Dalam sekejap Binar dapat dengan mudah mencuri perhatian Buna -Gladis- sepenuhnya, bahkan kedua anak kembarnya diabaikan begitu saja. Padahal mereka juga baru sampai dari Surabaya, pasti lelah dan ingin melepaskan rindu dengan ibunya. Gladis lebih suka mengobrol dengan Binar, hal itu juga membuat Dara tertawa terbahak-bahak mendapat wajah masam kedua adiknya.
Arjuna sih sedikit tak perduli, ia lebih memilih langsung menuju kamar dan melepaskan lelah dengan tidur. Berbeda dengan Aruna yang ikut bergabung di ruang tv bersama ibunya dan Binar, bukan bergabung dalam obrolan, tapi ia bermain ponsel sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
"Buna, nih, anaknya cewek kan udah tiga! Satunya model lagi," sergah Aruna saat telinganya mendengar sang ibu menanyakan perihal fashion pada Binar.
"Ya gak apa-apa kali, Na, nanti kalo kalian pada nikah kan mantu perempuan Buna cuma Binar ini!" balas Gladis tanpa dosa.
Padahal efek ucapannya itu membuat wajah Binar merah padam, ia malu saja mendengar ucapan Gladis. Bahkan tadi saja ia dipinta untuk menyematkan sapaan Buna, biar sama seperti keempat anaknya katanya. Binar sih menurut saja, cuma agak canggung pada Aruna. Sebab kebanyakan sikap temannya ini seolah cemburu terhadap Binar karena perhatian yang ia dapat dari Arjuna dan Gladis.
"Ya udah kamu sama Binar ke kamar gih! Bebersih ya, soalnya Buna mau masak makan malem," ujar Gladis kemudian, baru menyadari jika suaminya akan segera sampai rumah.
Aruna mengangguk beranjak mengambil tas ransel berisi keperluan yang ia bawa dari Surabaya, kepala bergerak sedikit memberikan kode pada Binar untuk mengikutinya naik ke lantai atas menuju kamar. Awalnya Binar disuruh oleh Gladis untuk tidur di ruang tamu, tapi ia tolak dengan halus karena sudah berjanji pada Aruna akan tidur bersama temannya itu.
Binar mengikuti langkah Aruna menaiki tangga, tak berselang lama ketika kakinya menyentuh lantai dua rumah ini, matanya dibuat takjub oleh pemandangan belakang rumah yang begitu terawat dipenuhi dengan berbagai jenis sayuran subuh. Ada juga satu pohon mangga besar yang sedang berbunga.
Ruangan atas rumah ini tak begitu banyak memiliki fungsi nampaknya, sebab Binar hanya mendapati empat kamar tidur yang berjajar, satu kamar mandi berhadapan langsung dengan kamar milik Aruna, satu ruang dengan penuh buku semacam perpustakaan, serta satu balkon yang menghadap ke halaman depan. Kelebihannya banyak jendela yang menghadap ke area belakang rumah.
"Capek banget gue ...!" seru Aruna melompat ke atas kasur.
Binar hanya tersenyum, menaruh tas ranselnya di bawah lantas duduk di kursi belajar milik Una. Mungkin juka keadaannya di rumah sendiri, ia akan berbaring layaknya Aruna, tapi kali ini ia di rumah orang, segan rasanya jika ia melakukan hal yang sama seperti sang pemilik rumah.
"Sini loh, Bin, baringan," ujar Una mendapati temannya malah duduk di kursi.
"Nantilah, Na, gue belum bebersih," balas Binar.
"Santai aja kali, nanti kita ganti sepreinya pas mau tidur."
Binar tak membalas lagi, ia sibuk membuka ponselnya demi menjawab pesan dari sang ibu. Kemarin ia sudah bilang akan berkunjung ke rumah temannya yang ada di Jakarta, mamanya sih memperbolehkan, ya meski dengan sedikit rasa khawatir sebab baru kali pertama bagi Binar menaiki pesawat.
Agak sedikit kuno memang keluarannya, sebab selama dua puluh tahun hidupnya tak pernah satu kali pun keluarganya menaiki pesawat. Bukan karena tak mampu atau apa, hanya saja mamanya fobia ketinggian, itulah yang menjadi alasan mengapa mereka akan selalu memilih jalur darat tiap melakukan perjalanan jauh. Dulu sih naik bus, tapi sekarang lebih sering naik kereta.
"Bin, semalem masa gue mimpi aneh ...?" kata Aruna lagi memulai percakapan dengan Binar.
Tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel, Binar hanya merespon seadanya, "mimpi apa?"
"Ehm ... Mimpi lo gendong anak bayi di rumah ini."
Mendengar itu baru Binar menoleh, melempar tatapan aneh ke arah Aruna yang masih berbaring, matanya mengawang ke atap kamar.
"Maksudnya?"
"Iya, gue mimpi lo gendong bayi di rumah ini." Aruna diam sejenak menghembuskan nafas berat. "Makanya gue sensi sama Arjuna, sama Buna juga sih. Gue cuma gak mau mereka maksa lo buat jadi anggota keluarga gue, lo kan berhak milih jalan hidup lo sendiri, Bin!"
"Santai kali, Na, gua gak masalah kok sama sikap ibu lo," balas Binar sambil tersenyum kecil, rupanya Aruna tengah dirundung rasa tak enak hati.
"Bukannya gue mau nakutin elo ya, tapi keluarga gue tuh aneh." Kali ini Aruna berpindah posisi menghadap ke arah Binar, seolah sedang mengutarakan kegundahannya. "Gue yakin kalo kembaran gue cewek, pasti Ayah gak akan berhenti sampe punya anak cowok. Gak tau kenapa tapi penerus Ayah harus cowok!"
"Masa sih, Na? Perasaan lo aja kali, kan waktu itu lo ada di perut ibu lo!" sanggah Binar tak mau temannya berpikir negatif terhadap kedua orang tuanya.
"Enggak, Bin, emang gitu! Kayak kerajaan di Jepang itu, rajanya harus cowok. Walaupun raja sebelum udah anak cewek, kalo sodaranya ada anak cowok ya anak cowok itu yang bakal naik tahta," papar Aruna menggebu-gebu.
"Terus urusannya sama gue apa?" tanya Binar yang baru sadar perihal apa sebenarnya yang ingin Aruna jelaskan padanya.
"Ya bisa kalo lo nikah sama Juna, otomatis lo harus punya anak cowok. Seengaknya satu buat penerus perusahaan keluarga."
"Kalo semua anaknya cowok gimana?"
"Tiap anak bakal diberi tanggung jawab sendiri-sendiri di perusahaan, tapi kalo cewek kayak gue dan dua kakak gue-" Aruna mengehentikan ucapannya seolah tengah berfikir.
"Apa??" tanya Binar yang menanti kelanjutannya.
"Kayaknya bakal dikasih opsi kerjaan lain sih, Kak Dara kan jadi dokter forensik, terus Kak Lula jadi model deh."
"Ya bagus dong itu, jadi wanita karier. Emang lu gak mau ya?"
"Mau sih, tapi gak enak deh pokoknya!"
Binar terdiam sejenak, meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Baterainya hampir habis, ia membutuhkan charger yang masih berada di dalam ransel.
"Gue liat perlakuan ibu lo sama aja, gak ada kayak pilih kasih gitu kok!" ujar Binar sembari membuka ranselnya, mencari charger.
"Anak kesayangan Buna tuh si Arjuna, agak aneh sebenarnya ya. Soalnya yang pengen anak cowok kan Ayah, tapi malah anak kesayangan Ayah tuh bukan Juna!"
"Kok bisa gitu?"
"Gue malah liat Ayah sama Juna tuh gak pernah akur tau, Bin, kan aneh ya?"
"Iyalah!"
"Ayah tuh emang aneh, dulu waktu Kak Lula mau jadi model juga sulit banget bikin dia legowo buat restuin cita-cita anaknya. Kayak kerjaan apa aja yang penting jangan model, tapi Buna yang dulunya desainer malah ngedukung." Kali ini Aruna memposisikan dirinya untuk duduk menghadap Binar yang sudah menemukan charger di dalam ranselnya.
"Effort banget sih Buna dulu, sampe akhirnya Ayah bolehin Kak Lula jadi model," imbuh Aruna.
"Terus Kak Lula sekarang dimana? Kan tadi di bandara lo bilang dia ada di rumah, tapi dari tadi gue gak liat tuh!"
Benar. Baru Aruna sadari jika kakak keduanya tidak ada menampakkan batang hidung sejak mereka sampai. Kalau Lula ada di rumah pasti ia akan ikut serta menyambut kedatangan mereka bersama Bunanya tadi.
"Di Singapura mungkin, gue belum tanya Buna juga tadi," jawab Aruna seadanya.
"Ngapain? Liburan?" Binar sudah menyelesaikan tugasnya mengisi daya ponsel, kini ia kembali duduk fi atas kursi menghadap Aruna.
"Agensinya di sana, soalnya kata Ayah Kak Lula boleh jadi model asal ikut agensi luar. Asal lo tau agensi terbesar model di Indo itu punya temen dia, kenapa juga Kak Lula gak dikasih masuk ke sana?"
"Cuma Ayah lo yang tau!"
Aruna mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju dengan kesimpulan yang baru saja Binar beri.
"Eh? Lu pernah liat wajah Ayah gue gak?" tanya Aruna seketika membuat dahi Binar mengernyit.
"Kagak lah!! Liat wajah Buna lo sering, kan ada tuh di wallpaper hp," balas Binar. Memang itu kenyataannya kok, ngapain juga ia kepo terhadap wajah ayah temannya ini.
"Mirip Juna, sembilan puluh persen wajah Juna itu dari Ayah! Cuma kan–"
"Aruna ...!"
Ucapan Aruna terpotong ketika suara besar terdengar dari luar sana, membuat keduanya saling melempar pandangan.
"Itu Ayah!"
####