“Apa maksud ucapan Mama?” tanya Dina.
Emilia hanya mengembuskan napas santai dan menatap putrinya itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sementara Tio jelas menjadi cemas. Ia akan dihadapkan pada situasi yang serba salah. Karena ia juga tidak bisa terlalu ‘masuk’ atau terlalu mencampuri urusan ibu dan anak itu. Tio sadar akan posisinya.
Emilia menatap sinis. “Kamu pasti sudah mendengarnya dengan jelas. Makanya kamu keluar dari kamar. Iya, kan? Lalu untuk apa bertanya lagi?”
Dina mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Aku juga nggak pernah minta, Ma … dilahirkan ke dunia ini. Kalau seandainya aku bisa memilih. Aku juga tidak mau terlahir dari perempuan seperti mama!”
“A-APA…?” kali ini emosi Emilia tersulut.
Tio mencoba menenangkan istrinya itu. “Lia, sudah….”
Tapi Emilia menepis tangan Tio yang coba memegangi pundaknya. Emilia bangun dari duduknya dan kemudian menghampiri Dina yang masih berdiri dengan tatapan penuh kebencian.
“Apa kamu bilang?” tanya Emilia lagi.
“Aku juga tidak mau terlahir dari perempuan seperti Mama!” ulang Dina.
Emilia tersenyum kecut. “Kalau begitu kenapa kamu masih hidup? Kenapa kamu tidak MATI SAJA?”
Deg.
Dina bagai tersambar petir. Pertanyaan dari sang mama membuat seluruh tubuhnya bergetar. Apakah memang ada seorang ibu kandung yang tega berkata seperti itu kepada anaknya sendiri? Ruangan itu terasa berputar sejenak. Dina merasa pusing beberapa detik dan juga merasa mual.
“Kamu adalah aib. Kamu adalah beban. Seandainya kamu tidak pernah ada… maka semua pasti akan jauh lebih baik,” pungkas Emilia lagi.
“A-apa…!?” Dina menatap nanar.
Air mata Dina mengucur deras dengan bibir yang terbuka. Lidahnya seketika kelu. Dina tidak bisa lagi berkata-kata. Selama ini dia masih coba menanam harapan. Berharap bahwa suatu hari nanti pintu hati sang mama akan terketuk. Berharap suatu hari nanti sang mama akan menerima keberadaannya. Lebih jauh lagi, Dina masih berharap bahwa sang mama akan menyayanginya.
Namun…
Hari ini Dina benar-benar menyadari kilatan penuh kebencian itu di mata sang mama.
Dia bahkan menyuruh Dina untuk mati.
Suasana menjadi mencekam. Sosok Varrel yang tadi sedang asyik bermain mobil-mobilan miliknya pun kini terlihat meringkuk ketakutan di balik sofa. Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali itu, Tio segera bertindak.
Dia menarik sang istri. “Sudah, Lia. Kamu tidak boleh berkata seperti itu.”
Emilia bergeming. Dia masih menatap Dina dengan wajah tak senang. Dina pun juga demikian. Dia masih menatap sang mama tanpa berkedip, dengan air mata yang terus saja mengalir.
Tio beralih menatap Dina. “Sebaiknya kamu beristirahat. Besok kamu harus ke sekolah bukan?”
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Sekarang dia bahkan sudah berani membangkang seperti itu!” Emilia kembali mengomel.
“SUDAH LIA…! CUKUP…!” kali ini suara Tio sedikit meninggi.
Dina menyeka air mata di pipinya dengan gusar, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Jangan terlalu dipikirkan Dina. Semua ucapan mama kamu tidak boleh dimasukkan ke dalam hati.” Tio berkata ketika Dina melangkah pergi.
Dina terisak setiba di kamarnya. Dia dengan cepat mengambil sebuah ransel berukuran besar di atas lemari, lalu kemudian mulai memasukkan pakaiannya ke sana.
Dia hanya beban.
Dia adalah aib.
Jadi untuk apa lagi dia bertahan?
Dina berada di puncak rasa kecewa. Setelah selesai dengan pakaiannya, Dina juga memasukkan buku-buku dan barang-barang miliknya yang lain hingga ransel itu membengkak penuh. Setelahnya Dina langsung menyandang ransel itu dan juga menjangkau tas sekolahnya. Dina tidak mau lagi tinggal di rumah itu. Dia tidak peduli. Otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih.
Dina tidak punya tujuan.
Dia tidak tahu mau ke mana.
Tapi yang jelas Dina tidak mau lagi tinggal di rumah itu. Dia tidak mau lagi dianggap sebagai parasit yang merugikan. Dina tidak mau lagi menjadi penghalang bagi Emilia untuk memiliki hidup yang bahagia seperti yang selalu didambakan oleh ibunya itu.
Dina keluar lagi.
Kemunculannya dengan ransel membengkak di punggung itu jelas membuat tio terkejut dan langsung menghampirinya. Tio menatap rusuh dan cepat-cepat menenangkan Dina.
“D-Dina… kenapa kamu membawa ransel seperti ini?” tanya Tio panik.
Dina tidak menjawab. Dia ingin lanjut melangkah, tapi Tio lekas menghalanginya.
“Dina! Kamu tidak boleh seperti ini. Kamu mau pergi ke mana, ha? Ini sudah larut malam.”
Dina tidak menjawab.
“Om tahu kamu marah. Tapi… sebaiknya sekarang kamu tenangkan diri kamu dulu. Ok!” Tio begitu berusaha keras.
Sedangkan Emilia hanya duduk tenang. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun tergurat di wajahnya.
“Om mohon… jangan seperti ini!” pinta Tio lagi.
“Biarkan saja dia kalau mau pergi,” sahut Emilia.
Tio memejamkan mata seraya meniupkan napas gusar. Dia sudah berusaha menenangkan Dina, tapi Emilia malah kembali memperkeruh suasana.
“Emilia please….” pinta Tio.
Setelah itu Tio kembali menatap Dina. “Sini tasnya! Setelah itu basuh wajah kamu agar menjadi tenang.”
Tio coba mengambil ransel Dina, tapi saat itu juga Dina lanjut melangkah.
Tekadnya sudah bulat.
Dia tidak mau lagi berada di sana.
“Dina… Dina!”
Tio memanggil dan mengejar Dina hingga ke depan gerbang.
“Kalau kamu terus seperti ini… OM JUGA BISA MARAH SAMA KAMU!” pekik Tio.
Hardikan itu akhirnya menghentikan langkah Dina. Ia berbalik pelan dan menatap Tio yang kini juga memandangnya dengan napas sesak.
“Om tidak usah membebani diri sendiri. Lagipula… Om bukan siapa-siapa. Om bukan papa aku.”
Deg.
Ucapan Dina membuat Tio tersentak. Dia termangu dengan tatapan nanar, sedangkan Dina kini lanjut melangkah menembus pekatnya malam dengan ransel dipunggungnya.
Jemari Tio mengawang hendak memanggil Dina kembali. Tapi perkataan yang sudah dilontarkan oleh anak sambungnya itu membuat nyali Tio mengawang hilang. Dia tidak bisa lagi untuk sekedar memanggil Dina ataupun berlari mengejarnya.
Tio mengembuskan napas panjang, lalu menyapu wajahnya dengan telapak tangan.
Setelah itu dia melangkah gontai masuk kembali ke dalam rumah. Tatapannya tertuju pada Emilia yang duduk santai menatap televisi. Istrinya itu bahkan bisa tertawa melihat adegan lucu yang sedang ia saksikan. Seolah tidak ada terjadi apa-apa.
Selama ini Tio masih menahan diri. Tapi saat ini, dia merasa kesal. Tio mengambil remote TV dan langsung mematikan televisi.
“Mas…!” Emilia langsung menatap tajam.
“Kita perlu bicara, tapi sebelum itu aku mau menidurkan Varrel dulu ke kamarnya,” ucap Tio.
Lelaki itu lekas menghampiri Varrel yang masih meringkuk di balik sofa, memangku sebuah mobil-mobilan di dadanya.
“Sekarang kamu tidur ya, Sayang,” ucap Tio.
Varrel mengangguk.
Tio menggendong anaknya itu ke dalam kamar, membaringkannya di atas ranjang, lalu juga menyelimutinya. Kamar putra semata wayangnya itu dipenuhi oleh nuansa warna kuning dengan banyak sekali lukisan karakter tokoh kartun Spongebob Squerapants. Varrel memang sangat menggemari film kartun spongebob. Tempat tidurnya bahkan juga di desain seperti tempat tidur kartun Spongebob. Di sisi sebelah kanan ranjang, terdapat sebuah tenda menyerupai rumah nanas dan Varrel sangat senang bermain di dalamnya.
“Sekarang kamu tidur, ya.” Tio mengecup kening Varrel.
Bocah berbadan tambun itu menguap lebar, lalu memejamkan mata. Dia memang sudah mengantuk sejak tadi. Tapi rasa kantuknya sempat menghilang tatkala keributan itu terjadi. Hanya dalam hitungan beberapa detik setelah itu, Varrel pun sudah terlelap.
Tio kemudian bangun dari duduknya, dan keluar.
Ternyata Emilia sudah tidak ada lagi di ruang televisi.
Tio beranjak masuk ke dalam kamar dan ternyata Emilia sudah duduk di depan meja rias. Sedang melakukan perawatan rutin untuk wajahnya di malam hari sebelum tidur.
Tio duduk di tepi ranjang. Menatap Emilia yang kini membelakanginya. Emilia pun bisa melihat Tio dari pantulan cermin di hadapannya.
“Vitaminnya sudah aku siapkan. Minum dulu sebelum tidur.” Emilia berkata. Nada suaranya tenang. Benar-benar seperti tidak ada masalah sama sekali.
Tio menoleh ke atas meja nakas di samping tempat tidur. Ia melihat beberapa pil dan segelas air putih di sana. Tio mengambil dan meminumnya, lalu kembali menatap Emilia yang kini sibuk mengoleskan berbagai serum dan juga cream ke wajahnya.
“Aku mengerti jika sebenarnya aku juga tidak terlalu berhak untuk ikut campur dengan urusan kamu dan Dina. Tapi kali ini… kamu benar-benar sudah keterlaluan,” ucap Tio lirih.
Emilia bergeming. Dia masih sibuk menggosok-gosok lehernya dengan toner yang sudah dituangkan ke kapas.
“Sekarang dia pergi entah ke mana dan kamu masih bisa-bisanya memakai krim wajah dengan santai seperti itu, ha?” nada suara Tio mulai gusar.
“Lalu aku harus bagaimana? Toh dia pergi atas kemauan dia sendiri. Jadi biarkan saja. Dia sudah dewasa,” jawab Emilia.
“Lia! Aku….” Tio sampai tidak bisa berkata-kata. “Dia itu anak kamu, Lia.”
Emilia memejamkan mata sebentar. Darah panas terasa naik dengan cepat ke ubun-ubunnya. Dia memutar duduknya ke arah Tio, lalu menatap tajam.
“DIA ADALAH ANAK YANG TIDAK AKU INGINKAN…!”
“Aku tau… tapi dia tidak bersalah. Dia juga tidak meminta lahir seperti itu. Kenapa kamu tidak mengerti ha? Kenapa kamu malah melimpahkan semua kebencian dan dendam kepada anak kamu sendiri?” tanya Tio.
“Mas… kamu itu nggak ngerti dengan apa yang aku rasakan. Kamu tidak tahu bagaimana hancurnya kehidupan aku setelah kejadian itu. Aku harus kehilangan cita-cita, menanggung malu karena kelahiran dia, belum lagi trauma mendalam yang tidak pernah hilang. Karena dia juga sekarang ini aku tidak bisa punya anak lagi, Mas!” Emilia berkata dengan suara sesak.
“Bukannya kamu sendiri yang memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan rahim? Semua itu pilihan kamu sendiri, Lia… lantas kenapa kamu masih menyalahkan Dina?” Tio benar-benar tidak mengerti.
“AKU TRAUMA, MAS! Aku trauma ketika melahirkan dia…. aku takut hal yang sama terulang lagi. Aku takut menjadi korban p*********n dan mengandung anak haram lagi. Itulah kenapa aku melakukannya!” pekik Emilia.
Tio menatap sayu. “Dan sekarang kamu menyesal, lalu tetap melimpahkan segalanya kepada Dina?”
“CUKUP...! aku tidak mau kita ribut karena anak haram itu.” Emilia kembali memutar duduk menatap cermin di hadapannya.
“DINA PERGI DARI RUMAH, LIAAAA… tidakkah kamu punya sedikit empati? Kamu tidak takut dia kenapa-napa di luar sana, ha?”
“Biarkan saja,” jawab Emilia singkat.
Tio benar-benar frustasi. Dia meraih jaket yang tersampir di belakang pintu, memasnag kacamata dan juga menjangkau kunci mobilnya di atas meja.
Melihat Tio yang bergegas pergi, Emilia pun segera menyusulnya keluar kamar.
“Kamu mau ke mana, Mas?”
“Aku mau mencari Dina!”
Emilia menganga dan geleng-geleng kepala. “Kenapa kamu harus peduli, ha? Aku sudah katakan biarkan saja.”
“Tidak bisa, Lia! Dia itu perempuan… bagaimana kalau dia kenapa-napa di luar sana. Bagaimana kalau dia juga mengalami nasib yang sama seperti kamu dulu?” tanya Tio.
Deg.
Kedua pupil mata Emilia tersentak. Tampaknya pertanyaan Tio itu sedikit membuatnya terpikirkan tentang Dina.
Tio pun segera pergi. Dia tidak bisa membiarkan semua seperti itu. Meskipun Dina sudah melukai perasaannya juga dengan kata-kata yang dilontarkan, tapi Tio tetap merasa bertanggung jawab. Karena dia sudah menikahi ibu dari gadis itu. Karena dia sudah menjadi ayah sambung untuk Dina.
Mobil Tio melaju menembus jalanan yang kelam dan lengang.
Matanya terus mencari-cari keberadaan Dina. Seharusnya Dina belum pergi terlalu jauh, tapi Tio sama sekali tidak melihatnya.
Mobil itu terus melaju pelan.
“Dia ke mana…?” bisik Tio lirih.
Dan ternyata…
Dina sedang bersembunyi di balik rumput ilalang tepi jalan. Dia melihat cahaya lampu mobil dari kejauahan dan langsung bersembunyi. Seperti dugaannya, itu adalah mobil Tio. Dina pun mengembuskan napas lega. Setelah mobil itu melaju jauh, barulah Dina keluar dari persembunyiannya.
Dia langsung menyeberang jalan dan memilih melewati jalan kecil yang lain.
Dina melangkah menembus pekatnya malam dengan tatapan mata nanar. Ransel di punggungnya tampak lebih besar dari tubuhnya yang mungil. Dina tidak tahu ke mana dia akan pergi sekarang.
Dia hanya terus melangkah tanpa arah.
Tak ada rasa takut.
Amarah yang memuncak di hati menepikan segala perasaan lain yang ada.
Semua kata-kata yang terlontar dari bibir Emilia masih terngiang-ngiang di telinga. Membuat mata kembali panas dan menciptakan genangan air mata.
Dina terus melangkah hingga kedua kakinya mulai terasa penat.
Dia melihat sebuah jembatan penyeberangan di depan sana, lalu memaksakan diri untuk melangkah ke sana. Kakinya terasa berat dilangkahkan ketika menaiki anak tangga. Beban di punggungnya juga sudah terasa berat. Dan ketika tiba di atas jembatan penyeberangan, Dina langsung melepakan ransel itu.
“Haaah.” Dia merasa terbebas dari rasa penat.
Dina kemudian menatap pemandangan di bawah sana. Jalanan yang lebar itu masih dipadati oleh kendaraan yang mengular. Suara deru mesin dan klakson terdengar silih berganti, berpadu dengan suara angin.
Dina tersenyum samar. Dia coba menguatkan diri sendiri.
Menyadari realita bahwa hadirnya di dunia memang tidak diharapkan oleh ibu kandungnya sendiri. Sepintas sebuah pemikiran pun menggelitik benaknya.
“Apa sebaiknya aku memang mati saja?” bisik Dina lirih.
Dina termangu. Bersama angin malam nan dingin membelai wajah. Sesekali rambutnya juga berkibar disapu angin. Setelah cukup lama termenung, Dina beralih mengeluarkan handphone-nya.
Ada tiga puluh panggilan tidak terjawab. Ada banyak pesan juga yang masuk. Dan semua itu adalah dari Tio.
“Maafkan aku, Om…,” bisik Dina pelan.
Dina beralih mencari nomor kontak Bagas dan meneleponnya. Namun ternyata Bagas tidak bisa dihubungi. Nomor teleponnya sudah tidak aktif. Dina menduga pasti dia sudah tertidur. Sekarang kebingungan pun mulai melanda.
Malam sudah semakin larut. Dan sekarang hawa dingin juga terasa menusuk tulang.
“Kenapa sekarang terasa dingin sekali?”
Dina cepat-cepat menjangkau ranselnya dan mencari jaket di sana. Dia sedikit kesulitan karena semua pakaian yang lain juga ikut keluar ketika dia menarik jaket berwarna kuning itu. Sebelumnya Dina tidak merasa kedinginan karena tubuhnya panas oleh bara amarah. Dan ketika amarah itu redup, hawa dingin dengan mudah menyentuh kulitnya.
Dia merasa lebih baik setelah memakai jaket. Sekarang Dina sibuk kembali dengan handphone-nya. Dia menghubungi seseorang, lalu menempelkan handphone itu di telinga. Panggilan telepon itu tersambung. Dina menanti dengan gugup. Ia menggigiti kuku jari tangannya sendiri.
“Ayo angkat. Aku mohon.” Dina berbisik. Karena memang hanya sosok itulah satu-satunya harapan Dina sekarang.
Bola matanya pun melebar saat telepon itu diangkat.
“Iya, Din… kenapa nelpon?” suara Rianti terdengar jernih.
Bibir Dina langsung berkedut. Rasanya dia ingin menangis lagi.
“Eh. Lo di mana? Kenapa ada bunyi kendaraan dan klakson yang rame gitu, ha?” Rianti menyadarinya.
“A-aku ada di jembatan penyeberangan.”
“Suara lo serak. LO NANGIS, YA!” Rianti menebak lagi.
Dina menghela napas sesak.
“Lo kenapa? Apa yang terjadi, ha? Di mana lo sekarang?” suara Rianti berubah cemas.
Dina tidak menjawab. Dia malah menutup mulutnya menahan tangis. Dia pun tidak mengerti. Kesedihan itu terasa seperti menyergapnya kembali dengan tiba-tiba.
“Sekarang lo share lokasi lo ke gue!” tukas Rianti. “Gue akan ke sana,” sambungnya lagi.
Tut… tut…
Panggilan itu terputus. Dina segera mengirimkan lokasi di mana ia berada kepada Rianti. Sebuah pesan balasan dari Rianti pun juga masuk setelahnya.
‘Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana.’ begitulah bunyi pesan dari Rianti.
Dina mengembuskan napas panjang. Dia bisa merasa sedikit lega sekarang. Sembari menunggu Rianti, Dina pun membuka akun instagramnya. Ada satu notifikasi yang menarik perhatian. Satu akun baru meminta untuk mengikutinya.
“Pemuja Rahasia? Kenapa namanya aneh sekali?” bisik Dina.
Dina sedikit tersenyum, lalu kemudian menerima permintaan akun itu. Dina lekas memeriksa akun dengan nama konyol tersebut. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada postingan dan juga tidak ada poto profilnya. Dina mengernyit bingung. Akun itu tidak memiliki pengikut dan satu-satunya yang dia ikuti hanyalah Dina.
“Sudahlah… kenapa juga aku memikirkannya,” bisik Dina lagi.
Dan ketika Dina hendak keluar dari i********:, sebuah pesan tiba-tiba masuk.
‘Hi, terima kasih atas konfirmasinya…’ bunyi pesan itu.