi?” tanya Lara sambil memberikan dua handuk kering untuk mengeringkan rambut anak-anak. “Mau disiapin apa nih? Biar kakak yang masakin langsung,”
Kadita senang dan juga Riko selama dua tahun terakhir merasa diberikan perhatian lebih oleh Lara. Semenjak diajak ke toko bunga waktu itu, mereka lebih dekat dengan Lara dibandingkan dengan Aiden selaku Daddy mereka.
Dua puluh menit menunggu, hujan kembali deras dan mereka hanya berdiam diri di sana. “Kakak udah makan belum?”
“Kakak udah makan kok tadi. Jadi disuruh nungguin kalian sama Daddy,”
Kadita tersenyum manis, anak gadis berusia tujuh belas tahun ini paham mana kasih sayang dan mana yang pura-pura perhatian. Tapi melihat Lara yang sangat perhatian pada mereka dengan sangat baik.
Kadita yang duduk di kelas sebelas, sedangkan Riko duduk dibangku kelas sembilan yang sebentar lagi akan ujian nasional.
Riko juga merasakan kasih sayang yang sebenarnya dari orang tua. Tapi sayang wanita ini bukan siapa-siapa. “Kakak pintar masak ya,” puji Kadita.
Lara tersenyum pada dua anak yang sedang duduk dengannya.
“Kadita, kamu juga bisa masak kok,”
Riko menikmati makan siangnya. “Di rumah kakak masak kok. Kalau Daddy di rumah kita makan bertiga,” jawab Riko dengan santai.
Kadita tersenyum kepada adiknya. “Kak Kadita itu baik di rumah. Tapi sering berantem sama Daddy. Sering ngambek juga, sama kayak aku. Karena Daddy sibuk terus, setiap hari kita di sini. Sekolah dianterin, pulangnya dijemput ke sini. Daddy nggak pernah ada waktu. Hari minggu juga kerja,” Riko menjelaskannya kepada Lara dengan senang hati.
Ekor matanya melirik ke arah kanan di mana pintu itu berada. Seorang pria yang baru saja masuk ke dalam kafe sedang menggesek-gesekkan kakinya pada keset yang ada di depan pintu masuk.
Ia membuka jasnya menyisakan kemeja putih polos lalu digantungnya di gantungan di dekat pintu masuk yang menjadi tempat untuk jas hujan dan pakaian basah lainnya.
“Maaf Daddy telat,” ucap pria itu ikut bergabung bersama dengan anak-anaknya.
Yah Aiden belum terlalu tua, bisa dibilang bahwa ini usia yang dewasa bagi wanita mana saja. Tapi Kadita pernah menjelaskan bahwa Aiden sama sekali tidak pernah dekat dengan wanita manapun.
Kadita mencoba menawari makanan untuk Aidan tapi pria itu menolak dengan alasan sudah makan. “Kalian baru pulang?”
“Iya Daddy, les cuman sebentar. Belum lagi ada tugas sekolah,”
“Kamu belajar yang rajin, Ko. Bentar lagi mau UN kan, Daddy nggak mau kamu dapat nilai jelek pas kelulusan. Daddy mau sekolahin kamu di tempat favorit,”
Riko mengangguk melanjutkan makanannya. Aiden bersyukur jika anaknya punya tempat nyaman untuk setiap hari berada di sini. Bisa makan sepuasnya sampai Aiden pulang barulah makanan itu dibayarkan. Anak-anaknya jarang sekali jajan di luar.
Meskipun berstatus sebagai duda dua anak. Aiden memprioritaskan anak-anaknya. Tidak pernah ada keinginan untuk menikah lagi. Teman-temannya pernah menyarankan dia untuk mencari ibu untuk kedua anaknya. Tapi Aiden tahu bahwa anaknya tidak akan pernah mau mendapatkan ibu tiri. Bisa dibilang bahwa ini juga merupakan suatu trauma bagi Aiden karena ditinggal oleh istrinya saat Riko masih kecil dan juga Kadita yang belum lancar berbicara waktu itu.
Di sinilah tempatnya sekarang setiap hari menjemput anak-anaknya ketika pulang sekolah.
Dia b**********n di sini sudah sangat lama. Tapi tidak pernah sekalipun dia melihat anak-anak marah ketika dia terlambat menjemput dua buah hatinya.
Bisa dibilang bahwa anaknya memang kesepian berada di rumah. Hanya ada asisten yang setiap hari mereka lihat, jadi tidak jarang juga baik Kadita maupun Riko membantu Lara untuk merawat bunga-bunga di sana dengan sangat baik. di rumah juga Kadita menjadi pandai merawat bunga.
Riko juga yang tidak mau kalah malah menanam bunga yang dia sukai di halaman rumah mereka dengan meminta bibit pada Lara.
Wanita itu dengan senang hati memberikannya pada kedua anaknya bibit bunga yang bagus-bagus. Ditambah lagi dengan ramahnya Lara pada anak-anak yang sangat disukai oleh Aiden Pramudya Iskandar.
Usianya masih tiga puluh lima tahun dan anaknya sudah SMA. Itu terjadi sebab Aiden dulu menikah ketika usia tujuh belas tahun dan baru saja lulus SMA dengan seorang wanita yang lebih tua satu tahun darinya. mereka sama-sama mengagungkan cinta sampai membuat mereka buta dengan semua ini. Statusnya menduda pasca istrinya pergi meninggalkan dia dengan pria lain begitu Riko selesai mendapatkan ASI ekslusif, sebab hubungan mereka sudah memburuk begitu mantan istrinya hamil kedua dan ingin bercerai saat itu juga. Tapi Aiden menahan. Pernah anak-anaknya hendak dibawa, tapi dia keras kepala untuk mempertahankan anaknya sampai dia menjadi seorang duda yang harus membesarkan anaknya sendirian.