Dina dan Bagas kini berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai. Hari ini Bagas kembali memperlakukan Dina layaknya seorang putri. Seperti layaknya seorang kekasih yang memang ia cintai dan ia jaga. Sepertinya segala kemarahan dan masalah yang berhubungan dengan Dion di masa lalu, sudah sepenuhnya hilang di hati dan juga ingatan Bagas.
Semua berawal ketika Bagas selesai latihan bola. Dia kemudian mengajak Dina untuk makan berdua. Tapi Dina terkejut karena ternyata Bagas membawanya makan di sebuah restoran mewah yang terletak di dalam pusat perbelanjaan yang mewah itu. Bagas mengajak Dina makan di sebuah restoran khas Jepang. Dina pun membelalak saat melihat harga makanan di daftar menu. Dia bersusah payah memilih jenis meni paling murah, tapi harga yang tertera pun masih terasa sangat mahal bagi Dina.
Dina merasa tidak yakin dan juga merasa tidak enak. Dia mengajak Bagas dengan suara berbisik agar mereka pergi saja dari tempat itu dan makan di tempat biasa saja. Tapi Bagas hanya tersenyum dan memaksa Dina untuk memilih menu. Dan acara makan mewah itu pun tercipta. Menjadi pengalaman pertama untuk Dina merasakan makanan di tempat-tempat seperti itu.
Malang sekali memang, Dina selalu terkungkung dalam keterbelakangan karena latar belakangnya. Beruntung selama ini ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Dina adalah gadis yang penuh rasa syukur. Bisa hidup di dunia ini saja sudah menjadi berkah yang sangat indah baginya.
Setelah itu keduanya juga lanjut berkeliling.
“Kamu yakin sudah kenyang?” tanya Bagas.
Dina mengangguk. “Iya. Aku sudah kenyang.”
“Kalau belum kita bisa hunting makanan lagi.” Bagas mengusap puncak kepala Dina.
Dina menggeleng. “Aku beneran sudah kenyang.”
Bagas mengangguk-angguk. Setelah itu dia mengulurkan telapak tangannya. Dina pun mengernyit melihat telapak tangan yang menengadah itu. Dia tak mengerti maksudnya. Dina pun menatap Bagas.
“A-aku hanya ingin berbimbingan tangan. Tapi kalau kamu ngerasa keberatan, ya nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok,” jelas Bagas panjang lebar.
Dina menatap Bagas lekat-lekat. Sementara lelaki itu pipinya mulai memerah karena malu.
“Jadi kamu mau jalan sambil pegangan tangan gitu?” tanya Dina.
Bagas berdehem, lalu mengangguk. Dia tampak malu sekarang.
Dina tergelak. “Baiklah kalau begitu.”
Bagas menatap telapak tangan Dina yang kini ditengadahkan di depannya. Kemudian ia tersenyum dan menggenggam tangan itu.
Keduanya saling pandang, lalu sama-sama tersenyum. Romansa cinta masa muda itu kembali bangkit. Keduanya lanjut berjalan seraya berbimbingan tangan. Berkali-kali Bagas mengajak Dina untuk memasuki area bermain, atau area yang menjual pakaian perempuan, tapi Dina menolaknya.
“Berjalan-jalan seperti ini saja sudah membuat aku sangat senang,” ucap Dina.
“Kita bisa bermain di sana, Din… ada banyak permainan yang seru,” tukas Bagas membujuk.
Dina menggeleng.
“Kenapa kamu nggak mau?” suara Bagas terdengar lembut.
Dina menatap tangan mereka yang masih berpegangan erat dan kemudian menatap Bagas.
“Aku masih ingin seperti ini saja,” ucap Dina malu-malu.
Bagas pun mengulum senyum, lalu mengangguk. Dia menggenggam tangan Dina lebih erat lagi dan kemudian mereka lanjut melangkah.
“Semoga seterusnya kita baik-baik seperti ini, ya,” ucap Bagas kemudian.
Dina terdiam sejenak. “Hmmm… sejujurnya sampai detik ini aku masih merasa bersalah sama kamu.”
“Kenapa?” tanya Bagas.
Dina tersenyum tipis. “Aku merasa bahwa akulah yang mengubah kamu menjadi orang lain untuk sejenak.”
Bagas mengernyitkan dahinya. Langkahnya terhenti dan kini ia menatap Dina. “Orang lain?”
Dina mengangguk. “Iya. Kemarin itu kamu benar-benar bersikap seperti orang lain setelah masalah itu muncul. Dan sekarang kamu sudah kembali seperti kamu yang aku kenal.”
Bagas terdiam. Dia tertunduk sebentar. Bukan dia berubah menjadi orang lain. Tapi dia menjadi dirinya sendiri ketika marah. Dia menunjukkan jati dirinya saat semua tidak terkendali. Dina jelas sudah salah kaprah. Justru sikap Bagas yang seperti sekarang ini adalah sebuah kepalsuan. Bagas seperti memiliki kepribadian ganda tergantung dengan suasana hatinya. Bagas pun membenci fakta itu. Dia merasa palsu dengan segala kebaikan dan kelembutan yang ia tampilkan. Bagas pun muak pada dirinya. Semua juga sulit untuknya. Bersikap layaknya seperti seorang pangeran muda yang berwibawa membuatnya lelah. Membangun image sebagai pemuda baik terasa sulit.
Bagas juga lelah dengan topengnya. Ia sudah sangat kesulitan menyembunyikan jati diri dan latar belakang keluarganya. Sekarang ia juga haus berperan sebagai Bagas yang baik, Bagas yang cerdas. Bagas yang sebenarnya adalah bukan dirinya sendiri.
“Sekali lagi maafin aku, ya… dan aku harap kamu tidak pernah lagi seperti itu. Menjadi sosok lain seperti itu,” ucap Dina lagi.
Bagas pun menatap sayu. Helaan napasnya berubah sesak. Bibirnya bergerak pelan seperti hendak berkata.
Terbersit dibenaknya untuk jujur.
Untuk mengatakan sisi lainnya pada Dina. Ingin rasanya Bagas jujur saja tentang semuanya. Tentang latar belakangnya dan juga tentang kepribadiannya. Tapi ketakutan itu dengan cepat menari-nari di kepala. Bagas takut jika ia berkata yang sesungguhnya, Dina malah pergi meninggalkannya.
Bagas pun tidak bisa menampik bahwa dia memang sangat mencintai Dina. Itu jugalah alasannya kenapa selama ini Bagas bisa menahan diri untuk tidak merusak gadis itu. Bagas dengan ‘kelainan’nya memilih untuk melampiaskannya kepada orang lain saja. Cara itu pun tetap salah, tapi setidaknya Bagas berhasil ‘menyelamatkan’ Dina dari sisi liarnya. Karena rasa cinta yang teramat besar itu jugalah Bagas jadi lebih mudah cemburu. Dia benar-benar takut Dina direbut oleh orang lain.
Ketakutan itulah kadang yang membuat Bagas menjadi lepas kontrol. Membuat sisi lain dalam dirinya menguasai hatid an juga pikirannya.
“Kenapa kamu malah bengong?” tegur Dina.
Bagas tersadar. Butuh beberapa detik baginya untuk benar-benar bisa menguasai dirinya lagi.
“A-apa kamu benar-benar mencintai aku?” tanya Bagas.
Dina tergelak. “Ada apa?”
“Jawab saja!”
Dina masih tertawa, tapi kemudian ia mengangguk dan juga menatap Bagas dengan binar mata yang tulus.
“Tentu saja. Aku sangat mencintai kamu.”
Bagas tersenyum. “Sebenarnya aku ingin menceritakan satu rahasia, tapi…..”
Dina mengerutkan dahi. “R-ahasia apa?”
Bagas menggigit bibirnya sendiri. Dia terlihat ragu, tapi ingin memaksakan dirinya. Berharap nantinya Dina akan mengerti dan menerima Bagas apa adanya. Bagas pun akan berjanji coba mengubah diri nantinya. Itulah skenario yang kini ada di benak Bagas. Dia coba meyakinkan diri bahwa semua akan tetap baik-baik saja. Dina akan tetap berada di sisinya. Tapi saat Bagas membuka mulutnya untuk bersuara, Dina malah bicara lebih dulu.
“Nanti saja… kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakannya.”