MAKE ME YOURS.

2390 Words
MAKE ME YOURS. AVA terkesiap mendengar suara sang ibu. Ia mendorong d**a Delta, bergegas bangkit sebelum sang ibu membuka pintu dengan cara paling cerdas yang dimilikinya. Di sisinya, Delta mengumpat lirih. “Sial!” “Hey!” Ava bangkit, menatap Delta tidak suka. “Apa yang barusan kau katakan?” Sambil meringis penuh rasa bersalah, Delta menjawab. “Bukan apa-apa. Jadi, ibumu ada di depan?” Ia mengangguk dengan gugup. “Kau harus segera pergi dari sini. Aku tidak mau ada yang melihatmu di kamarku. Aku tidak mau ibuku berpikir yang tidak-tidak tentang kau dan aku.” “Kita maksudmu?” Delta bangkit, pria itu melipat kedua tangan di depan d**a dengan cukup tenang. “Aku akan tetap di sini kalau begitu.” Ucapan Delta cukup membuat Ava terguncang. Mulutnya membuka, membentuk huruf O. Karena waktu yang mereka miliki tidak banyak, Ava buru-buru menutup mulut dan berkata, “Bagaimana jika ibuku melihatmu?” “Kalau kau tidak mau mengakui hubungan kita, aku tidak akan keluar dari sini.” “Hubungan?” Ava mengerjap. Baiklah, situasi mulai tidak terkendali. “Kita bahas nanti. Sekarang kau harus pergi dari sini dan aku akan menemui ibuku.” Delta mengangguk pasrah dan Ava beryukur untuk hal itu. “Jika kau menyarankanku pergi dari sini, sebaiknya aku keluar dari pintu mana?” Sial! Ava sama sekali tidak memikirkan hal itu. Ia mengambil napas dan membuangnya. “Karena kita tidak punya pilihan. Kau bisa bersembunyi di sini. Carilah tempat yang menurutmu aman.” “Bagaimana dengan kamar mandi?” tanya Delta. Ia mencuri satu kecupan di bibir Ava. “I love you.” Lanjutnya. Sebelum Ava sempat menyahut ucapan Delta, sang ibu lebih dulu berteriak. “Ava, kau baik-baik saja di sana?” Hal itu kembali membuat Ava panik. Ia melihat Delta menghilang di walk in closet. “Ya, Mom. Tunggu sebentar.” Sesampainya di depan pintu, Ava menetralkan napas terlebih dahulu. Ia memegangi d**a sembari membuka pintu yang sengaja ia kunci sejak Delta datang ke kamarnya semalam. “Astaga, apa yang sebenarnya kau lakukan di dalam?” Gerutu sang ibu sambil menghambur masuk ke kamarnya. “Apa kau sakit? Atau kau mungkin menyembunyikan sesuatu dariku?” Ava meringis, apakah kali ini ia bisa mengelabuhi sang ibu? “Tidak, Mom. Tidak ada. Sungguh. Aku hanya ingin di kamarku saja seharian ini. Kurasa kepalaku sedikit pusing.” Elsa mengabaikan kata-katanya. Ia menjelajah seluruh kamar Ava, mencari-cari apa yang sebenarnya putrinya sembunyikan. “Kau sedang tidak berbohong padaku, bukan?” Pasrah. Hanya itu yang bisa Ava lakukan saat ini. Jika ibunya menemukan Delta di walk in closet, karena wanita itu sedang menuju ke sana, ia hanya bisa diam dan menerima hukuman apa pun yang nanti diberikan padanya. “Tidak.” dustanya. Ava memilih untuk duduk di salah satu sofa dan mengamati gerak-gerik sang ibu. Elsa sudah menghilang sejak sedetik yang lalu, kini ia hanya perlu menunggu reaksi sang ibu jika menemukan laki-laki yang cukup mereka kenal bersembunyi di salah satu rak bajunya. Tak berapa lama kemudian, Elsa muncul dengan ekspresi lega. “Kau yakin kepalamu pusing? Sejak kapan? Mommy sudah memeriksa seluruh ruangan ini dan tidak menemukan apa pun.” “Kau meragukanku, Mom.” Ava berkata ketus. Dari ekspresinya, ia bisa menyimpulkan kalau sang ibu tidak menemukan Delta. “Kepalaku sedikit sakit sejak semalam. Kurasa semua ini terjadi karena aku tidak tidur dengan baik.” Elsa mengambil duduk tak jauh dari Ava. “Kau harus mengurangi jam kerjamu, Nak. Kau masih sangat muda tapi kau bekerja terlalu keras. Ayahmu memastikan kau dan saudaramu hidup berkecukupan hingga anak cucu kalian. Keluar dan bersenang-senanglah! Kau membuutuhkan semua itu.” Ibunya benar. Ava terlalu banyak menghabiskan waktu di laboratorium dan bekerja bersama sang ayah hingga dia lupa bagaimana rasanya keluar rumah dan bersenang-senang. Bukannya dia tidak mau menghabiskan masa mudanya dengan semua itu, hanya saja Ava terlalu nyaman dengan pekerjaannya. Dia menyukai semua hal yang berbau teknologi bahkan sejak ia masih kanak-kanak. Lagipula, Ava tidak memiliki teman atau kekasih. Jadi, dengan siapa dia harus keluar? “Lihatlah Eva, dia menikmati masa mudanya dengan cukup baik. Bekerja dan bersenang-senang, kehidupannya tampak seimbang. Kau harus belajar banyak dari saudara kembarmu.” Lanjut sang ibu. “Mom,” Ava mengambil gelas kopi dan menyesapnya. “Kami berbeda. Jangan bandingkan aku dan Eva.” “Mom, tidak membandingkan kalian. Sebagai ibu, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Kau harus punya kekasih yang bisa membawamu keluar dari rumah setiap sabtu malam. Tidak peduli dia dari keluarga berada atau bukan, yang terpenting adalah dia bisa membahagiakanmu, Itu sudah cukup.” Ava terpaksa memijit pelipisnya yang sama sekali tidak terasa pening demi menarik simpati sang ibu. “Daddy tidak akan serta-merta membiarkan aku menjalin hubungan sembarang pria. Dia akan menyelidiki latar belakang pria yang berkencan denganku.” Elsa mengibaskan tangan. “Itu bukan masalah besar. Aku bisa menanganinya.” Siapa pun tahu kalau Freddy akan tunduk di bawah kaki Elsa. “Ya. Ya. Ya. Aku akan mempertimbangkan saranmu. Aku akan keluar mencari teman kencan. Lalu, apa yang bisa kulakukan? Apa aku boleh berhubungan seksual dengan pria itu?” “Boleh.” Elsa menjawab cepat. “dengan satu syarat.” Kening Ava mengerut mendengar ucapan sang ibu. “Apa syaratnya?” “Pastikan dia tidak memiliki penyakit kelamin.” “Noted.” Ava beringsut di kursinya, mulai bertanya-tanya di mana Delta dan apa yang tengah dilakukan pria itu? Jika percakapan dengan Elsa adalah satu dari sekian banyak hal yang sangat dia sukai, kali ini berbeda. Ava kehilangan kenyamanan itu sejak Delta memasuki kamar dan menciumnya. Astaga, kenapa pria kecil itu begitu lihai menggunakan bibirnya untuk menggoda seorang Ava yang kaku dan sama sekali tidak bersemangat jika berhubungan dengan seorang laki-laki? Sejak kapan Delta bisa selihai itu? “Apa kau membutuhkan dokter?” tanya sang ibu penuh perhatian. Ava menggeleng, “Tidak. Aku akan tidur dan sebentar lagi kepalaku pasti membaik.” “Baiklah.” Elsa bangkit dari duduknya. “Mommy akan datang lagi sore atau malam nanti untuk memeriksa keadaanmu.” “Thanks, Mom.” Usai berpamitan, Elsa segera meninggalkan Ava seorang diri di kamarnya. Wanita itu dengan ragu membuka pintu dengan kode khusus yang tertera di tembok. Elsa menoleh sekilas, memandangi Ava dengan tatapan yang sialnya tak bisa ia artikan. Setelah sekian detik yang cukup menegangkan, akhirnya wanita paruh baya itu melewati bingkai pintu. Meninggalkan Ava dan Delta yang tengah bersembunyi entah di mana. ** Delta berhasil menemukan tempat persembunyian yang cukup aman setelah tersesat di walk in closet. Sebuah lemari tinggi yang digunakan untuk menggantung berbagai macam warna gaun panjang milik Ava. Ia menyelinap ke dalam gaun-gaun itu dan menyembunyikan tubuh di balik baju-baju tersebut. Meskipun tidak nyaman berada di sana, ia tetap bersyukur karena tidak ketahuan. Jangankan bersembunyi di balik pakaian wanita, diminta bersembunyi di dalam gunung berapi pun ia bersedia melakukannya. Semua itu demi Ava, gadis pujaannya. Kekasih hati yang sebentar lagi akan menjadi milik- “Kau harus mengurangi jam kerjamu, Nak. Kau masih sangat muda tapi kau bekerja terlalu keras. Ayahmu memastikan kau dan saudaramu hidup berkecukupan hingga anak cucu kalian. Keluar dan bersenang-senanglah! Kau membutuhkan semua itu.” Suara Elsa terdengar sampai di telinganya meskipun samar. Bersenang-senang? Apa dia salah dengar? Ibu lain ingin anaknya bisa menjaga diri, berkarya, bekerja keras dan berprestasi. Tapi kenapa Elsa justru sebaliknya? Menyuruh Ava keluar rumah. Delta lebih menyukai gadis itu yang sekarang. Jika di bandingkan dengan saudara kembarnya-Eva, Ava jauh lebih dari dari berbagai sisi. Delta mengabaikan apa pun yang membuatnya tak nyaman dengan pembicaraan antara Ava dan Elsa. Ia tidak mau gegabah menanggapi semua yang dikatakan oleh Elsa, yang jelas-jelas menyudutkan Ava. Stok kesabarannya masih cukup banyak. Ia akan menunggu sampai mereka selesai dan keluar dari persembunyiannya. Akhinya pembicaraan antara ibu dan anak itu selesai. Delta menunggu hingga beberapa saat kemudian sampai Elsa benar-benar keluar dari kamar Ava. Setengah hatinya berharap Ava mencari dirinya dan menanyakan bagaimana keadaannya. Namun, rasanya semua itu mustahil mengingat gadis itu sama sekali tidak memiliki rasa padanya. “Mau sampai kapan kau bersembunyi di sana?” Suara ketus Ava mengembalikan kesadaran Delta. Ia bergegas keluar dari tempat persembunyiannya. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cantik Ava yang bersandar di salah satu lemari. “Hai…” “Hai?” Ava memutar bola matanya jengah. “Itukah yang kau ucapkan setelah membuatku hampir dibunuh oleh ibuku sendiri?” Delta menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Aku minta maaf. Kau pasti panik karena ibumu tiba-tiba datang.” Ia menarik dagu gadis itu, memaksa Ava menatapnya. “Jadi?” “Jadi?” gadis itu menepis tangan Delta. “Kau harus segera pergi dari sini. Ayah dan ibuku mungkin datang malam ini. Mereka tidak boleh melihatmu di sini atau… kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.” “Aku sama sekali tidak tahu.” Delta menyandarkan punggung di salah satu lemari. “Jadi, apa saja yang kau bicarakan dengan ibumu? Dia memaksamu keluar? Seperti Eva?” Ava hanya mengedik, enggan menanggapi pertannyaan Delta. “Begitulah.” “Aku lebih suka kau yang seperti ini.” Gadis itu tersenyum kecil. “Aku tidak tumbuh seperti wanita normal. Kurasa ibuku benar. Aku harus melihat dunia luar. Ada banyak sekali yang aku lewatkan sejak aku tinggal bersama ayah dan ibuku. Aku harus mencari kekasih untuk menemaniku setiap sabtu malam. Itu yang ibuku minta.” “Mencari kekasih?” ulang Delta tidak suka. “Kau serius menanggapi kata-kata ibumu? Aku tidak percaya ini?!” “Ada yang salah dengan saran ibuku? Kurasa dia sepenuhnya benar.” Ava berbalik dan berjalan kembali ke sofa. Gadis itu mendaratkan pantatnya di sana sembari menunggu Delta mendekat. “Aku tidak mau kehilangan masa mudaku. Aku butuh beberapa pria, memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan teman kencan, menikah dan memiliki keturunan. Itu impian semua gadis muda. Termasuk diriku.” Ya. Itu juga yang diinginkan oleh Delta tapi dia tidak akan rela melihat Ava berkencan dengan pria lain selain dirinya. Delta ingin gadis itu menjadi miliknya apa pun yang terjadi. Egois sekali! Sebuah suara yang berasal dari kepala Delta mengejek pria itu dengan angkuhnya. Ah, dia memang egois. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh seorang pria yang tengah kasmaran seperti dirinya selain melakukan apa pun untuk gadis yang dia cintai agar gadis itu menjadi miliknya? “Aku juga berpikir demikian.” Delta duduk tak jauh dari Ava. Ia melihat keluar jendela, cuaca cukup cerah siang ini. Awan-awan bergerak ke sana kemari di bawah langit biru. “Itu artinya kau dan aku normal. Ibuku benar dengan memberiku saran seperti itu.” gadis itu menyandarkan punggung di sofa. “Butuh lebih dari satu kencan istimewa untuk menentukan karakter seseorang. Jadi, kupikir aku mungkin bisa mengencani beberapa pria sebelum-“ “Tunggu,”Delta menyela. “Bagaimana jika kita realisasikan apa yang sedang kita berdua upayakan?” Kening Ava mengerut dalam. “Maksudnya?” Dengan gaya elegan khas pria dewasa, Delta menegakkan punggungnya. “Kau menginginkan seorang kekasih. Kau harus menjelajah, mencari tahu seperti apa karakter seorang pria sebelum memutuskan untuk menjadi hubungan serius dengan satu laki-laki. Itukah yang kau butuhkan?” “Tepat sekali.” “Kau bisa mencobanya dari aku.” “Ha?” Ava reflek mengucapkannya. “Kau bisa mencobanya dari aku.” Ulang Delta. “Jadikan aku kekasihmu.” Seolah ada yang sengaja menusuk jantungnya dengan sebilah pisau, Ava menatap Delta tidak percaya dengan mulut menganga lebar. Gadis itu mengembuskan napas lewat mulut dengan cukup keras, “Apa kau bercanda?” “Tidak.” Delta berkata tegas. “Aku sedang tidak bercanda dan sedang tidak ingin bercanda.” Delta mengangkat dagu, “Jadikan aku kekasihmu.” Ava menggeleng tegas. “Tidak semudah itu, Delta.” “Aku sudah menyatakan perasaanku padamu.” Delta mencari kata-kata yang tapat untuk membuat Ava tertarik dengan penawarannya. “Biasanya, perempuan lebih suka dicintai daripada mencintai. Itu yang kutahu.” “Delta,” Ava tersenyum tipis. “Tidak tahukah kau, kami para perempuan akan lebih suka mengejar laki-laki b******k daripada dicinta pria baik-baik.” Sial! Ucapan Ava sepenuhnya benar tapi Delta tidak akan menyerah semudah itu. “Aku tahu dan aku bisa menjadi b******k seperti yang kau bayangkan. Kita bisa mencobanya dulu lalu kau bisa melihat seberapa b******k diriku nanti.” Ava mengangguk-anggukan kepala. “Aku tahu kau bisa melakukannya. Sekali lagi, aku tidak teratrik-“ “Kau akan tertarik jika aku keluar dari sini sekarang. Akan kukatakan pada ibumu kalau semalam kita menghabiskan malam penuh percintaan.” “Kau menganca, Nak?” “Ya.” Delta berkata tegas. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan apa pun yang dia miliki sekarang. Ava sudah membuat rencana untuk keluar dari zona nyamannya, menemukan kekasih dan berkencan dengan pria di luar sana. Gadis itu membutuhkan seorang pria yang bisa membawanya keluar rumah di sabtu malam dan Delta akan menjadi pria itu. Tidak akan ada yang salah dengan hubungan mereka. Semakin cepat mereka memulai, semakin cepat juga semuanya selesai. Ya, dia ingin menyelesaikan penantiannya selama ini. Delta telah menghabiskan sepanjang hidupnya hanya untuk menunggu Ava melihat dan membalas perasaannya. Sekarang dia tidak mau lagi menunggu. Delta ingin memiliki gadis itu secepatnya. “Jika kau membutuhkan seorang pria untuk dikencani, akulah orang yang tepat untuk itu.” “Aku butuh alasan kalau begitu.” “Aku tampan dan menarik. Aku mengenal keluargamu dengan sangat baik dan yang paling penting adalah aku mencintaimu. Kau tidak perlu khawatir kalau aku akan akan melukai perasaanmu karena aku tidak mungkin melakukannya.” Gadis itu menatapnya tidak percaya. Delta memilih melanjutkan kata-katanya. “Kau tidak perlu melakukan pendekatan karena kita sudah lama saling mengenal. Pertimbangkan ucapanku.” “Delta… Hubungan ini terlihat menguntungkan di pihakmu.” “Aku akan membuatnya menguntungkan di pihakmu.” “Bagaimana caranya?” “Aku akan memberimu Fourth Fairfield, The Hamptons, New York jika kau mau mempertimbangkan untuk menjadikanku kekasihmu.” Ava tampak tercengang dengan penawarannya tetapi Delta sama sekali tidak main-main. Rumah itu menjadi salah satu property kebanggaannya saat ini dan dia rela memberikannya pada Ava jika gadis itu mau menjadi miliknya. “Jika aku menerimanya, aku akan terdengar seperti seorang gadis yang hanya menginginkankan hartamu.” “Aku melakukannya agar semua ini tidak terasa menguntungkan di pihakku. Bagimana?” “Kau akan tetap memaksaku jika aku berkata tidak.” “Benar.” “Baiklah. Aku setuju.” “Bagus.” Delta mengepalkan tangan dan meninju udara kosong. “Mulai sekarang kau resmi menjadi kekasishku!”            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD