Untuk pertama kalinya bagi Binar memasuki Dunia Fantasi dengan berbagai wahana mengasyikkan di sana, Aruna sih pasti sudah sering, apalagi ia berdomisili di Jakarta. Meskipun ini baru pertama kali Binar memasuki taman bermain ini, ia tetap akan menolak ajakan Aruna untuk menjajal wahan berbau horor. Lebih baik ia berteriak sampai pingsan gara-gara menaiki tornado ketimbang pingsan gara-gara melihat hantu. Katakan saja Binar penakut, ia tak akan tersinggung kok, memang keberaniannya setipis tisu.
Alhasil mereka benar-benar hanya menaiki wahana-wahana selain wahana berbau horor, beruntung Buna sudah mewanti-wanti agar mereka membawa bau ganti. Ya pastinya mereka basah kuyup karena beberapa wahana air.
Supir yang mengantar mereka Aruna suruh pulang terlebih dahulu, nanti kalo sudah pulang ia berjanji akan menghubunginya lagi. Kata Aruna tak enak saja melihat pak supir menunggu seharian di parkiran sedangkan mereka bersenang-senang di dalam sini. Itu juga yang menjadi alasan mengapa Aruna keberatan membawa supir kemari.
Tak terhitung sudah berapa wahana yang mereka coba, hanya saja tenaga Aruna dan Binar masih cukup banyak untuk terus berkeliling lagi dan lagi. Sangking senangnya mereka, mungkin tugas-tugas atau laprak yang menanti untuk dikerjakan telah terlupakan. Padahal sebelum Binar sedikit keberatan ikut serta ke Jakarta karena memikirkan perihal tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
"Bin, istirahat dulu yuk! Gue laper anjir .... " ajak Aruna yang sudah kelelahan.
Benar, jam sudah menunjuk angka tiga. Tak terasa mereka sudah menghabiskan waktu seharian mengelilinginya Dufan demi menjajal berbagai wahana yang disediakan.
"Udah jam tiga, Na! Gak kerasa ya!" ucap Binar sambil melihat ke arah jam tangannya.
"Makan yuk! Abis itu kita pulang." Aruna berkata demikian sambil menarik Binar mendekati food court yang tersedia.
Sesampainya mereka di tempat yang Aruna tuju, mata Binar terbelalak kaget menyadari harga makanan yang disediakan di food court tersebut. Agak ngeri Binar, satu porsi makanan disini bisa ia gunakan untuk tiga kali beli makanan di Surabaya.
"Anjir, Na! Mending beli nasi pecel depan kos dah kalo gini!" gumam Binar berusaha tak begitu keras agar tidak dapat di dengar orang lain.
"Jangan lo bandingin lah, Bin! Jelas-jelas UMR sini beda sama di Surabaya!" balas Aruna sedikit kesal.
"Ya gak gitu, Na, mending kita makan di rumah aja deh! Gak mampu gue beli makanan disini!" rayu Binar agar Aruna mau berubah pikiran.
"Gue teraktir! Keburu pingsan gue nunggu makan di rumah!"
Berakhir Binar yang pasrah saja duduk di meja salah satu food court, ia bahkan tak mau memilih menu, membiarkan Aruna memesankan untuk dirinya. Meskipun Binar merupakan anak pemilik toko emas, kehidupan yang ia jalani bisa dibilang sederhana. Orang tuanya memang mendidik ia dan adiknya agar tak begitu tergantung dengan harta yang orang tuanya miliki, agar nanti jika terjadi hal tak diinginkan mereka masih bisa bertahan untuk kembali bangkit.
Sangat berbeda dengan Aruna yang sedari kecil pasti dapat memiliki apa yang diinginkan secara mudah, bahkan mungkin ketika bisnis ayahnya oleng masih ada saham-saham bertebaran yang dimiliki untuk menunjang kehidupan Aruna. Kehidupannya terjamin.
"Makan, Bin! Gak bakal habis itu makanan kalo cuma lo liatin terus!" tegur Aruna yang risih melihat Binar terus-menerus melamun.
"Ini makanan seharga biaya hidup gue seminggu di Surabaya, Na!" balas Binar bergumam lirih.
"Gak usah lebay deh lo! Lo makan sehari di Surabaya juga habis segitu!" sanggah Aruna yang tentunya tau persis biaya hidup di Surabaya.
"Ya berarti ini seharga tiga kali makan gue di Surabaya!"
"Terserah lo dah!"
Sementara di bagian Jakarta lainnya, Arjuna tengah dirundung rasa bingung berhadapan dengan beberapa mobil mewah. Ayahnya tidak bisa membantu, sebab pria paruh baya itu tengah sibuk berbincang-bincang dengan pemilik dealer.
Seingat Arjuna, kembarannya mau ia memilih mobil jenis Rubicon. Sayangnya, meskipun Arjuna tau jenis mobil itu, ia tidak bisa membandingkan kualitas mesin mobil. Ya tentunya ia tak akan asal pilih mobil kan? Dirinya juga harus mempertimbangkan kualitas, kapasitas, dan beberapa hal lainnya.
Arjuna tak memiliki minat dengan mobil, itulah mengapa dirinya tidak memiliki mobil pribadi. Sebaliknya Arjuna malah lebih menyukai motor, ada tiga moge yang terparkir rapi di garasi rumah. Sungguh sangat disayangkan Arjuna tidak mendapatkan izin dari sang ayah untuk membantu motor tersebut ke Surabaya, katanya sih berbahaya. Padahal Arjuna juga tau jika ayahnya juga ingin mengendarai motor itu saat ia tak ada di rumah.
"Jadi yang mana, Dik? Kamu dari tadi berdiri disini gak dapet-dapet mobil yang dipinginin," tegur Artha yang sudah menyelesaikan perbincangannya dengan pemilik showroom, Anton suami Flora.
"Gak tau deh, Yah! Pokonya Rubicon gitu aja deh!" balas Arjuna yang sudah frustasi, bagaimana tidak? Ia bahkan telah satu jam lamanya berdiri menatap tiap mobil di depannya.
"Kenapa Rubicon?" tanya Artha, bukannya kenapa, sang ayah hanya penasaran mengapa bungsunya ini begitu ngotot meminta mobil jenis itu.
"Una minta itu, ya Juna mah nurut aja. Kata dia bagus," jawab Arjuna tanpa menutupi alasan mengapa dirinya ingin mobil yang ia sebut sebelumnya.
"Yeuh ... Kamu mah dari dulu nurut banget sama Aruna!" ejek Artha memilih berlalu meninggalkan tempat Arjuna berdiri. "Mending Fortuner deh, Dik, ada yang baru rilis nih!" imbuh Artha lagi masih tetap berjalan lurus meninggalkan Arjuna.
"Iya, lebih murah dikit ketimbang Rubicon. Gimana?" Kali ini Artha berbalik, menunggu persetujuan dari si bungsu.
"Ya udah deh itu aja, warna item ya, Yah ...?" putus Arjuna akhirnya, terlalu lelah jika harus kembali berpikir perihal jenis mobil mana yang akan ia ambil.
"Okey!"
Ayahnya berjalan kembali ke arah Anton, berbicara sekilas lantas melambaikan tangan kepada Arjuna, kode agar pria itu mau anaknya mengikuti langkahnya. Arjuna berjalan di belakang, sedangkan ayahnya dan pemilik dealer masih terus mengobrol persis di depannya.
"Ini gak boleh ditawar?"
"Mau nawar berapa sih, Tha?"
"Turunin seratus deh, gue ambil dua kalo gitu!"
"Seratus ribu?"
"Juta."
"Beli satu aja deh kalo gitu hahahaha ... "
Begitulah percakapan yang samar-samar Arjuna dengar, hingga mereka sampai pada kantor kasir dealer tersebut. Artha langsung disuguhi sebuah map berisi surat yang harus ia tanda tangani sebagai persetujuan jual-beli antara kedua belah pihak. Selepas membaca Arjuna dapat melihat ayahnya mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam tertera nama salah satu Bank terbesar di Indonesia.
Hanya butuh waktu lima menit transaksi berhasil, dibarengi dengan selesainya ayahnya menandatangani surat perjanjian tersebut. Arjuna hanya diam, tapi matanya terus berputar melihat pergerakan tiga orang di hadapannya.
Bisa dibilang ini pertama kalinya Arjuna melihat Artha melakukan transaksi untuk membeli mobil, sebab tiga motornya ia secara pribadi, hanya saja untuk perawatan motor saat ia di Surabaya semuanya di handle oleh ayahnya. Ya lebih baik seperti itu agar motornya tetap terjaga, meskipun disisi lain ia juga harus rela motor itu digunakan oleh Ayah.
"Nanti diusahain sebelum malem udah sampe rumah ya? Alamatnya kayak biasanya kan?" tanya Anton sng pemilik showroom.
Artha mengangguk, lantas berjalan keluar showroom diikuti oleh Arjuna dan pemilik dealer. Map yang tadi telah dibaca dan ditandatangani oleh Ayah diserahkan kepada Arjuna.
"Salam buat Flora ya, Ton," ujar Artha untuk terakhir kali sebelum memasuki mobil.
"Salam juga buat Gladis ya," balas pria tersebut sambil melambaikan tangan melepaskan kepergian Arjuna dan ayahnya.
Perhatian Arjuna kini beralih kepada surat yang telah ayahnya tanda tangani, meneliti berapa nominal yang telah ayahnya keluarkan demi mobil baru yang akan ia bawa ke Surabaya. Tiga digit, lebih mahal ketimbang mobil kakak-kakaknya.
"Kita jemput Aruna sama Binar ya? Atau biar dijemput sopir aja?" kata Artha meminta pendapat dari si bungsu.
"Jemput aja deh, Yah, lagian ini udah deket Dufan," balas Arjuna seadanya.
"Mentang-mentang ada gebetan, semangat kamu, Dik!"
Arjuna hanya cengengesan.
####