Bab 5

1270 Words
Pagi menjelma. Klek! Aku menatap pada daun pintu yang terbuka luas. Tampak dokter Sandra sedang melenggang masuk dengan dandanan yang cukup menor sekali. ‘Tumben amat dokter Sandra dandan seperti ini. Jangan bilang perempuan itu kesurupan deh.' batinku dalam diam. “Pagi nona Jessica, bagaimana? Sudah tidak berhalusinasi lagi kan? Sekarang nona sudah bisa pulang kerumah.” Aku seketika tercengang kaget mendengarkan perkataan yang baru saja terlontar dari bibir dokter Sandra. Memang boleh se sat-set ini dokter Sandra memberikan aku izin keluar dari rumah sakit? Tidak harus diskusi dulu gitu sama mas Marcell? “Dok, beneran saya sudah boleh pulang?” tanyaku sambil menajamkan lagi indra pendengaran, agar aku tidak salah mendengar dan berujung salah paham. “Kenapa? Sepertinya nona betah sekali berlama-lama disini.” ujar Dokter Sandra sambil mengedipkan sebelah matanya menatap padaku. Genit! Ini bukan gayanya dokter Sandra. “Oh! Tentu saja tidak. Siapa yang betah menjadi pasien lama-lama. Pasien sakit jiwa pula,” aku menyela cepat ucapan dokter wanita itu. Meski aku ragu apakah dia beneran dokter Sandra, atau dokter Sandra gadungan. Ada yang aneh, aku tahu sekali jika dokter Sandra itu adalah temannya Marcell. Tidak mungkin semudah itu mereka melepaskan aku. Pasti ada campur tangannya dokter Rafa deh. Aku yakin sekali itu. ‘Ah! Bodo amat! Sekarang aku harus pergi dari sini secepatnya.’ aku membatin dalam diam. Melompat turun dari brankar pasien. Kuraih dress berwarna hitam dari dalam lemari kemudian masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. “Kau harus pulang kerumahmu untuk mengelak dari kecurigaan Marcell dan Wisnu.” ucap satu suara di kupingku. “Arrrgh!!! Apa yang kamu lakukan di sini?” bentak ku pada Rafa. Pria itu terlihat santai sekali berdiri di samping aku, tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Pasti tadi kamu melihat aku mengganti pakaianku kan?” tanyaku dengan perasaan kesal dan malu yang sudah diubun-ubun. “Aku malah melihatmu bertelanjang. Kamu memiliki sepasang kaki yang bagus, kulit seputih s**u, kedua payu-” “Stop!! Aku bilang stop!” bentak ku dan itu sukses membungkam bibirnya Rafa, kemudian ia menatap padaku dengan tatapan tanpa ekspresi! “Dasar hantu m***m kamu! Sana pergi!” aku dengan cepat mengusir hantu pria itu pergi dari sampingku. Rafa benar-benar menghilang tanpa mengucapkan kata maaf padaku. Membuat aku tidak percaya saja dengan sikapnya yang begitu cuek. “Hah! Apakah perkataan 'maaf' itu mahal ya, buat diucapkan? Hantu itu sungguh menyebalkan!” aku terus menggerutu kesal dan tidak ada hentinya melontarkan sumpah serapah pada Rafa. Setelah usai mengganti pakaian. Aku akhirnya mengambil tas tanganku yang berada di dalam laci kemudian melangkah keluar dari ruangan untuk mengurus administrasi. “Sayang..” Suara itu! “Tenang Jess tenang, kamu harus bertenang, jangan gegabah.” gumamku pada diri sendiri. Lantas berbalik tubuh lalu menghadap pada sumber suara, sambil mengulas senyum. Aku baru sadar, ternyata berpura-pura itu cukup sulit. “Kamu kenapa keluar dari kamar?” Aku mengangkat tinggi kertas di tanganku “mengurus administrasi mas. Aku sudah dibolehkan pulang oleh dokter Sandra barusan, karena katanya aku sudah sembuh total.” jawabku menyembunyikan perasaan yang sebenar. “Kenapa dokter Sandra malah tidak mengabari mas tentang ini.” Ku telisik wajah tampan di depanku ini. Ternyata dari gurat wajahnya begitu kentara sekali ketidakpuasan hatinya, membuat aku tersenyum puas di dalam hati. ‘Kenapa mas? Apakah kamu kecewa karena aku masih bisa hidup setidaknya sehingga besok.’ batinku. Masih lagi menatap pada wajah bengongnya. “Iya sudah, mas antarkan kamu pulang ya. Sini, biar mas urus administrasinya dulu.” Demi tidak mau membuat Marcell curiga, aku menyerahkan urusan administrasi kepadanya untuk diselesaikan. Namun pulang diantarkan olehnya. Aku tidak bisa mentolerir itu. ‘Aku lebih baik pulang diantarkan oleh sopir taksi daripada diantar suami b***t seperti kamu mas!’ “Oh iya mas. Hape ku mana?” aku menadahkan tangan meminta hape yang aku yakin sekali di sembunyikan oleh iblis bertopengkan manusia di depanku ini. “Kamu lupa apa yang sudah terjadi dengan hapemu?” Aku mengernyit “apa yang sudah terjadi dengan hape ku mas?” “Hape mu sudah rusak sayang.” “Oh ya? Iya sudah. Nanti aku beli hape baru saja kalau begitu.” ujarku kemudian sekali lagi berbalik tubuh untuk kembali melanjutkan langkahku. “Jessica, apakah ada perlakuan mas yang membuat kamu marah sayang hmm? Kenapa sekarang ini kamu malah terlihat acuh?” Andai saja aku tidak pernah tahu akan sifat aslinya Marcell yang pura-pura mencintaiku. Aku pasti sudah luluh mendengarkan nadanya yang begitu lembut dan peduli sekali padaku. Tampak sangat cinta dan begitu sayang padaku. Tapi nyatanya. “Aku tidak marah mas, hanya saja aku sedikit lelah. Mas pasti sibuk ngurusin pasien. Jadi mending aku pulangnya sendiri saja ya.” ujarku kembali lanjut melangkah meninggalkan Marcell di belakang yang aku yakin sekali, pria itu pasti sedang kebingungan melihat perubahan sikapku. Saat tiba di lobi rumah sakit, seseorang telah mencolek lenganku dari samping membuat aku reflek menoleh. “Anita! Nit bukannya kamu masih di luar negri ya?” tanya ku yang pura-pura kaget melihat kehadiran wanita itu. “Kapan aku keluar negeri Jess? Kamu ngawur? Emang kamu sudah dibolehkan pulang sama dokter Sandra?” tanya Anita dengan berpura-pura ramah. Aku harus acungin jempol dengan aktingnya Anita yang terlihat begitu natural sekali. Seakan tidak pernah berbuat dosa padaku. Wanita itu malah masih lagi memerankan sosok sahabat terbaik yang pernah aku miliki. “Oh! Gitu ya Nit, mungkin saja aku yang salah denger kemarin Mas Marcell bilang kalau kamu masih di luar negeri.” ucapku yang juga mulai akting. Menutupi rasa grogi menghadapi para musuhku. “Kamu mau pulang ya?” biar aku yang antar.” tawar Anita padaku. “Nit, apa tidak merepotkan dirimu?” tanyaku lagi. “Iya nggak lah Jess. Ayo! kek sama orang lain saja kamu, kalau sama orang lain ya boleh saja kamu sungkan. Kalau sama aku sih santai.” ucap Anita lantas menarik pergelangan tanganku menuju parkiran mobil diselingi tawanya yang terdengar renyah. ‘Iya Nit! Mulai detik ini juga. Aku tidak akan pernah sungkan untuk membalaskan dendamku padamu.’ batinku. Aku baru ngeh, ternyata Anita tidak memiliki pekerjaan. Tetapi wanita ini bisa menikmati kehidupan yang bergelimang harta. Mobil mahal. Pakaian, sepatu, tasnya semua bermerek internasional. Aku yakin sekali jika semua ini dibeli dengan uang milikku. Namun santai saja. Aku pasti dengan pelan merampas semuanya yang menjadi milikku. “Jess, maafkan aku ya. Aku tidak ada disampingmu saat bayi kamu meninggal.” cict Anita setelah duduk dengan nyaman di dalam mobil. Di dalam mobil miliknya Anita, aku bisa mencium bau wangi kamelia. Bukankah Marcell sangat menyukai bau ini. “Nggak papa kok Nit, kamu kan selalu ada buat aku selama aku dirawat di rumah sakit. oh iya. Dedek bayinya di kuburkan? Kamu bisa nggak antarkan aku ke kuburannya sebentar saja. Aku mau melawat dulu sebentar sebelum pulang kerumah.” “Duh! Anu.. Jess. ini gimana ya.” Anita terlihat serba salah dan salah tingkah. Kenak kamu! Dedek bayinya tidak pernah ada. Gimana mau ada kuburannya. Aku menjerit puas di dalam hatiku karena berhasil bikin Anita kelabakan. “Nggak papa Nit kalau kamu sibuk. Kamu antarkan aku pulang saja ya.” pintaku kemudiannya, dengan memasang wajah sesedih mungkin. Membuat Anita sepertinya sedang menghembus napas lega. “Bukannya aku nggak mau Jess. hanya saja-” ‘Hanya saja kalian masih belum mempersiapkan kuburan palsunya kan? Karena kalian mengira aku akan membusuk di dalam kamar pasien sakit jiwa.' batinku dalam diam. Aku pilih tidak menggubris omongan Anita yang sepertinya kesulitan untuk merangkai kata. Aku malah lebih pilih memejamkan mataku, dan hanya membuka mata setelah tiba di rumah nantinya. Melihat wajah Anita membuat hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan yang telah dilakukannya. Mereka bukan saja sudah menghianatiku. Malah mereka juga telah membunuh ibuku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD