Hari ke hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari sikap Ashel yang dingin. Perlahan Arfan mulai menyadari bahwa Ashel tidak memiliki cinta untuknya. Setiap malam Ashel selalu bersikap dingin, selalu menghindar. Selalu tidur di sofa. Perbuatan Ashel tak lantas membuat sikap Arfan berubah, dia tetap lembut, manis dan sopan. Ia bahkan selalu membantu pekerjaan rumah. Mencuci piring. Memasak. Menyapu. Mengepel. Ia pun tidak segan mencuci pakaian dan menyeterikanya. Semua dilakukannya demi meringankan pekerjaan Ashel. Sikap itu tidak kunjung menumbuhkan perasaan cinta di hati Ashel.
Ashel masih berusaha menjauhi suaminya. Ia heran pada perasaannya sendiri, kenapa ia begitu kejam pada suaminya? Dimana petuah suci kitab Al Qur’an yang selama ini dipelajarinya? Dimana hidayah itu? Kenapa ia sedemikian kuat menjajah perasaan suami? Padahal ia sudah berusaha sebisa mungkin menumbuhkan rasa cinta pada Arfan. Tapi sia-sia. Usaha itu justru membuat perasaan tak suka semakin menjadi-jadi.
Bukankah tujuan utama pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah? Bukankah istri adalah pakaian suami? Dan sebaliknya, suami adalah pakaian istri? Tapi kenyataannya itu tidak ia rasakan. Lalu bagaimana rumah tangga akan terbina bila salah satunya merasa tidak nyaman?
Seminggu kemudian, di kamar yang sama, Arfan kembali menyentuh tangan Ashel untuk yang kedua kalinya, Ashel menundukkan wajah berusaha menyembunyikan perasaannya yang terpancar melalui raut wajahnya agar tidak terlihat oleh Arfan. Sesungguhnya tangannya mengepal berasa ingin meninju dinding.
“Sayang, bisakah malam ini aku memelukmu?” bisik Arfan.
Ashel tidak menjawab. Ia ingin memberontak dan marah. Tapi teduh wajah Arfan membuatnya luluh. Jikapun ia menjawab tidak, Arfan pasti tidak akan marah, hanya rasa sakit yang akan mengoyak batin lelaki itu. Dan Ashel tidak mau menambah dosanya dengan melukai perasaan suami.
Ashel memejamkan mata. Kali ini dia pasrah. Jika Arfan akan menggaulinya, sudah merupakan kewajibannya untuk melayani.
Apakah kebencian termasuk salah satu alasan mengugurkan kewajiban?
Ashel membuka mata setelah lama terepejam dan tidak terjadi apa-apa. Ashel melihat badan Arfan bergetar dengan air mata membanjir di kedua pipi lelaki itu.
“Mas, ada apa?” Ashel mengerutkan kening dengan cemas.
“Ma… Maafin aku, Dik.” Suara Arfan terbata.
“Kenapa harus minta maaf, Mas? Nggak ada yang salah darimu.”
“Aku nggak bisa jadi suami yang baik.”
Ashel terdiam mendengar kata-kata itu. Lidahnya kelu untuk menjawab. Arfan bahkan telah menjadi suami yang sangat baik, bahkan mulia. Bagaimana mungkin Arfan bisa berkata seperti itu?
“Aku mungkin nggak sesempurna lelaki yang kamu harapkan. Tapi aku punya cinta tulus yang mungkin orang lain nggak memilikinya. Niatku hanya ingin menyempurnakan separo agama untuk beribadah. Dan satu hal yang paling utama, aku mencintaimu.” Arfan diam sesaat untuk menelan. “Aku nggak akan menyentuhmu jika tanpa keridhaan sepenuhnya dari hatimu.”
Sempurnalah kesadaran Arfan tentang ketidaknyamanan istrinya yang terpancar melalui raut wajah.
Ashel merasa bersalah karena telah menjajah hati suami sendiri.
“Aku ikhlas, Mas,” ucap Ashel yang tiba-tiba merasa iba melihat tangis suaminya. “Aku mau kok diapa-apain sama kamu. Aku kan udah jadi istrimu.”
“Enggak, Dik. Yang kuminta ikhlas dari hatimu, bukan lidahmu. Aku nggak akan melakukannya sebelum kamu benar-benar ikhlas.”
Ternyata Arfan mengetahui ketidaknyamanan Ashel meski Ashel sudah berkata ikhlas. Kemudian Arfan meninggalkan Ashel. Tidur di sofa. Kali ini Ashel yang menutup tubuh suaminya dengan selimut.
“Maafin aku, Mas,” lirih Ashel saat menyelimuti d**a suaminya.
“Kamu nggak salah. Semuanya butuh waktu,” abalas Arfan bernada patah semangat.
“Mas, aku ini istrimu. Aku patuh padamu. Jangan hindari keinginanmu cuma karena istrimu ini nggak punya perasaan cinta ke kamu. Apa perlu aku yang bukain, nih?” Ashel menyentuh kancing baju atasnya siap untuk membukanya. Kali ini justru Ashel yang merengek, meminta agar Arfan bersikap leluasa. Ternyata ia masih punya nurani. Ia terpukul melihat suaminya menangis. Ia tidak ingin memupuk dosa hanya karena tidak ingin disentuh suami.
“Kamu pergilah tidur. Aku ingin sitirahat. Besok pagi aku dan Ayahmu harus pergi mengurus pekerjaan.” Lelaki itu memerintah dengan pandangan teduh.
Ashel menurut. Dia melenggang menuju ranjang.
***