Perkataan Bagas membuat suasana makan itu menjadi hening untuk sementara waktu. Rianti pun menatap kesal. Ia menganggap Bagas sudah merusak suasana hangat yang tadi sudah tercipta. Rianti menatapnya lekat-lekat. Berpikir bahwa Bagas masih menyimpan dendam dan rasa sakit hati hingga bersikap kekanak-kanak-an seperti itu.
“Lo kaku amat sih, Gas! Emang lo pikir kita lagi makan sama kementerian apa?” tegur Rianti.
Deg.
Bagas malah terkejut. Sendok di genggamannya bahkan jatuh ke piring.
Dion pun menatap heran. “Kenapa dia terkejut seperti itu?” batinnya.
Bagas tentu terkejut saat mendengar kata kementerian. Apa jangan-jangan Rianti tahu siapa dia sebenarnya?
Tidak. Itu tidak mungkin karena Bagas sudah menyembunyikan identitas dan latar belakangnya dengan sangat rapi dan sempurna.
“Ngerusak suasana aja lo, ah!” bentak Rianti lagi yang masih tidak puas hati.
Bagas tidak merespon apa-apa dan tetap memaksakan diri untuk menyuap makanannya. Dina yang duduk di sampingnya pun juga bingung harus berbuat apa. Jika ia menyambung perkataan Rianti, bisa-bisa Bagas nanti berpikir bahwa dia memihak pada Dion. Hubungan mereka baru saja membaik dan Dina tidak ingin merusaknya. Dan jika Dina terang-terangan membela Bagas, maka kemungkinan besar Rianti-lah yang akan merajuk padanya.
Bak makan buah simalakama.
Dina akan jadi serba salah jika dia turut bersuara.
“Hmmm… kalo ada lalapan mentah seperti kol dan mentimun enak nih, Buk.” Dion kembali bersuara.
Semua orang langsung menatapnya. Ternyata perkataan Bagas tidak menghentikan Dion sama sekali.
“Kamu suka lalapan seperti itu?” tanya ibu Rianti.
Dion mengangguk. “Soalnya ini sambal terasinya beneran enak, Buk. Rasanya awur-awuran parah… top cer deh pokoknya.”
Ibu Rianti tertawa, lalu bangun dari duduknya. “Sebentar ya!”
“Hehe. Iya, Buk.” Dion menyeringai.
Bagas pun melirik Dion sesaat. Merasa kesal karena lelaki itu kembali cari perhatian pada ibu Rianti dengahn mulut besarnya.
Tak lama kemudian ibu Rianti kembali muncul membawa dua piring di tangannya. Satu berisi kol putih yang sudah dicuci bersih. Satu lagi berisi potongan timun.
“Ibuk pikir tadi kalian ndak akan suka, makanya ndak ibuk suguhkan,” tukas sang ibuk.
Dion menatap senang. “Seru, nih, Buk!”
Dion langsung mengambil lalapan itu, mencocolnya dengan sambal terasi, lalu menyantapnya. Suara kunyahannya pun terdengar jelas.
“Emmm… sempurna,” ucapnya lagi.
Tingkah Dion itu jelas membuat ibu Rianti tertawa senang. “Ya ampun. Ibuk ndak menyangka kalau kamu suka masakan sederhana seperti ini.”
Bagas pun hanya bisa menatap sinis dan berpura-pura tetap tenang, meskipun dalam hati ia mulai mengumpat pada Dion.
Dina kemudian juga mengambil lalapan itu dan juga menambah sambal terasi ke piringnya. Pun demikian dengan Rianti dan sang ibu. Semua orang kini berpacu-pacu makan dengan sambal terasi kecuali Bagas.
Bagas melirik ke piring semua orang. Hanya dirinya saja yang berbeda. Bagas masih bertahan dengan satu lauk yang sudah mengecil di piringnya. Yaitu telur dadar. Dion bahkan tidak malu-malu menambah nasi ke piringnya. Dia makan sampai berkeringat karena pedas, tapi ia juga tidak mau berhenti dari kenikmatan itu.
Bagas mulai merasa tidak enak. Dia kini agak takut dianggap tidak menghargai masakan ibunya Rianti. Bagas menatap Dina, lalu berbisik pelan.
“A-aku mau coba sambal terasinya….”
Dina menoleh. “Apa?”
Semua orang kini menatap pada Bagas.
“Aku mau coba sambalnya,” tukas Bagas lagi.
Dina langsung mengambilkan satu sendok sambal. Ia juga mengambilkan lalapan sebagai pelengkap.
Dion pun tergelak pelan. Tapi dengan cepat mengkondisikan raut mukanya.
Bagas menatap sambal yang terlihat lembek itu. Sungguh ia tidak menyukai bentuknya. Sialnya lagi, Rianti dan ibunya kini memandangnya. Seakan menanti Bagas untuk mencicipi sambal itu.
Bagas meneguk ludah, lalu kemudian mencobanya. Dia mencocol kol ke sambal, lalu meletakkan di atas nasi dan menyuapnya. Semua orang pun menanti reaksi Bagas.
Deg.
Bagas terkejut. Ia nyaris memuntahkannya. Rasanya terlalu kuat untuk Bagas. Aroma terasi yang menguar menyiksa hidungnya. Tapi kemudian Bagas memaksakan dirinya untuk mengunyah dan menelan.
“Bagaimana? Enak, kan?” tanya sang ibu.
Bagas mengangguk. Tapi wajahnya kini tampak merah padam. Rasa pedas itu tertinggal di lidahnya.
Dion lagi-lagi tersenyum. Ia pun kini menyadari satu hal dari semua sikap Bagas hari ini. Sepertinya Bagas memang berasal dari keluarga berada. Hal itu terlihat jelas dari semua tindak tanduknya. Dion jadi semakin penasaran. Dia ingin tahu siapa Bagas sebenarnya. Lebih jauh lagi, Dion masih ingin mengungkapkan semua kebenaran tentang Lani.
Dion mengangguk samar. Dia harus mengganti strategi.
“Oh iya. Gimana perkembangan klub Garuda?” tanya Dion kemudian. Nadanya terdengar ramah dan bersahabat.
Bagas sedikit terkejut dan tidak menyangka Dion akan memulai percakapan dengannya.
“Ehm… semua pemain sudah mulai latihan intens akhir-akhir ini. Lo sendiri gimana? Bukannya lo pengen masuk lewat klub lain?” tanya Bagas.
Dion tersenyum, lalu menggeleng. “Gue nggak masuk ke tim lain. Satu-satunya tujuan gue waktu itu cuma klub Garuda.”
Jawaban Dion membuat Bagas tertegun. Sebenarnya Bagas menyadari satu hal. Kegagalan Dion masuk ke dalam klub juga membuatnya kehilangan rekan yang mumpuni. Bagas bahkan tidak menemukan sosok pengganti Dion di dalam tim. Bagas harus mengakui bahwa Dion sangat cerdas dalam permainannya dan memang bisa diandalkan. Dion adalah rekan duet dalam menyerang yang bisa diandalkan.
Ibarat kata, Bagas seperti kehilangan salah satu kakinya saat tidak bersama Dion.
Alangkah baiknya jika mereka menjadi partner. Tim Garuda bisa dipastikan akan semakin kuat jika Dion bergabung bersama mereka.
“Lalu apa sekarang lo memutuskan untuk gantung sepatu?” tanya Bagas lagi.
Rianti melirik Dion. “Apa maksudnya gantung sepatu?”
Dion tersenyum lalu menjelaskan. “Itu adalah istilah saat seseorang berhenti sebagai pemain bola.”
Setelahnya Dion menatap Bagas lagi, lalu tersenyum. “Untuk saat ini sepertinya begitu. Oh iya … kapan jadwal pertandingannya? Gue akan datang untuk menonton.”
Bagas berdehem lagi. “Nanti akan gue kabarin, kalo sudah keluar jadwalnya.”
Dina dan Rianti pun saling pandang, lalu sama-sama tersenyum. Kedua gadis itu merasa lega melihat Dion dan Bagas yang sudah berdamai.
Ibu Rianti pun kini hanya menyimak percakapan anak muda itu. Tak lama kemudian . ia bangun dari duduknya. Membuat mata semua orang memandang kepadanya. “Ibuk permisi dulu, ya… mau ke rumah tetangga sebentar. Ada urusan.”
Ibu Rianti kemudian melangkah pergi. Seakan sengaja untuk memberikan waktu kepada para anak muda itu agar bisa mengobrol dengan leluasa.
“Nah, gini kan enak… masa iya cowok berantemnya lama-lama,” sergah Rianti kemudian.
Dion tersenyum.
Sudut bibir Bagas juga sedikit terangkat.
“By the way kalian tadi ke mana?” tanya Rianti.
Dina menatapnya. “Aku cuma nemenin Bagas latihan, habis itu kita jalan-jalan sebentar.”
“Dan lo dibeliin sepatu ama tas baru yakan?” Rianti menyeringai.
“Kok kamu tau?” Dina melotot.
“Ya taulah… sepatu lo mengkilat dan baru. Terus kantong yang lo bawa itu juga jelas isinya tas. Dalam rangka apa nih?” tanya Rianti lagi.
“Nggak dalam rangka apa-apa kok. Aku hanya ingin membelikan Dina sesuatu yang berguna.” kali ini Bagas yang menjawab.
Dion pun menyimak pembicaraan itu. Tapi tatapan matanya terus saja melirik Dina yang kini tersenyum. Dia jadi teringat pada perkataan Rianti yang menyebutkan bahwa Dina memang menjadikan Bagas sebagai ATM berjalannya. Bahwa satu-satunya alasan Dina bertahan dengan Bagas adalah karena Bagas yang loyal dan selalu memberikan Dina uang.
“Kalian sendiri dari mana aja?” Dina balik bertanya.
Rianti menatap Dion sebentar. “Kita cuma sepedaan kayak biasanya.”
“Abis itu makan bakso, jalan di taman dan foto-foto.” Dion melanjutkan dengan senyum merekah.
Rianti terpana. Dia kemudian tersenyum malu karena Dion menjelaskan se-detail itu. Dion pun juga menatap Rianti dengan tatapan yang lembut. Terlihat seperti tatapan seorang lelaki yang sedang dimabuk cinta.
“Ke depannya kita juga akan sering keluar untuk agenda pemotretan ala-ala. Gue udah ngejadiin Rianti sebagai model untuk hobi gue itu,” ucap Dion lagi.
Rianti semakin bersemu merah pipinya. Suasana di antar mereka berempat pun mulai mencair lagi. Bagas melihat dan menilai bahwa sepertinya Dion benar-benar sudah jatuh hati pada Ranti dan hal itu membuat rasa khawatirnya memudar. Dia tidak lagi menganggap Dion sebagai ancaman. Dia tidak lagi berpikir bahwa Dion akan menjadi orang ketiga yang hendak merusak hubungannnya.
Mereka kemudian saling mengejek dan juga saling menertawai satu sama lain.
Suara gelak tawa kini terdengar bersahutan. Sekelompok anak muda itu kini bersenang-senang di meja makan nan mungil itu. Hingga tanpa mereka sadari, langit di luar sana pun sudah sepenuhnya menggelap. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rianti dan Dina sama-sama mengantar kedua lelaki itu ke depan.
“Aku pulang dulu, ya! Besok pagi aku bakal jemput kamu ke sekolah,” pungkas Bagas pada kekasihnya Dina.
Dina mengangguk. “Hati-hati di jalan ya.”
Bagas beralih menatap Rianti dan Dion sebentar. “Gue cabut duluan, ya.”
“Oke!” jawab Rianti.
Dion hanya mengangguk. Setelah itu Bagas pun melaju pergi dengan motornya.
Sekarang giliran Dion yang berpamitan. Dia sudah memasang helm dan memegangi sepeda di sampingnya.
“Gue pulang dulu ya. Sampai ketemu lagi,” ucap Dion pada Rianti.
Rianti tersenyum. “Kabarin kalo lo udah nyampe rumah.”
“Iya. Nanti gue kabarin.”
Setelah itu Dion beralih menatap Dina dan hanya tersenyum tipis seraya sedikit menundukkan kepala. Dina pun juga hanya membalasnya dengan tersenyum canggung.
Dion mengayuh sepedanya pergi.
Dan setelah merasa yakin bahwa Dion sudah jauh, Rianti langsung memekik dan memeluk Dina.
“AAAA….!!!!”
Dina tercekik dan juga tertawa. “Kamu kenapa, ha?”
“Dina! Sumpah demi apa pun. Hari ini gue bahagia banget, Din. Gue SANGAT BAHAGIAAAA!” meskipun suasananya temaram, tapi Dina bisa melihat dengan jelas kedua manik mata Rianti yang kini berbinar senang.
Dina tersenyum. “Syukurlah… aku turut senang melihat kamu bahagia.”
Rianti mengangguk, lalu melonjak-lonjak lagi. “Gue semakin yakin kalo Dion beneran suka sama gue. Iya, kan? Lo juga mikir hal yang sama kan?”
Dina tertawa, lalu kemudian mengangguk. “Iya-iya… sepertinya dia memang sangat menyukai kamu….”