33. Apa Itu Bahagia?

2507 Words
Sebelum tidur, lagi-lagi ibu Rianti sibuk mondar mandir membawakan tambahan kasur, bantal dan juga selimut. Semua perlakuan Rianti dan ibunya benar-benar membuat Dina merasa tidak enak. “Nah, kalian jangan begadang pula! Jangan asyik bergosip. Ntar besok malah telat ke sekolahnya,” ingat sang ibuk. Rianti berdecak. “Ibuk tiba-tiba bawel deh.” Sang ibuk mencebik, lalu keluar dari kamar putrinya itu. Sekarang kasur di kamar Rianti jadi lebih luas. Mereka berdua langsung berbaring di sana. “Waah. Udah lama juga ya, kita nggak nginep bareng,” ujar Rianti sambil menarik selimut dan melepaskan jepitan di rambutnya. Dina mengangguk. “Iya. Terakhir aku menginap di sini ketika malam tahun baru kemarin.” “Oh iya. Gue inget. Malam itu kita keluar, tapi pas pulang nggak ada siapa-siapa di rumah lo kan. Lo kekunci di luar dan ternyata nyokap lo staycation di hotel menikmati tahun baru.” Dina tersenyum lemah mengingat kejadian itu. “Iya. Kamu benar.” “Jadi sekarang ini kenapa? Setau gue lo selalu menjadi anak yang sabar selama ini. Tapi kenapa sekarang lo jadi nekad kabur sampe bawa barang-barang seperti ini?” “Aku ribut sama mama. Katanya aku hanyalah aib. Dia bahkan berkata kalau lebih aku mati saja.” “HEH.” Rianti sontak duduk dan melotot. “Nyokap lo ngomong begitu?” Dina mengangguk. “Beneran?” “Iya. Beneran.” “Fix! Nyokap lo sakit. Sakit jiwa!” Rianti kembali mengempaskan punggungnya ke kasur. Keheningan kemudian menyebar cukup lama. Rianti dan Dina sama-sama menatap langit-langit kamar yang kosong. “Terus dia nggak ngejar lo pas lo pergi?” “Om Tio nyariin aku. Tapi aku sembunyi ketika mobilnya lewat.” “Bahkan bokap tiri lo jauh lebih punya hati.” Rianti kemudian menoleh sebentar melirik Dina. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dia tanyakan. Tapi wajah Dina sudah terlihat sangat lelah. Rianti tidak mau mengusik lagi dan ingin Dina beristirahat. “Yaweslah… nggak usah terlalu lo pikirin. Tidur aja udah.” Sunyi. Rianti memejamkan matanya. Tak beberapa lama kemudian, suara Dina yang lirih kembali terdengar. “Aku juga tidak ingin hidup seperti ini…,” ucapnya lirih. Rianti sontak membuka mata kembali. Menatap Dina. Ternyata aliran air mata sudah mengalir dari kedua mata sahabatnya itu. “Hah… gue juga nggak tahu harus berkomentar apa sekarang ini. Mungkin lo juga akan bosen kalo gue terus-terusan meminta lo untuk sabar, sabar dan sabar. Tapi… sekarang ini emang cuma itu yang bisa dilakukan oleh anak seusia kita. Lain cerita jika nantinya kita sudah dewasa, sudah mandiri, dan berdiri di atas kedua kaki kita sendiri tanpa bergantung lagi kepada orang lain.” Rianti berkata seperti itu dengan tatapan menerawang. “Kamu benar! Aku juga berpikir seperti itu,” sahut Dina lirih. “Semua pasti berlalu kok. Lo itu anak yang kuat. Lo malah lebih kuat dari gue… jujur ya. Kalo gue yang berada di posisi lo, mungkin gue udah gila atau ….” “Bunuh diri.” Dina menyambung kalimat Rianti. Deg. Rianti melotot. “Jangan bilang kalo sempet terpikirkan hal gila itu!” Dina tersenyum lemah. “Aku sempat memikirkannya.” dia mengakui. “DIN! AWAS YA…! kalo lo sampe mikir kayak gitu lagi. Hidup lo berharga. Seenggaknya buat diri lo sendiri. Lo emang nggak bisa memilih terlahir dari siapa. Tapi setelah lahir… lo bisa menentuin hidup lo sendiri. Jaman sekarang banyak kok anak-anak yang bisa survive tanpa hubungan baik dengan orang tuanya. Lo liat aja noh di drama Korea yang sering lo tonton juga begitu, kan?” Dina tergelak pelan. “Iya.” “Lo jangan aneh-aneh pokoknya. Jalan idup lo masih panjang. Otak lo encer. Masa depan lo pasti cerah.” Rianti terus menguatkan Dina uang dilanda oleh rasa gundah. “By the way thanks ya… untuk malam ini. Aku bener-bener udah ngerepotin kamu sama ibu kamu.” “Ngerepotin apaan sih. Pokoknya lo nggak usah mikir macam-macam dulu. Untuk sementara lo di sini aja. Ntar gue bakalan ngomong sama ibuk. Seenggaknya sampe keadaan membaik. Kali aja nyokap lo dapet hidayah. Dia tersadar kemudian nyariin lo. Iya, kan? Meskipun harapannya agak tipis sih. Soalnya emak lo itu hatinya udah jadi batu. Tapi gue yakin om Tio ntar bakalan nyariin lo lagi.” Dina tersenyum. “Makasih ya. Aku beneran sayang deh, sama kamu.” Dina bergerak memeluk Rianti. Membuat tubuh sahabatnya itu menegang dengan mata melotot. “I-iya. Gue juga sayang sama lo, tapi jangan peluk-peluk begini juga anjir!” sergah Rianti. Bukannya melepas pelukannya, Dina malah memeluk Rianti lebih erat. Rianti itu anaknya gelian. Dia tidak bisa disentuh sembarangan apalagi dibagian pinggang. Alhasil kehebohan pun kini terjadi. Kedua gadis itu malah bergelut dan saling tertawa. Sesekali suara tawa Rianti yang terdengar keras. Di lain waktu giliran Dina yang juga tertawa. Sang ibu yang masih sibuk di luar pun tersenyum mendengar suara tawa mereka berdua. “Aaah … dasar mereka! Bukannya tidur malah bergelut.” Sementara di dalam kamar, Rianti sudah menyingkir ke sudut dengan wajah yang terasa panas. “Udah ya, Din… gue nggak mau ganti baju lagi karena berkeringat.” Dina yang sudah sedikit berpeluh itu pun juga ingin menyerah. “Oke. Kita damai!” Keduanya lalu berbaring kembali dengan baik. Tapi mata keduanya masih menatap waspada. “Lo stop ya, Din!” Rianti memperingatkannya lagi. “Aku nggak ngapa-ngapain!” pekik Dina. Keduanya lalu mulai memejamkan mata. Malam memang sudah semakin larut. Keduanya menguap secara bergantian. “Terus lo udah baikan sama Bagas?” Rianti bertanya dengan mata terpejam. Dina membuka matanya, lalu menjawab. “Belum.” “Astaga. Gue pikir kalian udah baikan.” Rianti mendesah lalu kemudian bersuara lagi. “Besok gue akan bicara sama dia.” ** Dion langsung mematikan jam weker di atas meja, tepat sedetik sebelum jam itu berdering. Apakah dia bangun lebih awal? Jawabannya tidak. Dia bahkan tidak tertidur sama sekali dari semalam. Wajahnya kini lesu. Rambut kusut, lingkaran hitam di bawah mata terlihat jelas. Jemarinya bahkan bergetar ketika Dion mengambil handphone-nya. Dia memeriksa akun i********: palsunya. Tapi tidak ada pesan balasan dari Dina sama sekali. “Cih, cewek sialan itu malah ngebikin aku jadi overthingking!” dia mengomel. Dion akhirnya memaksakan diri untuk bangun, tapi dia langsung sempoyongan dan nyaris terjatuh. Untunglah dia lekas berpegangan ke dinding. Kepalanya terasa pusing sekali. Dion keluar dengan langkah sempoyongan. Ridwan yang sudah duduk di meja makan pun terkejut melihatnya. “Kamu kenapa?” “Nggak kenapa-napa, kok, Pa.” “Terus kenapa kamu terlihat seperti zombie kayak gitu, ha? Semalam juga kamu keluyuran ke mana?” selidik Ridwan. Dion menuang segelas s**u segar ke dalam gelas, lalu membawanya duduk di meja makan. “Aku cuma keluar bentar kok, Pa.” “Apa jangan-jangan kamu pulang pagi?” “Nggaklah. Mana mungkin aku pulang pagi.” “Terus kenapa kamu loyo begini?” “Semalam aku nggak bisa tidur.” “Wah bahaya itu. Hari ini kamu nggak usah ke sekolah aja. Bahaya kalo seseorang nggak tidur. Apalagi kalo kamu nyetir motor.” Dion menyeringai. “Jadi aku boleh libur, Pa?” Ridwan berdehem. “Cuma hari ini saja. Karena keadaan. Tapi jangan sampai nanti-nanti kamu menggunakan alasan yang sama untuk membolos. Karena papa akan langsung tau kalau kamu berbohong.” “Iya-iya.” Dion tersenyum. “Ya sudah… abis ini kamu makan saja yang kenyang, pasti ntar juga ngantuk,” tukas Ridwan. Dion mengangguk. “Pa…,” panggilnya pelan. “Iya. Kenapa?” “Apa Papa punya niatan untuk menikah lagi?” Dion akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Eh. Ridwan melotot. “K-kenapa Papa diem?” tanya Dion lagi. “Haduh… pertanyaan kamu itu ada-ada aja lo. Sudah ah. Papa mau berangkat ke kantor dulu. Kurang tidur malah bikin kamu ngeyel. Inget jangan nyetir kalo kamu belum tidur.” Ridwan kemudian melenggang pergi. Sedangkan Dion termangu karena Ridwan tidak menjawab pertanyaannya. “Aaargh… karena papa nggak ngejawab, malah bikin beban pikiran aku bertambah lagi.” Dion kemudian beranjak ke kamarnya lagi. Ia tiduran dan langsung menghubungi Asep. “Apa ha? Lo mau jemput gue lagi?” Asep langsung manghardiknya. “Gue nggak sekolah hari ini, Cuk.” Dion berkata dengan suara lemas. Matanya juga mulai sayu. Sepertinya dia bisa terlelap sekarang. “Eh. Kenapa lo?” “Gue sedikit nggak enak badan.” “Ya elah. Dion demam ya? Apa perlu ntar gue bawa anak-anak kelas buat jengok lo? Terus kita bawain lo roti selai dan sirup rasa jeruk?” “Lo pikir gue anak SD, ha?” Asep tertawa. “Terus apa? Lo mau nitip ijin?” “Iya. Tolong ijinin gue ya.” “Oke deh. Ini gue udah mau berangkat ke sekolah. Gue udah di luar. Gue pikir lo mau jemput gue lagi,” tukas Asep. “Lo udah di luar?” “Iya.” “Lo liat gadis itu nggak?” tanya Dion. “Nggak. Nggak ada tuh. Tapi semalam gue denger ribut-ribut di sebelah. Kayaknya dia berantem lagi dengan mak tirinya.” Dion mengembuskan napas panjang. Ternyata itu penyebabnya. Ternyata semalam Dina bertengkar dengan mamanya. “Oh. Kalo ntar siang, sore atau malam sekalipun lo lihat dia… lo kasih tau ke gue ya,” pesan Dion. “Lah ngapain? Lo pikir gue satpam yang ngawasin dia? Lo emang nggak ngerti-ngerti ya. Gara-gara dia lo udah gagal masuk tim dan lo masih ajaaaa.” “Udah jangan bacot. Laporin aja ke gue kalo lo ngeliat dia!” Tut. Dion pun langsung memutus panggilan teleponnya. Dion terpana dengan helaan napas yang terdengar teratur. Di mana pun Dina berada sekarang… dia berharap kalau Dina akan baik-baik saja. Sementara itu di kediamannya Rianti… Pasangan ibu dan anak itu sama-sama terkejut tatkala bangun tidur. Mereka mendapati Dina yang sedang mencuci piring di dapur. “ASTAGA DINAAAA. KAMU NGAPAIN TOH, NDUK…!?” ibu Rianti langsung memekik. Dina hanya tersenyum. “Ya Gusti… kamu ngapain toh. Sana minggir… biar ibuk selesaikan.” “Tinggal sedikit lagi kok, Buk. Nggak apa-apa. Aku juga biasa seperti ini di rumah setiap paginya,” tukas Dina. Ibu Rianti masih meminta Dina untuk berhenti, tapi kemudian dia tersenyum dan langsung menjadikannya sebagai bahan untuk menyindir Rianti. “Nah anak gadis itu sebenernya ya seperti Dina ini,” ucap sang ibu. Rianti menggaruk lehernya. “Din… lo jadi anak emak gue aja dah!” Setelahnya dia juga beralih menatap ibunya. “Buk… pungut Dina aja udah. Jadiin dia anak Ibuk sekalian.” Sang ibu tentu tertawa. Dina pun juga tersenyum lucu. Pagi itu menjadi lebih ramai daripada biasanya di rumah Rianti. Mereka berdua kemudian juga berdrama berebutan kamar mandi dan setelah selesai bersiap-siap. Dina dan Rianti duduk manis di meja makan menikmati sarapan. “Dina…,” panggil ibu Rianti. Dina menoleh. “Iya, Buk.” Ibu Rianti tersenyum. “Ibuk tidak akan bertanya apa yang terjadi sama kamu. Tapi… ibuk cuma mau mengatakan kalau kamu boleh terus berada di sini selama apapun kamu mau.” Deg. Dina tertegun. “Iya. Jangan ke mana-mana lagi lo! Ntar lo diculik orang. Ginjal lo dijual, modyar nggak tuh,” timpal Rianti. Dina tersenyum. Ia merasa terharu atas kebaikan Rianti dan juga ibunya. “Pokok e jangan merasa sungkan. Ibuk justru seneng kamu ada di sini. Ibuk jadi ada temen ngobrolnya.” “Emang Rianti nggak suka ngobrol sama Ibuk?” tanya Dina. “Ngobrol… kalo dia mau minta duit dan ketika ada maunya aja.” Rianti langsung menatap sengit. “Ibuk ah! Ngebongkar aib aku mulu ke si Dina.” Setelah selesai sarapan keduanya berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Dan seperti janjinya, ibu Rianti ternyata benar-benar menyiapkan bekal nasi goreng untuk Dina. “Nah, jangan lupa dibawa bekalnya ya.” Eh. Dina termangu. Dia nyaris menangis karena perlakuan yang manis itu.” “Makasih, Buk… sekali lagi makasih banyak.” Ibu Rianti tersenyum. “Iya hati-hati di jalan ya! Baek-baek kalian di sekolah!” “IYA, BUUK…!!!” Dina dan Rianti berseru kompak. ** Setelah menunggu Bagas sekitar sepuluh menit. Akhirnya Rianti melihat lelaki itu datang dengan langkah gusar. “Lo mau ngomong apa sama gue?” tanya Bagas. Dia tampak tidak begitu senang karena Rianti memaksa untuk bertemu di pagi hari. “Lo masih belum baikan sama Dina, ya?” Rianti bertanya langsng tanpa basa-basi. Sunyi. Bagas tidak menjawab dan hanya menghela napas kasar. “Lo itu gimana sih? Lo marah karena ada cowok lain yang mencoba menarik perhatian Dina, tapi lo sendiri malah kayak gini. Yang ada sikap lo ini bisa bikin Dina beneran pergi dari lo!” Rianti berceramah. Bagas tersentak. Sepertinya dia tidak memikirkannya hingga ke sana. “Please jangan stupid! Jangan juga kekanak-kanakkan kayak gini. Dia udah minta maaf kan, sama lo… sesuatu yang bahkan jarang dilakukan oleh Dina. Itu artinya dia sayang sama lo. Dia menyadari kesalahannya dan menyesalinya.” “G-gue cuma masih kesel aja.” Bagas akhirnya bersuara. Rianti berkacak pinggang dan meniup wajahnya sendiri. “Jadi sampe kapan lo mau kesel? Sampe Dina berbalik ngebenci lo?” Diam. Bagas terpekur memikirkan perkataan Rianti. Mereka berdua kini berbicara di balik gedung perpustakaan yang lengang. Awalnya Bagas menolak permintaan Rianti untuk bertemu di sana. Tapi Rianti terus memaksa hingga akhirnya Bagas terpaksa menyusul. “Sebenernya lo masih sayang nggak sih, sama Dina?” tanya Rianti lagi. Bagas menatap tajam. “Sayanglah! Ngapain juga lo nanya kayak gitu.” “Kalo sayang… harusnya lo nggak kayak gini. Dina itu lagi butuh lo, Gas. Dia bahkan pergi dari rumah karena berantem sama nyokapnya.” “A-APA?” Bagas melotot kaget. “Gimana ceritanya? Kenapa dia berantem? Kenapa dia pergi dari rumah.” Rianti mendekat, lalu menepuk pundak Bagas pelan. “Lo harus tanya sendiri. Makanya lo harus berenti bersikap kayak gini. Dina sedang banyak masalah. Jadi kalo lo beneran sayang sama dia… harusnya elo sekarang menjadi sistem support buat dia.” Bagas tertegun. “Dan satu lagi… Dion nggak akan ngerusak hubungan lo sama Dina, kok.” Eh. Bagas mengenyit bingung. “Memangnya kenapa?” “Karena Dion itu suka sama gue,” jawab Rianti. Bagas menatap Rianti lekat-lekat. Sempat mengira bahwa Rianti sedang bercanda. Tapi tatapan mata itu menyorotkan keseriusan. “Jadi lo nggak perlu khawatir. Gue pribadi tentu juga nggak akan ngebiarin Dion berpaling. Gue juga suka sama dia.” Hening. Keadaan kemudian berubah sunyi. “Kita hanya perlu menjaga milik kita masing-masing,” tukas Rianti lagi. Rasanya terlalu gegabah mendengar Rianti berkata demikian. Seakan dia sudah menyatakan bahwa Dion adalah miliknya. Padahal hubungan mereka masihlah sangat jauh dari kata dekat. Rianti sejatinya paham akan hal itu. Namun dia sengaja berkata demikian untuk mendinginkan hati Bagas yang masih panas karena bara api cemburu. Karena satu-satunya tujuan Rianti saat ini adalah untuk membuat hubungan Dina dan Bagas ‘tetap baik-baik saja.” Dia sudah terlalu lama resah karena keduanya tak kunjung berbaikan. Rianti ingin mereka tetap bersama. Bukan karena dia peduli, melainkan karena ada tujuan lain. Dia… hanya ingin menjaga Dina agar tetap jauh dari Dion. Yah, sungguh fenomena yang mengejutkan memang. Rianti memang menyayangi Dina sebagai sahabatnya. Tapi untuk urusan cinta… Semua akan menjadi cerita yang berbeda. “Lo ngerti kan, maksud gue?” tanya Rianti kemudian. Bagas akhirnya menganggukkan kepala. “Oke… nanti gue akan bicara sama Dina.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD