° Dokter Cinta Sissy - 1 °

1173 Words
Suara ketukAtaatau lebih tepatnya gedoran dipintu kamar membuat tidur Sissy terganggu. "Berisik deeek. Pagi-pagi ganggu orang tidur aja." Sissy kembali ketempat tidurnya. "Tutup pintu." perintahnya. "Teteh ini, nggak berubah iih. Ini udah siang masa masih tidur. Banguuun." "Hmmmm." Cilla mendengus ketika mendengar jawaban Sissy. "Kalau teteh nggak bangun, aku kasih tahu papa kalau teteh pernah maen ke Bar." Sissy terlonjak bangun mendengar ancaman Cilla. Gawat kalau sampai Xavier tahu jika dirinya ke Bar, bisa-bisa dia tak di izinkan lagi untuk balapan. Dia ke Bar pun tidak pernah menyentuh minuman beralkohol. Sissy kesana hanya menghormati undangan rekannya saja. "Ck, nggak asik kamu." Sissy berdecak kesal namun tetap bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. °•°•°•° "Morning, Pa, Bun, dek." sapa Sissy pada Xavier, Eva dan Cilla yang sedang asik mengunyah sandwich miliknya. "Morning sayang. Kamu ada kuliah pagi hari ini, Teh?" tanya Eva. "Iya, Bun. Emang kenapa?" "Nghak bisa anterin adek?" "Udah deh Bun, aku nggak apa-apa kok. Kan kemaren cuma demam aja, ish jadi berasa bocah." sahut Cilla dengan bibir cemberut. "Emang kamu bocah, buktinya masih di panggil adek. Wleek." Sissy menjulurkan lidahnya ke arah Cilla. "Udah, kok malah ribut." tegur Xavier pada kedua putrinya. "Kamu, dek. Ke kampus mau apa? Bukannya hari ini kamu nggak ada kelas?" "Cilla cuma mau nganterin tugas aja kok pa. Cuma sebentar abis itu janji langsung pulang." "Kamu, teh. Kelas jam berapa?" "Jam 10 pa." "Jam 10. Ini baru jam." Xavier melihat jam ditangan kanannya. "Jam 7. Jadi masih bisa kamu anter adek kekampusnya abis itu tungguin bentar, anter adek pulang, baru kamu kuliah." "Ya Pa." sahut Sissy dan Cilla bersamaan. Tak akan ada yang sanggup membantah jika sang Raja sudah memberikan titah. °•°•°•° Setelan Sissy cukup simple dengan kaus lengan pendek bergaris yang di lapisi jaket jeans dan juga celana jeans yg robek-robek. Sedangkan Cilla mengenakan pakaian santai dengan jump suit bunga-bunga juga kaos coklat polos. "Tunggu bentar ya teh, aku cuma 15 menit kok." setelah mengucapkan itu Cilla keluar dari mobil dan berlari masuk ke gedung fakultasnya. Setelah menjadi lulusan terbaik dan Cumlaude dari Le Cordon Bleu Institute of Culinary Arts, Paris. Cilla mengambil jurusan bisnis di Bandung. Saat ini pun dia sedang menyusun skripsinya. Sissy menoleh ketika ada yang menepuk pundaknya. Mengerenyit bingung saat melihat lelaki, yang bisa dikatakan tampan memakai earphone dan tersenyum kearahnya. Sissy menaikan alisnya bingung karena dia tak mengenal lelaki di depannya. "Ck, kamu lupa sama aku?" tanya lelaki itu karena melihat Sissy yang bingung menatapnya. "Gue nggak kenal lo." ucap Sissy judes. "Aku Gio yang kemaren kenalan sama kamu, Cill. " Oh jadi dia ngira gue si adek. Sissy menggelengkan kepalanya, lalu berkata "Kayaknya lo salah orang. Gue bukan Pricilla tapi Prissy. " "Nghak mungkin." "Itu mungkin, permisi." Sissy masuk kembali ke dalam mobil. Merasa jengah karena sedari awal dia duduk di kap mobilnya tadi dia sudah menjadi perhatian. °•°•°•° Di tempat lain, Cilla baru saja menyerahkan tugasnya dan mengatur jadwal dengan dosen pembimbingnya. "Hai." Dhigo masih muncul dengan senyum khas miliknya. "Loh a' Dhigo, kok tahu aku di sini?" "Tadi aku liat kamu lari ke sini jadi aku tungguin. Sama Sissy ya?" "Iya, temuin gih." suruh Cilla dan di jawab gelengan dari Dhigo. "Kenapa? Dari pada nanyain terus gimana si teteh." "Aku udah buat satu kesepakatan sama Sissy yang nggak mungkin aku langgar." "Huh, sudahlah. Kalau gitu aku pulang dulu ya. Dah a Dhigo." Cilla pamit pada Dhigo dan berjalan menuju mobil Sissy. Aku kangen sama kamu, Sy. Aku akan buktiin bahwa kamu bisa banggain aku sebagai dokter hebat. Tunggu aku. Bisik Dhigo lirih saat melihat Sissy keluar dari mobilnya. Dhigo ke kantin dan bergabung dengan sahabat-sahabatnya yang sedang asik membicarakan wanita yang akan menjadi taruhan mereka. Gio, Andika, Andre dan Wingky adalah sahabat Dhigo sejak SMA. Kecuali Gio yang baru bergabung dengan mereka ketika ospek. "Eh, lo masih inget si kembar Domani?" tanya Andre "Iyalah inget, orang salah satu dari mereka bisa buat sahabat kita gila." sahut Andika tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang ada di tangannya. "Gimana kalo si tomboy rambut panjang?" usul Wingky "Pricilla Domani maksud lo?" "Iya lah sia..." "Jangan macem-macem kalo nggak mau ngerasain bogeman gue." potong Dhigo. "Sekali kalian nyentuh Pricilla, gue nggak segan-segan bikin lo semua nanggung akibatnya. Bukan hanya dari gue tapi juga dari keluarga Athar dan Domani. Lo semua tahu sendiri bagaimana dua keluarga itu." lanjut Dhigo memperingati para sahabatnya. Tentu saja, siapa yang tak mengenal dua keluarga itu. Rata-rata dari mereka pengusaha dan juga perwira, ada yang polisi, AD, AL bahkan AU. Semua sahabat Dhigo ini b******k, selalu berpindah dari satu lubang ke lubang yang lain. You know what i mean. Meskipun begitu, Dhigo nyaman bersahabat dengan mereka karena mereka juga selalu mengerti Dhigo. "Ok, kita nhgak bakalan gangguin Pricilla. Maruk amat lo, kakak adek diembat semua." sungut Andre. Dhigo mengendikan bahunya lalu menatap kearah Gio yang sedari tadi tidak bersuara. Dia tak peduli tanggapan sahabatnya. "Gue ke perpus dulu." "Gue ikut." ucap Gio, lalu membereskan tasnya dan berjalan menyusul Dhigo. "Tumben lo ngelarang anak-anak taruhan?" tanya Gio heran "Gue nggak ngelarang mereka ngelakuin hal bodoh yang emang udah jadi agenda mereka tapi gue gak mau kalau yang mereka incer itu Pricilla." jelas Digo "Lo, suka sama Pricilla?" tanya Gio ragu. Dhigo berhenti dan menatap Gio sesaat lalu melanjutkan langkahnya. "Nggak sama sekali." ujar Dhigo. "Tapi gue sayang sama dia. Siapapun yang nyakitin dia berhadapan sama gue." lanjut Digo sebelum tangannya mendorong pintu kaca perpustakaan. Gio melihat Dhigo dengan pandangan yang sulit di artikan. Namun dalam otaknya ada satu rencana yang akan dia buat untuk menghapus rasa penasarannya pada seseorang. Gio akan melakukan itu secepat mungkin. Entah kenapa Dhigo merasakan sesuatu yang beda dari awal dia mengenal Gio. Dari itu Dhigo jarang membicarakan sesuatu dengan Gio, dia lebih memilih Wingki, Andre atau Andika jadi tempat sampahnya. Dhigo harus waspada, di parkiran kampus tadi dia melihat jelas bagaimana Gio menatap Sissy yang saat itu Gio kira Cilla dengan pandangan yang memuja dan bernafsu sekaligus, ayolah Dhigo juga seorang lelaki dia bisa membedakan pandangan sesamanya. "Lo awasin Gio. Perasaan gue mengatakan dia bakalan ngelakuin sesuatu." perintah Dhigo pada orang di sebrang sana. "Jangan berprasangka buruk dulu, bro. Siapa tahu dia emang gitu orangnya. " "Nggak usah ngatur gue. Kalo sampe ada sesuatu hal yang terjadi sama Cilla, jangan salahin gue kalo lo semua nerima akibatnya. " "Ya elah, nyantai. Kita lebih percaya sama lo. Ok, lo tenang aja. Biar ini jadi urusan gue, Andika sama Wingki. Lo fokus aja sama tugas lo." "Ok thanks bro." "Giliran gini aja baru pake bro, tadi aja marah kayak emak-emak yang mau lahiran. " cibir Andre dan langsung mematikannya karena dia pasti tak mau menerima ocehan panjang dari Dhigo. "Cabut guys, kita dapet tugas dari sobat resek." ajak Andre setelah memasukan kembali ponselnya. "Gio lagi?" tanya Wingki dan di jawab anggukan oleh Andre. "Ya udah, ayok dari pada entar gue dijadiin Digo bahan praktek bedahnya, hiiiih." sambung Wingki membayangkan Dhigo dengan pisau operasi di tangannya sambil menyeringai kejam ke arahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD