Part 1
"Mama, kenapa rumah kita dijual? Barang-barang mewah juga." Seorang gadis berusia 14 tahun berlari menghampirinya ibundanya yang tengah berdiri di depan gerbang bersama beberapa pembantu dan ada yang masih mengeluarkan beberapa barang dari rumah mewah tersebut. Ada orang-orang bertubuh kekar berseragam biru mengawasi mereka di sekitaran rumah mewah yang sekarang terpasang label 'Rumah ini disita'.
"Maaf, Nak." Wanita muda itu tersenyum kecut dan hatinya teriris seraya memandang sendu raut wajah kebingungan dari anak semata wayangnya.
"Terus kita akan tinggal di mana, Ma?" Manik gadis itu mulai berkaca-kaca dan memeluk mamanya erat.
"Gendhis, anak mama yang pintar dan sangat cantik. Papa sedang mencari tempat tinggal sekarang, kita sementara duduk-duduk di sini dulu."
Gendhis Mahiswara, kerap dipanggil Gendhis. Gadis manis itu harus menelan pil pahit ketika mengetahui kondisi keluarganya menjadi begini. Lalu mamanya bernama Manika itu bercerita bahwa selama ini sang ayah memiliki hutang besar kepada bank dan tidak bisa melunasinya membuat rumah serta isinya pula di sita supaya lebih meringankan beban hutangnya. Gadis yang masih menduduki bangku SMP itu hatinya begitu hancur mengetahui semua hal yang belum dirinya ketahui selama ini.
"Ayah juga..."
"Ayah kenapa, Ma?" Gendhis sudah merasa tidak enak sedari tadi dan tubuhnya kian melemas mendengar ucapan mamanya baru saja.
"Ayah juga terkena tipu investasi bodong, Nak."
"Ayah ketipu?" Gendhis membulatkan matanya seraya membekap mulutnya dan lagi-lagi sebuah musibah terjadi terus menghujam hatinya.
"Iya. Orangnya kabur dan masih dalam pencarian polisi." Sebagai istri, Manika hanya bisa pasrah pada keadaannya dan tidak bisa juga menyalahkan semuanya kepada sang suami. Sebab Kusna Wibisana--suaminya telah berusaha melakukan yang terbaik demi keluarga kecilnya.
"Ma." Gendhis tidak bisa menahan tangisnya, gadis itu yang baru saja pulang sekolah harus mengalami hari yang buruk di hari ini.
"Maafkan mama sama papa, Nak."
"Aku belum menerima semua ini, Ma. Aku belum siap hidup miskin." Gendhis menggelengkan kepalanya di dalam dekapan sang mama.
"Enggak, enggak bakalan hidup seperti itu. Sayang, dengar mama ya. Mama berusaha agar kamu hidup dengan layak tanpa kekurangan. Yang terpenting kita hidup bersama meski harus dilanda musibah seperti ini. Kita harus kuat, percayalah semuanya akan kembali teratasi. Anggap saja ini ujian dari Tuhan kepada keluarga kita, Nak." Manika menangkup wajah putrinya dan masih meratapi kesedihan. Sebagai ibu, Manika harus tegar dan menguatkan keluarga kecilnya.
Hidupnya yang semula bergelimang harta sekarang jatuh seruntuhnya. Tidak ada yang mau membantu mereka sebab selama Kusna masih memiliki bisnis yang sedang di masa jaya-jayanya, ia terkenal sombong dan juga tidak mau menolong temannya yang dulunya pernah kesusahan. Kini Kusna mengajak dua orang yang disayanginya tinggal di sebuah rumah kost berukuran kecil.
Di rumah kecil itu pula hanya ada satu ruang kamar saja. Itu pun digunakan untuk kamar Gendhis dan Manika sedangkan Kusna memilih tidur di luar. Kamar mandi pula ada satu itupun di luar dan bergantian dengan penghuni kost lain.
Untunglah para asisten rumah tangganya ada yang mau membantu mereka dengan ikhlas saat memindahkan barang-barang yang masih bisa dibawa ke rumah kost. Saat ini tiga orang itu sedang duduk lesehan di ruang tamu dan nantinya rencananya ruangan ini akan dibagi oleh mereka dengan menggunakan gorden.
"Ayo dimakan sayang!" titah Kusna pada putrinya yang masih diam saja sambil menatap tiga piring berisi nasi dan satu mangkuk mie yang nantinya dimakan bersama-sama.
"Apa ini terjadi karena karma ya? Papa kan suka sombong dan angkuh ke orang. Sekarang tidak ada yang menolong keluarga kita," ujar Gendhis yang mengutarakan apa yang berada dipikirannya saat ini.
"Mas." Manika memegang pundak suaminya agar tidak emosi saat mendengar ucapan Gendhis.
Kusna mengangguk mengerti dan memang dirinya yang salah.
"Maafkan papa, Nak. Papa bukan papa yang terbaik untukmu. Maafkan papa."
"Papa jahat, tapi aku tidak bisa membenci papa." Gendhis menangis dan memeluk papanya yang duduk di sampingnya.
"Maafkan papa." Kusna ikut menangis dan keluarga kecil yang sedang dalam kondisi tidak baik kini berpelukan. Berpelukan adalah salah satu cara menguatkan satu sama lain.
Esok paginya...
"Aku tidak mau sekolah, Pa." Gendhis menggelengkan kepalanya pelan.
"Lho kenapa?"
"Aku malu hidup miskin begini." Gendhis masih betah mengenakan piyamanya dan duduk selonjoran di kamarnya.
"Jangan malu, Nak!" Kusna mengambil posisi duduk di sebelah Gendhis dan merangkul putrinya tersebut.
"Aku belum siap hidup begini, Pa." Gendhis menekuk kakinya dan dipeluk kakinya itu erat. Dagunya menopang di antara lutut kakinya.
Kusna menghembuskan napasnya pelan dan tangannya membelai rambut putrinya yang terurai.
"Nak, ayah tau perasaanmu saat ini. Semua harus dilalui dengan kesabaran, jika kamu terus menerus merasa malu lalu sampai kapan kamu bisa bangkit dari keterpurukan? Tidak usah malu hidup begini, ini adalah teguran bagi keluarga kita sebab semua apa yang kita miliki bisa diambil kembali oleh Tuhan. Selama papa hidup, papa baru sadar setelah kejadian begini dan papa itu seperti ditampar. Bayang-bayang sikap buruk papa di masa lalu juga masih terputar jelas dipikiran papa, papa meruntuki diri sendiri setiap hari. Mengapa ini semua bisa terjadi? Apa yang aku lakukan sampai bisa seperti ini? Dan jawabannya adalah ada pada diri papa sendiri. Setelah merenung cukup lama, banyak sekali kesalahan papa di masa lalu sehingga tak ada satu orang pun membantu papa dan papa tidak membenci mereka justru papa yang menyalahkan diri sendiri, seharusnya papa tidak seangkuh dan sesombong itu. Karena harta, papa dikuasai oleh sikap buruk di dalam diri papa dan ini adalah hasil dari sikap papa di masa lalu." Kusna menjelaskan tentang perasaannya kepada Gendhis, ia begitu rapuh dan frustasi. Namun yang diutamakan adalah anaknya yang tengah murung dan enggan bersekolah.
"Jangan seperti papa ya, Nak. Belajarlah dari sikap papa, papa juga tidak mau kamu seperti papa dan papa bukanlah orang baik serta tidak pantas diteladani."
"Enggak, papa tetap yang terbaik. Aku sayang papa walau kesalahan papa sangat banyak." Gendhis memeluk ayahnya. Ia akui papanya di masa lalu memiliki sikap buruk, namun Gendhis tidak membenci papanya sebab ia yakin papanya bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Papanya juga selalu ada untuknya dan dari kecil pula dirinya paling dekat dengan Kusna.
"Sekali lagi papa minta maaf, papa berusaha untuk bisa mencukupi kebutuhanmu dan mamamu." Kusna mengecup kening putrinya.
Di ambang pintu, Manika mengulum senyumnya memandang suaminya dan anaknya yang tengah berpelukan. Hatinya juga ikut sedih dan menyayangkan sikap suaminya dulu yang tidak bisa dirinya cegah. Dari dulu Kusna sangat sulit ditegur dan begitu keras kepala sifatnya. Sebelum itu Kusna telah meminta maaf kepadanya atas sifat-sifatnya di masa lalu bahkan Kusna pernah mengatakan kepadanya supaya meninggalkannya saat kemarin mereka sudah kehilangan sebagian besar harta benda mereka. Tapi Manika tetap mempertahankan rumah tangganya dan tidak ada niat secuil apapun di hatinya untuk meninggalkan mereka. Karena mereka adalah hidupnya.
...
Berita tentang kebangkrutan Kusna telah menjalar kemana-mana hingga di sekolah Gendhis. Semua orang menatap iba kepada Gendhis dan Gendhis hanya bisa menunduk malu. Ia malu pada keadaannya saat ini dipastikan dirinya menjadi biang gosip seluruh sekolahannya.
Padahal kemarin Gendhis begitu semangat berangkat sekolah dan ia juga tidak merasakan firasat apa-apa pergi dari rumah. Tau-taunya pulang rumahnya sudah disita dan ayahnya baru menceritakan masalahnya kepadanya. Andai sudah tau dari dulu dipastikan Gendhis sudah menyiapkan hatinya dan mentalnya. Tidak seperti ini dirinya masih linglung, pikirannya hanya pada keluarganya saja tapi papanya memaksanya masuk sekolah dan melarangnya untuk membolos.
"Gendhis."
Gendhis menghentikan langkahnya dan mendongakkan wajahnya saat terdengar suara seseorang memanggil namanya.
"Teman-teman," lirih Gendhis. Astaga sampai lupa ia memiliki teman, tapi... Apakah mereka menerima keadaannya sebab kehidupannya tidak sebanding seperti kehidupan teman-temannya?
"Gendhis, lo nggak papa kan? Wajah lo pucet banget." Kemala Leandra--temannya itu memeluknya lalu disusul Lindri Sasmaya.
"Enggak papa kok." Gendhis tersenyum tapi tidak dengan hatinya yang rapuh yang seharusnya melengkungkan senyumannya ke bawah.
"Katanya ayah lo lagi bangkrut ya? Gara-gara ketipu investasi bodong, sabar ya nanti ada yang balas kok." Lindri menepuk pundak Gendhis beberapa kali.
"Iya."
"Tenang saja, kita masih jadi teman lo. Kita nggak peduli kok lo itu anak miskin atau apalah, ya kan Lind?" Kemala merangkul Lindri, tubuh Kemala paling tinggi di antara mereka dan Gendhis paling mungil sendiri sedangkan Lindri masih dibilang standard apalagi tubuhnya itu berisi.
"Ah terima kasih teman-teman, kalian masih menerimaku menjadi teman kalian. Kalian itu teman yang terbaik." Gendhis menyunggingkan senyumnya lebar hingga menyipit.
"Iya dong, santai aja kali. Lagian hidup lo jadi miskin begini juga gak jadiin kita ikutan miskin kayak lo." Wajah songong Kemala dan Lindri membuat Gendhis seketika tersenyum getir.
'Harusnya mereka mengatakan seperti itu? Bukankah itu terdengar kasar? Tapi tidak apa, yang terpenting temannya tetap setia padaku dan tidak menjauhiku hanya karena hidup sudah tidak seperti dulu lagi'---ucap Gendhis dalam hatinya.
Hari-hari kian berlalu, Gendhis dipanggil staff administrasi sekolahannya dan di sinilah Gendhis berada sambil membawa kartu SPP-nya. Ia masih harus mengantri dan duduk di ruang tunggu yang nantinya dipanggil sesuai urutan nomor antrian sebab hari ini banyak murid yang akan membayar SPP.
Kemarin malam Gendhis mendengar percakapan kedua orang tuanya yang sedikit meributkan satu hal yakni sekolahnya. Gendhis masih kelas 2 ditambah SPP sekolahnnya belum lunas, SPP sekolahannya itu tidak sedikit melainkan jutaan per bulannya dan mau tak mau Gendhis harus mau pindah sekolah. Jika tidak ingin menambah beban orang tuanya.
"Nomor 4."
Gendhis beranjak berdiri, tangannya bergetar membawa kartu SPP-nya dan menghampiri seorang staff administrasi sekolahnya.
"Bu, saya mau pindah sekolah dan sebentar lagi orang tua saya datang ke sekolah."
Guru tersebut sudah mengerti keadaan keluarga Gendhis yang sekarang dan dia mengangguk menerima kartu spp dari Gendhis.
"Iya, Gendhis. Yang tabah ya, Nak. Jadikan ini pembelajaran buatmu untuk kedepannya. Semoga setelah kuat melewati masa-masa sulit, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah dan harus semangat, jangan sedih begini." Guru itu sangatlah baik dan mengerti kondisinya membuat Gendhis tidak lagi gugup berada di sini sambil menunggu orang tuanya datang.
...
"Pa, ini motor pinjam siapa?" tanya Gendhis yang berjalan keluar dari rumahnya dan menatap heran motor matic dan mesinnya sedang dipanaskan oleh papanya.
"Maafkan, papa ya nak. Motor ini papa beli baru saja tadi, ini hanya motor second dan uangnya pakai uang sekolahmu. Papa butuh banget motor buat cari kerja." Rasanya malu mengatakan hal ini kepada sang anak.
"Tapi tenang nak, masih ada tabungan sekolahmu dan papa akan serahkan semua kepadamu. Papa hanya minta sedikit buat beli motor ini mumpung ada yang menawarkan ke papa buat cari kerja."
"Tidak kena tipu lagi kan?"
"Enggak dong, orangnya itu pemilik kos-kosan ini."
Kos yang mereka tinggali bersebelahan dan berjumlah 10. Bukan tingkat melainkan berhadapan, warna cat dindingnya dan bentuk bangunannya juga sama. Dibagi menjadi dua bagian, sisi kanan dan kiri berjumlah 5 rumah kost.
"Syukurlah, Pa. Setelah papa terkena tipu, aku jadi lebih hati-hati dan takut papa kena lagi."
"Papa belajar dari kesalahan papa dan papa sekarang tidak mau seperti papa yang dulu," ucap Kusna dan sekarang dia sudah lebih berhati-hati kembali.
"Mama kemana, Pa?"
"Mama lagi belanja dan niatnya mau jualan kan di sini gak ada yang jualan makanan. Di sini juga banyak anak kecil dan kalau beli makanan juga harus menyeberang jalan."
"Iya, Pa. Bahaya juga. Emm mama mau jualan apa ya? Aku jadi penasaran."
"Mamamu pintar masak dan jangan diragukan lagi hasil jualannya nanti bakalan laku."
Malam harinya, Gendhis dan kedua orang tuanya sedang duduk santai. Tidak ada televisi membuat suasananya menjadi hening.
"Papa dapat pekerjaan."
"Apa, Pa?" tanya Gendhis antusias mendengarnya.
"Jadi kurir."
"Syukurlah, Pa. Gendhis jadi ingin kerja deh."
" Tidak boleh, kamu harus fokus sekolah." Kusna menggeleng cepat.
Gendhis mengulas senyumnya tipis dan sudah tau jawabannya akan seperti itu dari papanya.
...
"SMA lo bakalan beda dong?" tanya Lindri pada Gendhis yang sedang memakan cemilan baru dibelinya.
"Iya, kelas 3 SMP ini aja aku mau pindah." Gendhis mengangguk.
"Ya sudah entar kalau naik kelas 3 SMA nanti. Gue juga mau pindah. Soalnya gue masih mau merasakan suasana SMA favorit gue nanti."
"Sudahlah nanti aja dipikirkan, kita aja masih SMP." Kemala menarik tangan Lindri untuk duduk di sebelahnya sebab temannya itu sedari tadi berdiri.
"Ya kan lebih baik dibicarakan sekarang. Kita itu harus setia sama teman kita noh." Lindri menunjuk Gendhis dengan dagunya.
"Ya ya nanti kita bakalan sekolah bareng. Sementara pisah dulu deh." Kemala mengangguki ucapan Lindri.
"Aku tidak apa kok tidak satu sekolah sama kalian nanti. Kita kan masih satu kota jadi masih bisa bertemu kalau ingin bertemu," kata Gendhis.
"Nah benar itu kata Gendhis." Sambung Kemala.
"Kemala, lo gak setia kawan ya sama Gendhis?" Lindri mencubit lengan Kemala dan menatap temannya itu serius.
Kemala bingung dan tidak paham tatapan Lindri kepadanya seperti menyiratkan sesuatu.
"Iya deh."
Gendhis bingung menatap temannya yang saling bertatap serius. Tapi ia melanjutkan makan burgernya yang dibelikan oleh Kemala.
...
INFO, dimohon dibaca ya, geser ke bawah
Sekedar memberitahukan sesuatu bahwa cerita saya ini ikut lomba FTW
dimohon beri dukungannya ya cukup memberi komentar karena komentar kalian itu sangat berarti bagi saya
walau mustahil menang tapi author Niwi bekerja keras menuliskan cerita penuh makna dan berharap makna cerita ini tersampaikan kepada pembaca
dan setiap pembaca juga dipilih secara acak oleh sistem aplikasi ini, pembaca yang aktif berkomentar akan beruntung mendapatkan bonus
love you, my readers
...
...
...
...
...