"Muncullah! Tidak usah bersembunyi lagi. Bau tubuhmu itu sungguh membuat aku mual!" Bicara Rafa dengan wajah tanpa ekspresi
"Ck! Ck! Sepertinya dirimu harus belajar sopan santun." Ucap satu suara perempuan, sambil berdecak sebal.
Mendadak muncul seorang perempuan, mengenakan setelan hitam dengan dandanan yang cukup menor sekali. Duduk di atas sofa di tengah ruangan. Kaki panjangnya bersilang sambil bersedekap d**a. Menatap pada Rafa dengan tatapan sinis.
Dia adalah Darlani. Sang malaikat maut yang begitu ditakuti oleh entitas yang bisa melihatnya. Apalagi para roh yang dijemputnya. Hanya Rafa yang berani melemparkan kata-kata seperti itu padanya. Tidak dengan yang lainnya.
"Katakan cepat tanpa basa-basi." Titah Rafa kemudian, dengan tidak ada keramahan dalam setiap nada bicara yang terlontar dari bibirnya.
"Perempuan itu, dia adalah cobaan terakhir dan terberat buat kamu. karena takdirmu terikat dengan takdirnya Jessica. Jika kau berhasil menuntunnya merubah takdir. Maka aku akan mengembalikan kamu ke dalam tubuhmu secara utuh." Bicara Darlani tanpa basa-basi sesuai permintaan Rafa.
"Hanya itu?" Tanya Rafa dengan kening mengkerut menatap pada Darlani.
"Iya hanya itu." Ucap Darlani lagi sebelum menghilangkan diri dengan senyum misterius yang tercetak pada wajahnya.
"Aku pegang kata-katamu Darlani." Desis Rafa dengan tatapan yang mencuat tajam. Menatap pada dinding kosong di depannya.
Dia adalah Rafael Alvarendra. Pria itu terlalu misterius. Menutup rapat tentang jati dirinya daripada publik, dengan menanggalkan identitasnya sebagai salah seorang Alvarendra.
Semua orang mengenal nama keluarga Alvarendra. Namun tidak ada siapapun yang tahu kemana perginya keluarga besar itu yang menghilang dalam waktu satu malam.
Menit kemudiannya, Rafa melangkah keluar dari ruangannya sambil menenteng stetoskop ditangan kanannya.
"Visit pasien dok?" Tanya salah seorang dari suster yang berpapasan dengan Rafa. Saat pria itu sedang menyusuri koridor rumah sakit menuju eskalator untuk ke lantai tiga. Hanya mendapatkan anggukan mantap dari Rafa.
…
Bangsal 15 lantai tiga.
Marcell juga sedang melakukan visit pasien bersama tim nya. Dokter tampan berusia 29 tahun itu juga salah seorang dokter yang begitu disegani di rumah sakit Cahaya Medika. Selain disegani karena keterampilan nya yang begitu mumpuni saat menangani pasien, Marcell adalah menantu kepada pemilik rumah sakit Cahaya Medika. Yaitu Wisnu Atmadja.
"Bagaimana kondisinya? Apakah pasien masih mengeluh sakit pada bagian dadanya?" Tanya Marcell pada pembantunya.
Namun belum sempat dokter muda itu membuka bicara, untuk menjawab pertanyaannya Marcell tersebut. Pintu bangsal di buka seseorang dari arah luar.
Aura dingin seketika menguar memenuhi ruangan, seiring dengan langkah pertama kakinya memasuki kamar rawat pasien.
"Dokter Rafa." Cicit suster dari tim nya Marcell.
Sukses membuat semua orang melangkah mundur memberikan ruang pada Rafa. Namun tidak dengan Marcell. Harga dirinya dipertaruhkan, jika dirinya mundur dan mengalah kepada dokter Rafael. Maka akan berhembuslah gosip miring yang akan membanding-bandingkan dirinya dengan pria cuek dan dingin itu. Membuat semua orang semakin memuja seorang Rafael. Tidak! Marcell tidak sudi!
'Siapa dia sebenarnya?' batin Marcell dalam diam. Memperhatikan setiap gerak geriknya Rafa.
"Maaf dokter Rafa.."
"Dia juga pasienku. Aku hanya butuh lima menit setelah itu kalian lanjut." Jawab Rafa memotong cepat kalimatnya Marcell.
"Kamu!.-"
Marcell tidak jadi meneruskan kalimatnya. Setelah mendapatkan tatapan tajam dari Rafa. Seketika bulu kuduknya meremang. Lalu melangkah mundur satu langkah kebelakang.
Suhu di dalam ruangan itu juga mendadak minus 50 derajat celcius. Sehingga membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan itu menggigil karena kedinginan.
"Silahkan dokter Rafa." Ujar Marcell kemudiannya. Pilih mengalah juga pada akhirnya.
Rafa beranjak melakukan pekerjaannya dan perlahan suhu kembali normal.
"Apakah lukanya masih sakit?"
"Sudah baikan dok."
Rafa mulai mengecek luka operasi kemudian sebelum berlalu pergi. Pria itu memberikan beberapa wejangan pada pasien. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukannya agar masa pemulihannya lebih cepat.
Tepat lima menit, waktu yang dibutuhkan oleh Rafa mengecek pasiennya. Kemudian pria itu melangkah pergi dari sana untuk mengecek pasien yang lainnya.
"Sungguh menegangkan. Aku merasa seperti ketemu dengan salah seorang ‘grim reaper!" Celetuk dokter anestesi tim Marcell. Bergidik ngeri menatap pada daun pintu yang sudah tertutup rapat. “Untung nyawaku masih aman.” imbuhnya lagi.
"Terlalu sering nonton drakor kali dok? Mana ada sih grim reaper seganteng itu. Eh tapi benar juga sih. Aku juga merasakan hal yang sama kok." Imbuh salah seorang lagi temannya.
"Apakah kalian mau bekerja atau bergosip?" Tanya Marcell tiba-tiba. Membuat pembicaraan mereka tentang Rafa, terhenti begitu saja.
“Maafkan kami dok.” ucap semuanya serempak.
Setelah usai melakukan visit pasien. Marcell tidak langsung keruangannya. Pria tampan itu lantas menuju lantai tujuh. Tujuannya adalah ruangan Wisnu Atmadja.
Tok! Tok!
“Masuk!”
Marcell menekan tuas pintu, sebelum menolaknya. Melangkah masuk keruangan yang begitu luas dengan gaya desain modern.
“Bagaimana dengan Jessica?” tanya Wisnu pada menantunya itu. Sebaik saja b****g Marcell mendarat dengan aman di atas sofa, tengah ruangan.
“Apakah papa yang mengirim orang untuk berjaga di depan bangsalnya Jessica?” balik Marcell yang melontarkan pertanyaan. Pilih abai dengan pertanyaan pria paruh baya yang kini sedang bingkas bangkit dari kursi kebesarannya. Lalu mengambil tempat duduk di hadapannya.
“Papa hanya mencoba meminimalkan masalah.” jawab Wisnu dengan tatapan tanpa ekspresi.
Sementara Marcell, pria itu tampak lelah “lupakan Jessica. Karena aku sudah meminta Sandra untuk menambahkan dosis obatnya.” menjeda seketika ucapannya “Dokter Rafael, siapa dia sebenarnya?” tanya Marcell dengan tatapan yang menuntut sebuah penjelasan dari Wisnu.
Seketika Wisnu menarik napas dalam kemudian membuangnya dengan kasar “dia adalah dokter bedah torak terbaik Cahaya Medika. Jujur papa belum pernah bertemu dengannya. Hanya saja papa sering mendengar tentang dia lewat pembicaraan dari para petinggi dan profesor rumah sakit. Ada apa dengan dokter Rafa?” tanya Wisnu setelah memberikan penjelasan.
“Jika prestasinya itu, aku juga tahu pa. Yang aku tanyakan, adalah latar belakangnya dia. Aku bisa merasakan kalau Rafa itu bukan pria sembarang. Auranya itu membuat bulu kuduk ku meremang. Malah setiap ada dia. Akan adanya bunyi gagak. Bukankah itu semua aneh.” cetus Marcell dengan kening yang mengkerut.
“Marcell.. Apakah dokter Sandra juga menyuntikmu dengan cairan obat yang seharusnya di suntik pada Jessica?” tanya Wisnu dengan tatapan heran.
“Pa, lelucon ini sama sekali tidak lucu.” tegas Marcell dengan rahang yang mengeras sempurna.
Seketika Wisnu menegang “maksud kamu apa Marcell?”
“Aku tanyakan pada papa. Apakah baik buruknya emosi seseorang itu bisa ngaruh pada suhu ruangan? Tidak bisa kan?” tanya Marcell menatap lekat wajah Wisnu.
“Manusia biasa tidak akan pernah bisa mengawal suhu Marcell. Jangan bilang..”
“Jika papa meragukan perkataanku. Papa bisa menanyakan kebenarannya pada personil tim aku, mereka juga menggigil kedinginan saat suhu di bangsal pasien mendadak drop minus lima puluh derajat!”
“Sulit dipercaya!” Wisnu menggeleng tidak percaya.
Namun ekspresi wajahnya Marcell jelas membuktikan, jika pria itu tidak berbohong. “Lalu apa yang mau kamu lakukan?” tanya Wisnu pada menantunya.
Seketika pria paruh baya itu teringat akan omongan wanita gipsy yang sempat mereka temui beberapa bulan silam.
‘Kau bisa menguasai semuanya dan menjadi raja di kotamu, namun satu saat akan ada yang mencoba merubah takdirnya dan takdirmu juga akan berubah.’
“Apakah dia?” gumam Wisnu antara percaya atau tidak. “Ngawur!”