Selembar foto USG terjatuh dihadapannya, aku terlambat untuk memungutnya kembali. Laki-laki yang merupakan ayah dar iJanin yang sudah hampir berbentuk sempurna itu lebih dulu memungutnya. Aku menghela nafas dan menggigit bibir bawahku. Dengan sopan, ku minta kembali foto itu darinya. Dimas yang sudah tahu cerita hidupku melempar pandangan.
" Boleh saya minta kembali pak itu " tunjukku pada lembar USG yang di pegangnya. Aku melihat dia membuka kacamata dan menyeka ujung matanya dan berusaha tersenyum. Ia mencari fokus mataku, tapi segera aku alihkan. Apa aku salah menilai ? tatapan itu seperti tatapan rasa bersalah. Ah..mungkin hanya perasaanku saja. Sejak dulu, ia memang tidak menginginkan bayi yang ada dalam rahimku, jangankan bayi itu. Telah menyentuhku saja, ia mengutukku habis habisan, bahkan sampai menuduhku telah mencampuri minumannya dengan sesuatu yang membuatnya bisa lupa diri.
Ia memberikan kembali foto USG di tangannya ke tanganku, aku melihat jemarinya bergetar. Ia membelakangi aku dan Dimas sesaat. Aku pun minta izin untuk pergi ke toilet. Gemuruh hati yang sejak bertemu pertama kali sudah tak dapat ku tahan. Air mata itu tak bisa ku bendung lagi, apalagi saat dia melihat foto bayinya yang sudah lama ingin ku tunjukan tapi tak pernah ia mau melihatnya.
Aku menangis di Toilet. Aku menyadarkan diriku, bahwa apa yang menjadi luka hatiku sudah menjadi masa lalu. Sekarang dia bukan siapa siapa lagi bagiku. Aku harus profesional seperti kata Dimas. Aku keluar dari toilet setelah membasuh mukaku dan menunjukkan raut biasa.
Aku mengetuk pintu, suara Dimas yang memintaku masuk. Aku tak melihat kehadirannya lagi.
" Kemana dia Dim.." tanyaku sambil duduk kembali, rekan kerjaku itu menghela nafas. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi urung.
" In..., dia ingin bicara denganmu soal..." Dimas memotong kalimatnya. Wajahku langsung berubah tegang.
" Kamu jangan marah dulu, aku tahu ini berat untuk kamu tapi..."
" Antara aku dan dia sudah tidak apa apa lagi dan aku sudah memaafkan yang terjadi Dim...aku disini hanya ingin bekerja, apa yang dia lihat tadi bukan sengaja kulakukan, bukan untuk menyindirnya "
Dimas mengangguk angguk. Seorang OB masuk.
" Mari pak ikut saya " pinta OB itu, tanpa bertanya aku sudah tahu ruangan apa yang dimaksud OB kurus tinggi itu.
Kami ditunjukan ruangan, tempat kami bekerja nanti. Aku mengeluarkan kameraku dan memotret ruangan yang bernuansa biru itu, aku tahu itu adalah warna kesukaannya. Aku tertegun dengan lukisan bunga yang terpajang di dinding. Ku dekati lukisan itu, merabanya sesaat. Ini adalah lukisan yang dulu pernah ia buang karena aku sudah menggagalkan kencannya karena aku terlalu polos mengatakan kemana ia pergi pada ibu mertuaku.
Aku masih ingat saat dia merebut kuas di tanganku, mengambil paksa kanvas yang telah berisi lukisan bunga Lili. Aku menangis memintanya mengembalikan lukisan itu. Tapi ia bersikeras kalau lukisan itu sudah ia buang.
" Kalau ada yang kurang, tolong sampaikan saja pada sekretaris saya " ucap suara yang amat ku kenal, nada yang selalu ketus untukkku kala itu. Kali ini nada itu tak menandakan kalau ia adalah seorang atasan tertinggi di perusahaan itu.
Aku menoleh pada Dimas yang sedang mengendarkan pandangan.
" Aku rasa sudah cukup Dim " ucapku. Dimas mengangguk angguk.
" Cukup pak Darren, ini sangat mewah " ujar Dimas, ia mengeluarkan laptopnya. Aku pun melakukan hal yang sama. Laki laki itu menaikkan kaca matanya. Memperhatikan kami bekerja.
" Bu Intan butuh camilan ? nanti saya minta OB membawakannya " Aku tertegun dengan ucapan yang begitu lembut itu. Seratus delapan puluh derjat berbeda dengan nada suaranya selama dua tahun bersamaku.
" Terima kasih pak Darren , Air mineral ini sudah cukup " jawabku sambil tersenyum.
Ia terlihat menggenggam kedua tangannya. Sesaat ku perhatikan tangannya. Di salah satu jari melingkar sebuah cincin. Mungkin dia bersikap seperti itu karna dia sudah bahagia bersama kekasih yang sejak dulu ingin dinikahinya tapi terhalang restu dan ambisi sang kekasih.
" Kalau begitu, saya permisi dulu. Silahkan bekerja, Besok saya ingin melihat rangkaian story boardnya " Mata laki-laki itu kembali mencari fokus mataku, tapi selalu aku tundukkan dan tak ingin membalasnya. Ia belum beranjak, darahku berdesir, dulu semarah apapun dia padaku, hatiku tetap mengagumi sepasang bola matanya. Dulu, aku ingin melihat tatapan teduhnya. Sekarang aku bisa merasakan tatapan itu tak segarang dulu. Tapi tak ada lagi gunanya padaku, mungkin dia bersikap seperti itu karna kami mitra kerjanya.
" Baik pak Darren " tanggap Dimas. Ia meninggalkan kami, aku menatapnya punggungnya sesaaat, tak ku duga ia menoleh hingga tatapan kami bertemu.Segera ku tundukkan kepalaku, terpekur menatap layar laptop.
" In..." Panggil Dimas, aku mendengar tapi tak kuindahkan, aku ingin menetralisir perasaanku. Tatapan itu seakan berkata,' aku ingin bicara denganmu ' tapi tidak mungkin, jelas sekali ia begitu marah saat meninggalkanku di sebuah gudang. Seandainya pak Wisnu tak menemukanku setelah tiga hari terkurung. Entahlah akan seperti apa nasibku.
" In..kamu melamun ? " tanya Dimas melambaikan tangannya di kedua mataku. Ia menghela nafas, Dimas, saudara sepupuku yang menjadi saksi saat aku bertahan hidup dari krisis mental yang kurasakan saat tahu bayiku tidak bisa diselamatkan. Selama tiga tahun aku mencoba bangkit. Surat cerai yang dikirimkan keluarganya membuat aku begitu hancur. Saat itu aku begitu mencintainya. Aku tidak ingin berpisah darinya meski sikapnya begitu dingin padaku. Aku masih ingin berjuang agar dia mencintaiku.
" Nggak, aku hanya kepikiran Kevin. Mungkin sekarang dia sudah sekolah, dulu dia selalu ingin aku mengantarnya sekolah, aku kangen anak itu " lirihku sambil menatap jendela.
" Mungkin kita bisa tanyakan padanya, apa boleh kamu bertemu anakmu "
" Dia melarangku bertemu Kevin, dia bilang aku bukan ibunya, memang bukan aku yang melahirkan anak itu tapi aku yang mengasuhnya sejak bayi " aku kembali menatap langit yang terlihat dari dinding kaca di ruangan itu.
Tak lama aku dan Dimas kembali bekerja. Aku pergi ke pantry membuat segelas kopi.
" Bu Intan ! " seru seseorang, aku menoleh pada suara yang dikenali telingaku. Suara yang telah menjadi malaikat penyelamatku.
" Pak Wisnu, apa kabar ? " sambutku senang. Aku menyalaminya. Ia melihatku dari ujung kaki hingga rambut.
" Bu Intan makin cantik " pujinya membuatku tersipu, ketika aku ingin menanyakan sesuatu dering hp menjeda percakapan telpon. Panggilan itu membuatnya terburu buru pergi.
" Nanti, kita bicara lagi ya bu Intan. Pak Darren minta diantarkan rumah sakit " ucap Pak Wisnu sebelum pergi. Aku mengangguk dan melambaikan tangan. Ketika ingin kembali ke ruang kerjaku, aku kembali melihat laki-laki yang dulu sangat aku kagumi. Ia menatapku tapi aku hanya tertunduk. Ia tampak menunggu pak Wisnu, sopir pribadi CEO tampan itu. Rumah sakit, ah..mungkin istrinya sudah melahirkan.
" Sudahlah Intan, dia sudah milik orang lain " jerit hatiku yang menolak rasa rindu yang tiba-tiba menguar dalam d**a.