Binar menatap Ryu sepanjang waktu menunggu keberangkatan pesawat mereka menuju Surabaya, bayi mungil itu tengah terlelap nyaman dalam dekapan neneknya. Binar, Aruna, Arjuna, kedua orang tuanya, dan jangan lupakan si kecil Ryu pagi ini dijadwalkan untuk berangkat menuju Surabaya. Sudah lima hari lamanya Binar di Jakarta, meski hanya berkunjung ke Dufan rasanya puas saja setelah melihat penampakan ibukota Indonesia ini.
Kemarin sudah mereka ketahui jika Ryu benar-benar anak Arjuna, hasil yang Dara bawa memperjelas semuanya. Oleh karena itu hari ini Ryu akan diantarkan untuk tinggal di Surabaya selama Arjuna juga di sana, seperti keputusan yang telah Ayah buat tempo hari. Entah mengapa Binar senang, pikirannya bilang jika Ryu ada di Surabaya berarti ia bisa sering melihat bayi itu. Binar juga bisa mengikuti perkembangannya.
"Iya, nanti kamu sama Lula ke kantor buat meeting." Suara ayah menginterupsi kedua anak gadisnya melalui sambungan telepon.
"Tinggal tanda tangan, Ayah udah konfirmasi ke manager kalo kalian yang handle hari ini," sambungnya sedikit terlihat gelisah.
"Cuti dulu, nanti sore Ayah sama Buna udah balik lagi."
Tak berapa lama setelahnya pengumuman keberangkatan pesawat mereka dilafalkan, Binar dengan segera mengikuti langkah Aruna mengantri memasuki pesawat. Untuk kedua kalinya Binar akan menaiki pesawat kembali, beruntung baginya karena pengalaman pertama menaiki kendaraan udara ini ia langsung mendapatkan kelas bisnis. Binar tak pilih-pilih sebenarnya, hanya saja karena semua tiket keberangkatan dan kepulangan diurusi Aruna, jadilah ia hanya pasrah.
Berbeda dengan Aruna, Arjuna, dan Binar. Ayah dan Buna sekaligus Ryu akan berada di first class, mencari tempat paling nyaman untuk bayi laki-laki itu. Selain itu juga karena tiket kelas bisnis sudah habis, kan tiga orang lainnya sudah memesan jauh-jauh hari. Sedangkan mobil baru Arjuna sudah dikirim melalui tranportasi darat, ayahnya bilang mobil itu akan sampai paling lambat esok hari.
Binar tak tau pasti kapan pesawat mulai terbang, sebab selepas bokongnya menyentuh kursi pesawat matanya lantas sayu dan tertidur pulas. Bangun-bangun Arjuna mengatakan bahwa mereka harus segera turun, agak disayangkan karena jauh dalam hati Binar ia ingin sekali melihat kumpulan awan secara langsung.
Entah mengapa untuk perjalanan pulang ini Binar merasa semuanya lebih singkat, dibanding saat berangkat beberapa hari lalu rasanya kali ini badannya juga tidak terlalu capek. Mungkin karena ia sudah hafal jalanan Surabaya, jadilah saat ia tersadar mobil mereka telah sampai di kosan milik Arjuna.
"Kamu disini dulu sama Binar, Ayah sama Buna mau cari apartemen bareng Juna," pinta Buna sambil menyerahkan Ryu kepada Aruna.
"Kenapa gak ke kosan Una aja sih, Bun?" tanya Aruna sedikit kesal mendapat kenyataan bahwa mereka harus menetap sementara waktu di kosan putra milik kembarannya.
"Kata Juna disini aja," balas Buna yang sudah melangkah memasuki mobil kembali. "Nanti tas kamu sama tas Binar kita taruh di sana, jadi kamu gak ribet buat angkat-angkat."
Disini Binar berdiri, menatap ke arah kosan yang tak jauh beda bentuknya dengan kosan miliknya. Jujur Binar tak pernah sekalipun mengijakan kakinya di kosan ini, meskipun jarak antar kosan cukup dekat tapi ia tak merasa harus berkunjung ke sini. Binar tak ada saudara atau kenalan yang tinggal disini, berbeda dengan Aruna yang harus bolak-balik menemui Arjuna.
"Masuk aja ke kamar gue kalo capek," ucap Arjuna setelah selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar.
"Gak usah, kita di sini aja," tolak Binar halus, ia sungkan kalau harus memasuki kamar pria.
Seiring dengan kepergian mobil yang mereka tumpangi tadi, Yuda dan Bima datang sambil menatap aneh ke arah bayi yang Aruna gendong.
"Na, bayi siapa itu? Adik lo ya?" tanya Yuda mengambil duduk di samping Aruna.
"Bukan, ponakan gue nih!" balas Aruna acuh tak acuh.
"Lho Kak Dara udah nikah? Apa Kak Lula?" Kembali Yuda mencoba mengulik informasi yang ia tak ketahui pasti.
"Juna, ini anak Juna."
"Anjing!"
"Huss!"
Binar, Aruna, dan Bima kompak melotot ke arah Yuda yang secara spontan mengumpat. Seperti tak tahu tempat saja, kan ada bayi yang terlelap diantara mereka.
"Si Juna katanya mau gak dapet-dapet deketin Binar, sekalinya dapet kok langsung punya bayi sih?!" Bima yang sedari tadi diam akhirnya mengutarakan isi otaknya.
"Bukan anak gue," balas Binar, "ini anak Juna, tapi bukan anak gue."
"Terus emaknya siapa??"
Kompak Aruna dan Binar menggeleng, mereka memang tak tahu siapa gerangan sosok ibu dari Ryu. Bayi lucu ini secara tiba-tiba ditemukan Buna saat membuka pintu, pekerja dan satpam saja mengaku tidak tahu siapa yang menaruhnya di depan pintu. Aneh, tapi sedikit masuk akal karena kala itu satpam rumah sedang berada di dapur.
"Ryu tiba-tiba ada di depan rumah, terus ada surat yang bilang dia anak Juna," kata Aruna mulai serius menanggapi dua lelaki di sampingnya.
"Lah kok kalian percaya gitu aja sih, siapa tahu itu orang yang emang gak mau ngerawat bayi ini."
"Kita udah tes DNA, Yud, emang ini anak Juna."
"Kapan buatnya? Tiba-tiba udah lahir aja!"
"Tau dah, tanya aja si Juna!"
Tak beberapa lama mata Binar menangkap atensi tiga orang yang menuruni tangga melangkah menuju tempat mereka berbicara, mungkin keberadaan keempat orang dengan satu bayi ini menarik rasa penasaran mereka.
"Liat dong wajahnya, penasaran gue!" Yuda mencoba melihat wajah Ryu dengan menggeserkan badan.
"Nih gendong aja!" Aruna menyerahkan Ryu kepada Yuda. "Ati-ati masih tiga bulan."
"Anak siapa, Yud??" tegur Nala ikut nimbrung bersama tiga orang lainnya.
"Anak si Juna."
"Hah?!"
Sudah Binar duga reaksi mereka akan seheboh ini, lihatlah tiga orang itu yang baru datang langsung mengerumuni Yuda yang tengah mengendong Ryu. Agak mengkhawatirkan ya melihat pria seperti mereka membawa bayi, Binar ngeri sendiri.
Bisa Binar dengar jika Yuda menjelaskan perihal Ryu yang telah Aruna katakan sebelumnya, terdengar ricuh sekali tanggapan mereka, takut-takut membangunkan Ryu yang masih terlelap dalam dekapan Yuda.
"Na, bukannya di rumah elo ada CCTV ya?" tanya Yuda mengalihkan pandangannya kepada Aruna.
"Lah iya .... " Aruna tampak baru tersadar. "Tau deh udah di Surabaya ini, males kalo balik lagi ke Jakarta," imbuhnya.
"Ganteng ya anaknya Juna."
"Junanya aja ganteng!"
"Ya, bibitnya gak usah diragukan lagi."
"Namanya siapa, Na? Masa Ryu doang?" Kembali Yuda bertanya kearah Aruna.
"Aksara Adinata Nugraha."
"Jauh amat nama panjangnya dari nama panggilannya," protes Harsa.
"Emaknya mau dia dipanggil Ryu."
"Oh .... "
Mungkin karena lelah dan risih dikerumuni orang-orang akhirnya Ryu menangis juga, meraung keras seolah meminta pertolongan dari dua orang perempuan yang memangku ia sebelumnya.
"Bin, tolong, Bin. Gue capek banget masa?" ujar Aruna memohon bantuan Binar.
"Emang ngapain sih? Orang duduk doang juga." Meskipun mengeluh Binar tetap beranjak mengambil alih Ryu dari gendongan Yuda.
"Mau s**u gak? Gue buatin deh," kata Aruna menawarkan.
"Iya buatin, masih ada air anget gak?" tanggap Binar yang merasa jika Ryu mulai mencari-cari botol s**u.
Lima orang lelaki yang sebelumnya sangat riuh kini terdiam, terpaku melihat dua orang perempuan yang sedang kewalahan menangani tangis bayi yang baru mereka ketahui sebagai anak dari teman satu kost mereka. Masih tak menyangka jika kawannya yang tiap jum'at malam tak pernah terlihat batang hidungnya itu sudah menyandang gelar sebagai ayah.
"Bin, pup ya?" tanya Una yang tak melihat progres tangis Ryu mereda.
"Iya kayaknya, Na," balas Binar yang merasakan hal sama seperti temannya.
"Kalian ada tisu basah gak?" tanya Aruna pada kelima lelaki di sebelahnya.
"Enggak, emang buat apa?"
"Ya udah, tolong siapin ini dong ... Air ditaruh di bak gitu."
"Buat apa sih?"
"Buat nyebokin Ryu!"
Kelimanya terdiam, menatap satu sama lain seolah tengah berbicara lewat telepati. Aruna yang sudah risih karena kelambanan mereka membuat tangis Ryu semakin menjadi akhirnya berteriak.
"Ada gak? Pastinya adalah! Masa kalian mandi pake debu? Tayamum kali!"
####