2. {Mulai Bermain}

3258 Words
Ditengah dinginnya malam kala itu, Elisa malah bercucuran keringat. Dengan napas tersenggal dan keringat yang menetes dari dahinya, ia menikmati kesunyiaan di ruangan itu. Ia mengangkat kepala, memandang tajam samsak yang berada di depannya. Lalu kembali menundukkan pandangan kala menyadari apa yang baru saya ia lakukan. Menatap kosong tangannya yang kini memerah. Lagi, gadis yang selalu terlihat kuat di depan banyak orang itu melukai dirinya sendiri. Menyiksa tangan mungilnya dengan samsak yang ada di depannya. Ia mendongak, memejamkan mata menikmati rasa sakit yang kini sedang ia rasakan. Perlahan, air mata yang ia tidak tahu sebabnya meluruh. Membuat perasaan sesak yang sedari tadi ia tahan semakin membuncah. “Kenapa harus sesulit ini?” Ia jatuh di atas lantai yang dingin, meringkuk menahan dinginnya malam yang menusuk. Dengan memeluk dirinya sendiri, ia terus bergumam bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semua sudah berlalu dan tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Namun bayangan buruk yang selama ini menghantui, membuat pertahanannya kembali runtuh. Ditengah malam yang sunyi itu, lagi-lagi Elisa menangis seorang diri. Sedangkan diwaktu yang sama namun di tempat yang berbeda, Bila yang sedang berada di ruang makan justru malah terdiam menatap makanannya dengan pandangan kosong. Memandang piring yang sedari tadi terisi namun tak kunjung ia sentuh. Ia menghembuskan napas, mencoba menulikan pendengaran dari u*****n Ibunya yang sedang berbicara lewat telpon. “Kenapa semakin hari rasanya semakin memuakkan?” -                                           “Pagi Elisa!” Bila yang baru saja memasuki kelas, langsung membuat keributan dengan mengeluarkan suara lantangnya sambil berlari menuju Elisa yang sedang asyik mendengarkan musik. Teriakan Bila, sontak membuat Elisa tersentak dan langsung melepaskan airpodnya. “Toanya, masih pagi juga,” “Ke kantin yuk laper gue belum sarapan.” Baru saja Bila duduk, ia sudah harus berdiri lagi karena diseret oleh Elisa menuju kantin. Namun dalam perjalanan, Bintang tiba-tiba datang menghadang jalan mereka dengan merentangkan tangan. “Pagi Bi.” Sapa Bintang dengan senyum manisnya. Namun ternyata senyum yang dilontarkan untuk Bila itu, membuat kaum hawa menjerit kesenangan. Bahkan suaranya sampai membuat Elisa bergidik ngeri. Ia tidak mengerti mengapa sekolah yang terkenal karena reputasinya sebagai sekolah elite itu begitu mengidolakan para atlet. Bahkan mereka tidak memperdulikan etika yang diajarkan sejak kecil, demi berteriak kala idola mereka lewat. “Gila, fans lo bar-bar Tang.” Ucap Elisa sambil melangkah meninggalkan Bila dan Bintang berdua, tidak ingin menjadi obat nyamuk. Namun lagi-lagi, langkahnya terhenti kala ia menyadari sesuatu. Elisa berbalik, menatap Bintang yang sedang asyik melancarkan gombalan mautnya. Lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari keberadaan targetnya. Dan senyumnya langsung terbit kala melihat Surya yang sedang berjalan dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana dan airpod yang terpasang di telinga. Elisa menyilangkan tangannya di depan d**a, menatap lekat Surya yang semakin lama semakin mendekat. Saat Surya hendak berlalu begitu saja tanpa menyadari keberadaannya, Elisa langsung mengamit lengan Surya membuat sang empunya terlonjak kaget. Tanpa melihat dulu siapa pelakunya, Surya langsung menghentakan kasar tangan mungil itu. Lalu menoleh ke samping dengan tatapan tajam, hendak mengomeli siapa saja yang lancang memegangnya. Namun saat melihat sang pelaku sedang tersenyum manis tanpa rasa takut, Surya rasanya ingin menelan bulat-bulat Elisa saat itu juga. “Lo lagi!” “Pagi juga sayang.” Jawab Elisa masih dengan senyum manisnya. “Bi ayo pergi deh, pemandangannya nggak baik buat ditonton anak polos kayak kamu.” Bila yang sedang asyik menyaksikan Elisa melancarkan aksinya, terganggu karena Bintang menutup matanya dengan telapak tangan. Menuntun Bila untuk menjauh dari keributan yang ditimbulkan oleh kakaknya dan juga sahabat pacarnya. Surya menghela napas berat, menyembunyikan kepalan tangannya di dalam saku celana. Lalu menoleh dan menatap Elisa dengan pandangan yang amat menusuk. Membuat semua murid yang tadinya ingin menyaksikan reaksi pangeran es saat di dekati oleh Elisa, langsung ciut dengan tatapan Surya dan memilih untuk masuk ke kelas mereka masing-masing. “Kenapa? Mau marah ya?” goda Elisa. Surya hanya bungkam, masih dengan tatapan tajam nan dingin yang menjadi ciri khasnya. “Jangan marah terus dong nanti cep-“ Tidak ingin lagi mendengar ocehan Elisa, Surya sontak mendorong tubuh Elisa ke dinding. Menutup mulut Elisa dengan tangan kirinya dan mengunci gadis itu di antara badan tingginya. Elisa yang tidak menyangka Surya akan bereaksi demikian, hanya bisa membelalakkan mata. Ia lalu mendongak, menatap Surya yang rahangnya mengeras. “Berhenti ganggu hidup gue,” “Hidup gue jadi makin nyebelin semenjak lo coba masuk ke hidup gue.” “Dan asal lo tahu, sampai kapanpun lo nggak akan bisa. Karena gue, nggak akan masuk ke dalam perangkap buaya lo.” Elisa masih bungkam, mendengarkan semua ucapan Surya yang penuh dengan amarah. Namun bukan Elisa namanya jika takut dengan seorang pria. Setelah Surya menyelesaikan ucapannya, ia tersenyum, lalu mengecup tangan Surya yang sedang membungkamnya. Sontak saja hal itu membuat Surya melepaskan tangannya dari mulut Elisa dengan sangat terkejut. Elisa tersenyum miring, lalu mengalungkan tangannya di leher Surya. Mengunci mata hitam pekat yang membuat ia betah untuk menatap dengan jarak sedekat itu. Ia berjinjit, mendekatkan kepalanya di telinga Surya dan berbisik. “Lo salah, lo nggak akan masuk kandang buaya. Lo akan masuk ke kandang harimau. Dan gue bakal buat lo nggak bisa keluar dari jalan manapun. Karena gue, akan berusaha gimanapun caranya buat ngelelehin es di hati lo.” Elisa menjauhkan tubuhnya, bersandar kepada dinding sambil menyilangkan tangan di depan d**a, menikmati wajah terkejut Surya. Ia tahu betul, Surya yang memiliki watak sedingin es. Tidak penah membiarkan perempuan manapun mendekatinya barang sejangkal. Ia bahkan tidak akan pernah mengizinkan siapapun untuk menyentuhnya tanpa izin. Dan setelah mendapat peristiwa yang bahkan tidak pernah ia bayangkan dalam mimpinya itu, wajar saja jika Surya membeku. Suara tawa Elisa, membuat Surya tersadar dari keterkejutannya. Ia berdehem, mencoba untuk kembali menampilkan wajah dinginnya. Ia bahkan tidak berani menatap Elisa, takut jika nanti gadis nekat itu melakukan hal lain. Namun ternyata, Elisa langsung beranjak pergi tanpa sepatah kata apapun dan tanpa menoleh. Surya hanya memandangi kepergian Elisa, lalu kembali menyentuh leher belakangnya yang seolah masih terasa hangat karena telapak tangan Elisa. Ia memandang telapak tangannya yang terdapat bekas lip balm Elisa, lembut, basah, dan hangat. Menyadari apa yang baru saja ia pikirkan, Surya sontak menggelengkan kepala tegas sambil menepuk pelan pipinya. “Bisa ikutan gila gue kalo deket-deket sama cewek freak itu,” “Kayaknya nanti sore harus ke Pak Haji buat minta do’a pelindung dari setan.” Surya menghela napas, menggelengkan kepala pelan lalu segera pergi untuk memasuki kelas agar tidak bertemu dengan Elisa lagi. Sesampainya di kelas, ia langsung disambut oleh Riya, sang bendahara kelas. “Surya, bayarin kasnya Bintang. Udah numpuk.” Surya hanya memandang datar Riya, lalu berlalu begitu saja. Ia meletakkan tas di atas meja, memasang kembali airpodnya. Melipat tangan di depan d**a dan mulai memejamkan mata. Namun gebrakan di mejanya membuat ia berdecak sebal. Ia membuka mata, menatap tajam saudara kembarnya yang sedang tersenyum lebar. “Mau apa lo sat?!” “Bayarin kas gue dong bang,  gue nggak bawa duit.” Mohon Bintang dengan wajah memelas. “Halah lambemu.” Tidak ingin mendengar lebih lama ocehan sang adik, Surya segera mengambil dompet dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada Bintang. Sontak saja Bintang tersenyum senang lalu berlari menuju Riya. “Nih, nggak usah deket-deket gue lagi. Merinding gue kalo deket lo.” Ucap Bintang lalu segera pergi meninggalkan kelas. “Bro.” Surya yang merasa sebuah tepukan pelan di pundaknya, menoleh ke belakang. Ia mengangkat alisnya seolah berkata ‘apa’. Moodnya sudah terlalu buruk untuk mengularkan suara. Tatapan dinginnya tertuju kepada Roni, ketua pasukan bangku belakang. Kumpulan murid yang hanya bisa menghamburkan uang orang tuanya dan tidak pernah berniat untuk belajar itu berkumpul dalam pasukan bangku belakang. Roni berdiri di sebelah Surya, menyapu rambut ke belakang dengan jari-jari tangannya. “Gue denger lo di deketin sama Elisa.” Lagi, Surya amak muak mendengar nama gadis perusuh itu. Ia tidak tahu kesialan apa yang menimpanya sampai ia harus berurusan dengan gadis seberisik Elisa. Dan kini, hari-hari tenangnya di SMA Kebangsaan sudah hilang. Karena hari-harinya, terus dipenuhi oleh gosip. Surya menghembuskan napas pelan, lalu kembali manuruh kepalanya di atas meja. Tidak ingin mendengar apapun tentang Elisa. “Eh Sur, gue kasih tahu ya. Lo nggak usah sok ganteng, mending lo terima Elisa sebelum kita semua bertindak.” “Maksud lo apa?” Surya melepaskan airpodnya, melayangkan tatapan maut dengan tangan yang terkepal. Surya berdiri, mensejajarkan tubuhnya dengan perusuh kelas yang sama ia bencinya dengan Elisa. Namun perusuh kelas itu hanya tersenyum miring, lalu berbisik kepada Surya. “Cewek seseksi Elisa mana bisa lo cuekin gitu aja, gue tahu lo cuma menghindar karena takut ketahuan kalau joni lo berdiri." Ia menjauhkan wajahnya, tersenyum puas melihat Surya yang hanya terdiam. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang tersenyum senang. Lalu melangkah meninggalkan Surya. Namun tanpa ia duga, Surya menarik lengannya dan langsung menonjok tepat di hidung Roni ampai membuatnya mimisan. Semua orang sontak terkejut melihat apa yang baru saja Surya lakukan. Surya yang dikenal dingin dan tidak peduli dengan siapapun, tidak pernah terlihat meledak seperti itu. Surya yang baru sadar jika ia sudah kehilangan kendali atas tubuhnya, segera beranjak meninggalkan kelas sebelum masalah semakin membesar dan timbul keributan yang semakin memusingkan pula. Namun langkahnya terhenti kala melihat Elisa berdiri di ambang pintu, bersandar dengan tangan yang terlipat di depan d**a. Elisa tersenyum manis, senyum yang malah semakin membuat Surya meradang. Tangannya semakin terkepal, rahangnya mengeras, dan napasnya memburu. Sebelum ia kembali kehilangan kontrol, ia segera berlalu dengan menyenggol bahu Elisa sampai terhuyung mundur. “Bisa marah juga tuh kulkas,” Gumam Elisa. Kelas yang sedang ricuh karena ulah Surya, langsung terdiam kala melihat Elisa melangkah mendekati seseorang yang hidungnya sedang berdarah karena ulah Surya. Elisa berhenti dan berjongkok, membaca tag name laki-laki itu lalu tersenyum. “Well Roni, are you okay?” tanya Elisa sambil menyentuh hidung Roni dengan jari telunjuknya. Roni yang tadi merasa hidungnya mati rasa dan tidak bisa bernapas, kini seolah tengah menghirup udara yang sangat wangi. Ia terpaku, memandang wajah cantik Elisa. Gadis yang dipuja banyak pria, kini sedang berada di depannya. Namun semua kegagumannya, seketika berubah menjadi rasa takut kala melihat Elisa tersenyum miring. “Cowok gue keren ya.” Ucap Elisa bangga dengan senyum manisnya. Ia berdiri, masih dengan senyum manis yang membuat semua kaum adam seolah berhenti bernapas. Lalu pergi dengan riang meninggalkan kelas yang sedang porak poranda itu. Senyum manis itu masih terus mengembang sepanjang ia berjalan menyusuri lorong. Sampai ia melihat Bila bersama Bintang yang sedang mengobrol di pinggir lapangan. Wajah Elisa langsung berubah menjadi datar kala melihat wajah sendu Bila. Ia hanya diam, memperhatikan Bintang yang sedang mengoceh dengan antusias namun tidak memperdulikan Bila yang sedang memasang wajah sendu. Elisa tahu betul, semua perkataan yang keluar dari mulut Bintang tidak akan menyakiti Bila. Namun mengapa Bila memasang wajah seperti itu? Tidak ingin mencampuri urusan sahabatnya, Elisa lebih memilih untuk pergi dan kembali ke kelas. Menanti jam pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai. Merayakan kebahagiannya dengan makan bekal Bila. Ia begitu senang, karena bisa melihat sisi lain dari Surya yang orang lain tidak ketahui. Ia tidak sabar, menanti kejutan dari setiap sisi lain Surya yang akan ia ungkap. Berbeda degan Elisa yang sedang berbahagia, Bila yang sedang mendengar Bintang bercerita merasa sedih kala kisah yang bisa membuat Bintang tersenyum bukanlah kisah mereka. Namun kisah masa lalunya, kisah yang selalu Bintang ceritakan dengan senyum bahagia di wajahnya. Dan kisah yang selalu menjadi penentu bagaimana kenangan mereka terukir. Bila menunduk, menghembuskan napas pelan guna mengurangi sedikit rasa sesak di dadanya. Tapi tak lama kemudian, Bintang menghentikan kegiatan mendongengnya. Membuat Bila mendongak, merasa semakin sesak kala melihat Bintang yang tersenyum bahagia mengenang semua kisahnya. “Bisa nggak bisa Bin kamu berhenti cerita tentang masa lalu kamu? Aku capek.” Kalimat yang selalu terngiang dipikirannya itu lagi-lagi tidak mempunyai keberanian untuk keluar dari mulutnya. Bila hanya mampu bungkam, kembali menunduk untuk menyembunyikan kesedihannya. Tidak tahu harus berbuat apa agar kekasihnya terlepas dari kisah cinta masa lalunya. Namun Bila percaya, suatu hari pasti Bintang bisa melupakan semua masa lalunya dan fokus kepada kisah mereka. “Bi kamu kenapa?” tanya Bintang sambil memegang pipi Bila. Bila hanya mampu terdiam, masih tidak berani mengungkapkan perasaannya. Pada akhirnya ia hanya tersenyum dan menggeleng. Ia menghembuskan napas pelan, memegang tangan Bintang  yang berada di pipinya dengan lembut. “Gapapa, yuk balik ke kelas.” Bila berdiri, lalu menjulurkan tangannya agar digandeng oleh Bintang. Tentu saja tingkah manja Bila membuat Bintang terkekeh. Bintang memegang tangan Bila, berdiri lalu mencubit pelan pipi Bila. “Gemesin banget sih kamu Bel.” Mendengar ucapan Bintang, Bila sontak mematung. Ia mendongak, menatap Bintang yang juga sama terkejutnya. Tidak menyangka akan menyebut kembali nama itu. Sedangkan Bila hanya diam, menanti reaksi Bintang. Karena Bintang tak kunjung mengatakan apapun, Bila akhirnya angkat bicara. “Bel?” Bila masih menatap lekat wajah Bintang yang kini sangat gugup. Merasa diawasi, Bintang segera tersenyum dan berusaha sebaik mungkin menutupi kegugupannya. Ia tertawa, lalu mengamit Bila kedalam pelukannya. “Bil maksudnya, kepeleset tadi lidah ku.” Bintang langsung menarik Bila untuk berjalan meninggalkan lapangan, mencoba mengubah topik pembicaraan ke arah lain. Namun Bila masih bungkam, ia tahu betul apa maksud dari ucapan Bintang. Ternyata selama ini, Bintang masih mencintai masa lalunya, Bela. Lalu apa posisinya di hati Bintang jika sang mantan masih bertahta? Dengan wajah murung, Bila memasuki kelas yang masih ricuh. Ia menghembuskan napas panjang kala sudah duduk di kursinya, lalu menaruh kepala di atas meja. Elisa yang melihat Bila murung, menopang dagunya menatap Bila tanpa mengatahkan sepatah kata apapun. Bila menoleh, menatap Elisa yang juga sedang menatapnya. “Lo nggak mau tanya gue kenapa?” “Nggak, kalau lo mau cerita lo pasti udah cerita tanpa gue tanya.” Jawab Elisa. Elisa tersenyum, lalu mengelus lembut rambut Bila. “Gue bakal selalu siap dengerin curhatan lo Bil, kapan pun itu.” Bila ikut tersenyum, merasa sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Elisa yang selalu mau menjadi pendengar dan juga penasihatnya. Dikala moodnya sedang buruk dan butuh pelampiasan amarah, hanya Elisalah yang bersedia menjadi bahan pelampiasannya. Dan Elisa selalu menghadapinya dengan sabar. “Makasih ya El.” “Halah tai.” Jawab Elisa dengan tawa kecil. “El, nanti ikut ke rumah Kinasih nggak?” tanya gadis berkulit putih dan bermata sipit yang duduk di depan Elisa, Selia. “Mau mandi mie ayam.” Sambar gadis yang duduk di sebelah Selia, Wulan. “Mama gue udah masak salad juga.” Tambah gadis berkaca mata yang duduk di sebelah bangku Elisa, Kinasih. “Gas aja mah gue. Lo ikut nggak Bil?” tanya Elisa kepada Bila, yang dibalas gelengan kepala oleh Bila. “Nanti gue habis ketemu coach gue langsung gas ke rumah Kinasih, kalian nanti duluan aja.” Tak lama, guru yang mengisi jam pelajaran pertama memasuki kelas. Membuat percakapan Elisa terpotong. Dengan sigap semua murid menegakkan badan dan memberi salam kepada guru yang akan mengajar. - Elisa yang sedang memegang buku di tangan kanannya, berjalan melewati lorong yang ramai dijam istirahat itu seorang diri. Ia memberhentikan langkahnya di pinggir lapangan, menoleh ke arah lapangan basket yang sedang digunakan oleh beberapa murid. Ia memutar langkahnya, melangkah menuju lapangan yang penuh dengan anak laki-laki. Dengan wajah datar, ia berjalan menuju coach Hendra yang kala itu sedang mengobrol dengan pelatih basket. “Coach.” Coach Hendra yang sedang asyik mengobrol sontak langsung menoleh ke samping, lalu tersenyum kala melihat Elisa. Ia segera mengakhiri obrolannya dan mengajak Elisa berbicara di tepi lapangan yang sedikit rindang. “Jadi saya langsung ke pointnya saja ya Elisa.” “Untuk turnament bulan depan, saya akan keluarkan kamu diakhir pertandingan. Bagaimana?” “Terserah apa kata coach.” Jawab Elisa singkat. Coach Hendra menganggukkan kepala paham, lalu mempersilahkan Elisa untuk pergi. Tidak ingin lebih lama di tempat terik itu, Elisa segera pergi dengan langkah cepat. Sampai tidak menyadari jika ada sebuah bola basket yang melambung menghampirinya. “Awas!” Teriakan itu sontak membuat Elisa waspada, dengan cekatan ia bisa membaca dari mana arah serangan yang akan datang. Sehingga bola basket itu tidak jadi mengenai kepalanya. Kini bola basket ada di tangan Elisa. Ia menghembuskan napas lega, karena berhasil mencegah rasa malu yang hampir saja menghampirinya. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah anak basket yang sedang melihatnya dengan tatapan kagum. Lalu sang kapten, berlari menghampiri Elisa dengan tubuhnya yang basah akan keringat. Elisa yang mengetahui hal itu, wajahnya langsung berubah menjadi dingin. Nemun saat sang kapten basket, Fero Jesloyn sampai di depannya ia langsung memasang senyum manisnya. “Maaf, kamu gapapa?” tanya Fero sambil menatap lekat Elisa. “Seperti yang kamu lihat.” Jawab Elisa sambil mengangkat pundaknya. Ia tersenyum, lalu menyerahkan bola yang ia pegang kepada Fero dan melangkah pergi. Namun Fero mencekal tangan Elisa, membuat Elisa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Fero. Fero tersenyum tipis, lalu melemparkan bola yang ia pegang kepada temannya. “Mau ke kantin bareng?” Elisa mengangkat sebelah alisnya kala mendengar ajakan Fero, namun ia menganggukkan kepala ragu. Sehingga mereka berjalan beriringan menuju kantin. Fero yang memiliki tubuh tinggi dan atletis, sangat cocok dengan imagenya sebagai kapten basket terkeren di SMA Kebangsaan. Melihat Elisa yang cantik dan Fero yang memiliki pesona tidak terelakkan berjalan bersama, sontak saja menjadi sorotan semua murid. “Balikan nih mereka?” “Kak balikan aja kalian serasi banget.” “Dahlah balikan aja, masih sayang juga.” “Fiks balikan.” “Yang setuju kalau mereka balikan langsung like.” “Tim Elisa Fero.” Menulikan semua perkataan yang dilontarkan untuk mereka, Elisa dan Fero melanjutkan langkah dengan sedikit canggung. Kisah Elisa dan Fero yang sudah berakhir itu ternyata masih menarik banyak perhatian. Namun bagi Elisa, mengulang hubungan yang berakhir. Sama saja seperti membaca ulang n****+ yang telah ia baca sampai habis. Jadi, untuk apa mengulang cerita yang kita tahu alur dan akhirnya. “Kamu makin cantik.” Celetuk Fero memecah keheningan. Elisa mendongak, lalu terkekeh mendengar pujian Fero yang menurutnya sedikit menggelikan. “Kan emang gitu kalau udah jadi mantan.” Ditengah tawanya dengan Fero, tanpa sengaja Elisa melihat Surya yang sedang memandanginya tajam. Elisa tersenyum miring, lalu melambaikan tangannya menyapa Surya. Namun Surya malah membuang muka dan segera mempercepat langkahnya dengan wajah dingin. Elisa yang melihat sapaannya lagi-lagi diabaikan, hanya mengangkat bahunya acuh. “Kamu pacaran sama Surya?” Elisa menoleh ke arah Fero yang wajahnya berubah menjadi serius. Elisa tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Nggak, cukup kamu aja yang jadi mantan aku.” Mendengar jawaban Elisa, membuat Fero tersenyum kecil. Ia yang masih menyimpan rasa auntuk Elisa, tentu saja merasa amat senang kala sang mantan yang masih ia cintai enggan untuk memulai hubungan baru setelah bersamanya. Hal itu semakin membuat Fero yakin, bahwa ia bisa mendapatkan Elisa kembali. Meskipun Elisa terkenal dengan imagenya yang mahir mempermainkan hati lawan jenis, namun siapa sangka bahwa ia hanya sekali terikat dengan hubungan yang bernamakan ‘pacar’ dan hanya memiliki satu mantan, yaitu Fero Jesloyn. Elisa yang melihat Fero tersenyum, menggelengkan kepala pelan. Lagi, ia menekankan kepada dirinya sendiri bahwa tidak ada lagi tempat bagi Fero kecuali seorang teman. Seseorang yang telah menyia-nyiakan cinta tulusnya hanya demi alkohol, tidak layak untuk mendapatkan tempat lagi. Cukup sekali saja ia bertindak bodoh, ia tidak akan mengulanginya lagi. Ia tidak ingin lagi jatuh cinta, karena dengan jatuh cinta ia akan menjadi gadis bodoh lemah yang dikuasi oleh perasaan. Ia akan terus bermain dengan banyak hati sampai ia tidak lagi merasakan apa itu sakit hati, karena ditinggalkan. Namun tidak ada yang tahu rencana Tuhan dan takdir. Saat Tuhan mempertemukan Elisa dengan takdirnya, ia tidak akan bisa berbuat apapun. Kita hanya perlu menunggu, apakah takdir itu bisa menyembuhkan luka Elisa? Atau malah makin menorehkan luka yang amat dalam? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD