Dina menanti kepulangan Rianti dengan wajah gugup. Dia sedikit takut jika nanti Rianti marah padanya. Alasannya adalah karena Dion sudah pergi begitu saja. Dina takut jika Rianti malah menyalahkannya. Rianti sudah sangat nyinyir meninggalkan amanat agar Dion menunggunya.
“Aah… kenapa aku harus terjebak di antara mereka, aku bahkan tidak mau tahu sama sekali,” bisik Dina.
Dina kemudian beralih ke kamar. Mencoba berbaring sebentar, menenangkan dirinya sendiri. Sebentar ia memejamkan mata. Dengan suara deru napas yang kini berpacu. Tapi tak lama kemudian kedua matanya kembali terbuka tatkala teringat pada perkataan Dion.
“Kenapa dia berkata seperti itu? Apa yang baik-baik saja?” bisik Dina. “Sudahlah. Kenapa aku peduli? Cih…”
Untuk mengusir jenuh, Dina mengambil ponselnya di atas meja belajar. Ternyata ada satu pesan dari Bagas. Sang kekasih mengabarkan bahwa dia akan bermain badminton malam ini dan tidak bisa menelepon Dina seperti biasanya. Maklum anak pacaran jaman sekarang, Dina sebenarnya tidak terlalu menyukainya, tapi Bagas selalu mengajaknya untuk sleep call. Menelepon ria hingga mereka berdua sama-sama terlelap hingga pagi hari. Menurut Dina itu adalah hal yang cukup mubazir. Menghabiskan paket data internet dan juga batrai handphone itu sendiri.
Dina tersenyum. “Baguslah… malam ini aku bisa memba n****+ yang sudah lama ingin aku baca.”
Dina kembali menghambur ke kasur dan berbaring lagi. Dia lalu membuka akun i********:-nya.
“Astaga… ternyata aku lupa membalas pesan dia kemarin.”
Dina menepuk jidatnya sendiri. Padahal sang akun bernama ‘Pengagum Rahasia’ itu sudah memberikan sebuah nasehat yang sangat berharga untuknya. Tapi Dina malah lupa membalasnya.
“Kenapa aku sampai lupa?” bisiknya lagi.
Dina sedikit merasa bersalah. Tak lama kemudian jemarinya mulai mengetikkan pesan balasan.
‘Aku sangat berterima kasih untuk pesannya. Jujur ini sangat berarti sekali untukku. Pesan ini membuat perasaanku menjadi lebih tenang. Aku benar-benar menangis saat membaca nasehat dari kamu. Bukan karena sedih, tapi karena merasa ada dorongan semangat yang menghangat di hati ini. Meskipun kita tidak saling mengenal di dunia nyata, tapi aku sangat bersyukur memiliki kamu. Aku merasa senang setiap kali kita bertukar pesan. Apa mungkin… kita bisa bertemu di dunia nyata…?’
Dina tersenyum. Dan kemudian mengirimkan pesan itu dengan rasa senang dan tenang.
Tapi beberapa saat kemudian dia mendengar suara Rianti yang memekik dari luar sana.
“GUE PULAAANG…!”
Deg.
Dina sontak terjaga dan melotot. Dia kembali gugup. Apa yang harus dia katakan. Bagaimana dia harus menjelaskannya kepada Rianti? Dina bisa saja mengatakan semua apa adanya. Tapi apa Rianti akan percaya?
Dina mengigit kuku jari tangannya gugup dan jantungnya nyaris melompat tatkala Rianti tiba-tiba saja menampakkan wajahnya dari balik tirai kamar berwarna biru itu.
“DINA…!”
Dina langsung memegangi d**a-nya dengan mata melotot. Aliran napasnya sempat terhenti sejenak.
Rianti malah menyeringai. “Hehehehe. Lo kaget ya? Maaf deh!”
Dina masih melongo. Sementara Rianti melangkah masuk ke dalam kamar itu, lalu mengganti seragam karatenya dengan baju rumah.
Sementara Dina masih terpana menatapnya, tanpa berkedip.
“Gue tadi udah langsung mandi di tempat latihan. Jadi lo jangan julit ngatain gue karena langsung ganti baju.” Rianti berucap sendiri.
Dina mengernyit bingung. Kenapa Rianti tidak membahas tentang Dion sama sekali.
“Ibuk belum pulang juga, ya?” tanya Rianti.
Dina menggeleng. “Belum.”
“Oh, yaudah deh. Abis ini kita berdua mulai aja bantu kupas-kupasin dan potong-potongin bahan jualan besok, ya,” ajak Rianti lagi.
Dina mengangguk.
Rianti bersikap biasa saja. Dia bahkan tidak menyinggung tentang Dion sama sekali. Tapi sikap Rianti itu justru membuat Dina lebih cemas dan bingung lagi. Akhirnya setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Dina pun akhirnya bersuara.
“T-tadi si Di--” kalimat Dina malah terputus ketika Rianti menatap kepadanya.
“Tadi apa?” tanya Rianti.
“T-tadi si Dion dia….”
“Oh… iya. Dia udah nelpon gue kok. Katanya dia langsung cabut karena bokapnya nyariin,” sahut Rianti.
Eh.
Dina malah tertegun.
“Ayok kita keluar!” ajak Rianti kemudian.
Walau masih merasa sedikit bingung, Dina pun kemudian mengangguk senang. “Iya.”
**
Keesokan harinya…
Sore ini Dion sedang bermain bola bersama teman-temannya di sebuah lapangan dari tanah yang terlihat cukup gersang. Kabut dari tanah berwarna cokelat itu beterbangan ketika kaki-kaki perkasa menapakinya. Suara sorakan para pemain yang meminta operan bola, memberikan intruksi untuk melakukan taktik pun silih berganti terdengar.
“Nice!” Dion tersenyum saat rekan satu timnya bisa melakukan manuver yang epick ke ranah kekuasaan lawan.
Cucuran peluh sudah membasahi wajahnya, tapi senyuman di wajahnya itu menggambarkan betapa Dion sangat menyukai aktivitas itu. Dia memang mencintai sepak bola sebagai bagian dari hidupnya. Sejak kecil Dion memang sangat gemar dengan si kulit bundar. Sewaktu sekolah dasar, dia bahkan sempat tergabung dalam sebuah klub sepak bola junior. Selain itu, selama masa SD-nya itu, Dion selalu menjadikan seragam bola sebagai outfit hariannya. Hingga kemudian obesitas sempat menghalangi hobinya itu. Dion memang sempat melalui fase di mana bobot badannya melonjak naik.
Tapi saat itu pun dia masih dengan hobinya bermain bola, tapi tidak lagi di lapangan, melainkan di televisi alias bermain playstation.
Permainan itu pun terus berlangsung. Beberapa kali Dion sempat tersungkur ke lapangan tanah yang kering itu, tapi dia malah tertawa. Keseruan itu terus berlangsung hingga langit senja sudah memerah. Tampaknya hanya suara adzan magrib-lah yang nanti akan membubarkan mereka.
“Lanjut sampe adzan, yo!” teriak seorang cowok dengan rambut nyaris pelontos seraya menyeka peluhnya.
“Iya. Tenang aja! Hajar ampe malam pun boleh,” pungkas Dion.
Yang lainnya pun mengangguk setuju dan juga menimpali jawaban itu.
“Pokok e sampe modyar!”
“Gas aja terus, Gan!”
Keseruan itu pun berlanjut. Tapi kemudian ada seorang anak lelaki berbadan gendut yang berlari tergopoh-gopoh ke tengah lapangan. Kehadirannya membuat permainan itu terhenti. Sang bocah langsung menghampiri Dion yang kini sedang berdiri berkacak pinggang. Dengan napasnya yang terengah-engah.
“Ada apa, Bon?”
Ternyata bocah itu bernama Boni.
“Ada yang nyariin Abang, noh,” jawab Boni.
Dion mengernyit bingung. “Siapa?”
“Aku juga nggak tau bang. Tapi orangnya cakep!”
“Cewek?”
“Berbatang, Bang!”
Jawaban Boni pun langsung mengundang gelak tawa. Tapi Dion langsung menoyor kepala bocah itu agar tidak terbiasa berkata sembarangan.
“Di mana dia?” tanya Dion lagi.
“Di warung Bang Jamal, di depan,” jawab Boni.
Dion menghela napas panjang. Sedikit kesal karena ada yang mengganggu kesenangannya sore ini. Tapi di sisi lain dia juga penasaran. Siapa yang datang mencarinya e tempat ini. Apa jangan-jangan Asep?
Kalau sampai itu adalah Asep, Dion benar-benar tidak akan mengampuninya. Karena terkadang Asep memang suka jahil seperti itu.
Dion beralih menatap teman-temannya. “Gue ke depan dulu, ya. Ntar gue balik. Jadi kalian jangan coba-coba buat bubar.”
“Siap komandan!”
“Aman, Bos!”
“Sip…!”
“Wokkeh…!”
Jawaban-jawaban yang super atraktif itu pun membuat Dion tersenyum dan kemudian melangkah pergi bersama si bocil Boni.
“Ciri-ciri orangnya gimana?” tanya Dion lagi.
Boni memutar bola matanya berpikir. “Emmm… orangnya putih, tinggi terus wangi, Bang!”
Dion menelengkan kepalanya. Semua ciri-ciri itu menggagalkan dugaannya. Jelas sekali bahwa itu bukan Asep yang dekil, pendek dan bau. Dion terus berjalan. Dia menuju sebuah warung di tepi lapangan itu, bagian ke tenggara. Setiba di sana, langkah Dion sedikit melambat saat melihat seorang lelaki yang kini duduk membelakanginya.
Dion mengernyit.
Punggung yang kekar dengan potongan rambut yang rapi itu agaknya sedikit familiar untuknya. Dion rasa-rasa mengenal sosok itu. Dan ketika lelaki itu memutar tubuhnya, dion pun sedikit terkejut karena dugaannya itu benar.
Dia menatap tak percaya dan kemudian menyebut nama itu.
“B-Bagas …!?”