"Iya, Yah!"
"Ya udah nanti kalian balik sebentar ke sini, cari mobil buat Juna."
"Lah kok Juna sih, Yah?! Aku dong harusnya!"
"Lho? Kan mobil itu kamu yang pilih, ya sekarang gantian dong sama adiknya."
"Aku juga mau lah, Yah!"
"Nanti lulus kuliah, mobil itu kan baru, Na .... "
"Ya udah deh, minggu depan Una sama Juna pulang."
"Iya, tiketnya biar Buna yang urusin."
"Iya, Yah, makasih."
"Ya udah ya, Ayah mau meeting dulu. Dah Una ...!"
"Dah, Ayah ...!"
Aruna melirik tajam kembarannya tajam, kesal entah karena apa. Sedangkan Arjuna abai lebih fokus menikmati makan malam. Perutnya kosong sepanjang hari, bisa dibilang lambungnya baru mengolah makanan lagi sejak satu hari lalu. Dia juga mendengar percakapan Aruna dengan ayahnya, dan merasa tak ada yang spesial.
"Nanti beli Rubicon aja, Jun, jangan mau yang lainnya," tembak Aruna tepat sasaran, lelah menunggu respon Juna.
"Kenapa Rubicon?" tanya Arjuna tak mengerti dengan perintah kembarannya.
"Biar keren kayak Dandi," canda Aruna sembari tertawa pelan, satu tangannya ia gunakan untuk mengambil kentang goreng milik Juna.
"Males!"
"Hahaha ...!"
Mereka berdua sedang berada di salah satu kedai makanan cepat saji di pusat kota Surabaya. Aruna yang mengajak, tahu betul kembarannya pasti lupa makan karena tidur sepanjang hari. Sekalian ingin mengadu pada ayahnya jika mobil yang mereka bawa mogok.
Sebenarnya mobil tersebut baru pertama kali mogok tadi pagi, mungkin karena kerap kali kehabisan bensin di jalan. Modus saja mengadu, padahal ingin dibelikan mobil baru. Mengaku jika mobil tersebut sering mogok lah, terlalu besar untuk dibawa ke kampus lah. Padahal jika diukur mobil berwarna silver itu jauh lebih kecil ketimbang Rubicon yang Una inginkan.
Ayah mereka pasti sudah tahu modus-modus Una, oleh karena itu juga dengan sengaja mengatakan bahwa Arjuna saja yang dibelikan. Paham sekali jika Arjuna juga akan dihujani seribu rayuan agar menuruti keinginan kembarannya perihal mobil.
"Minggu depan bisa kan pulang?" tanya Aruna tak lagi mempermasalahkan perihal mobil.
"Bisa kalo cuma lima harian, gue masih ada jatah absen sih semester ini," jelas Arjuna.
"Gak usah nyindir ya lo, mentang-mentang jatah absen gue udah abis!" seru Aruna kembali melempar tatapan tajam khas miliknya.
"Kan gue gak ngomong gitu .... " balas Arjuna santai saja.
Entah mengapa meski mereka kembar, Arjuna tergolong lebih santai dan kalem ketimbang Aruna yang terus meledak-ledak. Padahal ayah dan Buna mereka juga tak se-judes Una, entah dari manalah gen itu ia dapat.
"Eh Binar ...! Kenapa tadi gak bareng gue aja?!" seru Aruna menatap ke arah belakang tubuh Arjuna.
Arjuna yang mendengar nama itu lantas segera berbalik, memastikan sosok yang kembarannya panggil benar-benar Binar yang ia kagumi.
Bisa lelaki itu lihat, sosok semampai dengan rambut hitam legam tersenyum canggung ke arah Aruna. Bulu matanya lentik, matanya indah, kulitnya bersih terawat. Cantik.
Kalau ditanya apa hal yang membuat Arjuna suka terhadap Binar, mungkin lelaki itu tidak bisa menjawab dengan pasti. Namun, Arjuna suka cara gadis itu tersenyum, atau saat Binar menunduk malu karena ia goda dan menimbulkan semu merah di pipi cubby miliknya.
Kata Aruna, Binar merupakan gadis kelahiran Semarang. Ayahnya seorang pemilik toko emas, sedangkan ibunya punya usaha kue. Binar memiliki seorang adik perempuan yang masih menempuh pendidikan menengah pertama. Keluarga sederhana yang Arjuna yakini begitu hangat jika berada ia ditengah-tengahnya.
Sayangnya Arjuna tak mengambil jurusan yang sama dengan Binar. Gadis itu berada dalam satu prodi dengan Harsa, PGSD. Dilain sisi Arjuna sendiri bergelut dengan materi management, kala itu Yuda sampai bertanya-tanya mengapa ia memilih jurusan itu padahal akan jauh lebih baik jika ia memasuki bisnis. Hanya saja Arjuna tak bisa menjawab, sebab ayahnya yang memilih jurusan itu untuk dirinya.
"Baru liat cewek cantik ya lo?!" sergah Aruna risih melihat tatapan Arjuna disertai sikap mematungnya setelah menatap Binar.
Binar hanya tersenyum kecil, membuat Arjuna ikut menunduk malu.
"Gabung sini aja, Bin, nih masih ada kursi kosong!" tawar Aruna sambil menunjuk satu kursi di sebelahnya.
"Udah malem, gue balik aja langsung. Takut gak ada objek lagi," balas Binar tampak enggan bergabung dengan si kembar ini.
"Lah? Bareng kita aja kali, Bin, kan kita satu kos!" Aruna juga tak paham kenapa Binar memiliki rasa sungkan yang teramat sangat lebay?
Padahal mereka satu kos, ini kalau Yola atau Nasya pasti sudah sejak berangkat mereka nebeng. Aneh memang jika melihat kelakuan Binar yang diluar nalar, lebih aneh lagi kembarannya bisa tergila-gila dengan gadis polos itu.
"Iya, Bin, gak apa-apa kok kalo bareng kita," imbuh Arjuna dengan suara seratus persen berbeda dengan tadi saat berbicara dengan Aruna.
Menyadari hal itu Aruna menatap kembarannya tak suka, ia memang melarang Juna mendekati Binar, lebih tepatnya menjauhkan Binar dari sosok berbahaya seperti Juna. Aruna tak pernah yakin Binar bisa bahagia jika menjadi kekasih Juna, bisa jadi malah tersiksa karena banyak fans yang menggandrungi lelaki itu. Dia saja yang notabenenya kembaran Arjuna, kerap kali kena julid. Apalagi seorang Binar?
Sayangnya Arjuna selalu mengatakan jika Binar mau, Una tidak berhak apapun, nyatanya memang semuanya tergantung Binar.
"Tapi beneran gak apa-apa?" Kembali Binar bersuara, memastikan.
"Iya, Bin, santai aja sama kita mah!" Antusias sekali Arjuna menyadari Binar mulai luluh.
"Ya udah deh."
Binar akhirnya mengambil duduk di samping Aruna, membuka plastik berisi makanan yang sebelumnya telah ia dapat.
Sebenarnya makanan mereka sudah habis, tapi karena ada Binar, otomatis mereka harus menunggu hingga gadis itu menghabiskan makanannya. Tak menjadi masalah besar untuk Arjuna, ia senang saja jika harus menunggu sang pujaan hati.
"Bin, boleh minta nomor gak?" tanya Juna memulai percakapan.
"Apaan sih lo?!" sela Aruna yang tau jika Arjuna tengah gencar mendekati Binar.
"Apa sih? Gue kan tanya Binar bukan elu!" balas Arjuna tak mau kalah.
Kalau dipikir-pikir alasan mengapa dua tahun Arjuna selalu gagal mendekati Binar adalah Aruna, kakaknya itu selalu berhasil mencegah Binar sekedar memberikan nomor ponsel atau usaha lainnya. Sedangkan prinsip Arjuna tidak akan mau meminta nomor dari orang lain, harus orang yang bersangkutan itu yang memberinya langsung.
"B-boleh kok, Jun," ucap Binar terbata, tampak berusaha melerai pertengkaran Juna dan Una.
"Gak usah, Bin! Ngapain sih lo ngasih dia nomor lo?" larang Aruna masih berusaha.
"Udah gak apa-apa kok, Na, kalian gak usah berantem lagi."
Benar. Binar merasa tak enak karena menjadi penyebab pertengkaran Arjuna dan Aruna, padahal semua orang juga tahu kalo mereka sering bertengkar jika sedang bersama. Tak ada yang namanya Binar membuat dua manusia kembar ini bertengkar kok!
Aruna menggeleng lelah, mungkin benar kata Yola kalau ia harus membiarkan Arjuna mendekati Binar. Bisa saja suatu hari lelaki itu benar-benar berubah demi Binar kan? Lagian merupakan satu keberuntungan jika Una memiliki ipar seperti Binar yang kalem dan pemalu.
"Gue pantau ya lo anjing, awas lo!" ancam Aruna setelah Juna bertukar nomor dengan Binar.
Arjuna yang mendapat ancaman itu malah tak begitu menghiraukan, masih diselimuti rasa gembira setelah mendapatkan nomor sang pujaan hati.
"Bin, mau ikut ke Jakarta gak minggu depan?" tanya Aruna kali ini sudah dengan tatapan tidak se-menyeramkan tadi.
"Buat apa?"
"Kan lo pernah bilang pengen liat Jakarta, minggu depan gue pulang. Sekalian aja gimana?" Lagi-lagi Aruna memberi tawaran kepada Binar.
"Gak ah! Gak ada duit gue," balas Binar mulai mengerti arah bicara Una.
"Santai, biar nanti tiketnya gue yang ngurus. Lo tinggal bawa badan sama baju." Kembali Una memberi iming-iming kepada teman satu kosnya itu.
"Iya, Bin, ikut aja! Kapan lagi lo bisa ke rumah kita kan?" Gantian Arjuna yang menimpali.
Spontan saja sebenarnya, ia juga tidak tahu rencana apa yang sedang kembarannya rancang. Namun siapa sih yang tak mau membawa gadis kegemarannya untuk dikenalkan kepada keluarga. Lah?
"I-iya udah, gue mau."
####