BAB 5

1164 Words
Pagi hari yang cerah dengan kicaun burung-burung yang ada di langit menganggu seorang gadis cantik yang tengah tertidur pulas di kasurnya. Wanita itu terus menlenguh pelan dan kembali membalikkan tubuhnya. Tak hanya itu ia juga menegalamkan tubuhnya pada sebuah selimut tebal agar suara burung di pagi hari tak menganggu tidurnya. Sayangnya, walau ia menutup tubuhnya dengan selimut suara burung itu masih saja terdengar dan membuatnya semakin kesal dan marah. Wanita itu segera menurunkan selimutnya dan duduk. Salah satu tangannya mengambil bantalnya asal dan melemparnya ke tempat di mana asal burung tersebut. Suara burung yang hinggap di jendelanya seketika terbang menjauh saat bantai itu menubruk jendela hingga terdengar suara yang keras. Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya dan memposisikan tubuhnya senyaman mungkin. Namun, baru beberapa detik ia menutup mata, burung itu kembali ke jendelanya dan mengeluarkan suara yang sangat ribut baginya. Wanita itu yang tak lain bernama Fiona itu segera melepar bantal asal. Tapi, lemparannya malah menabrak meja yang di atasnya terdapat sebuah gelas. Alhasil gelas tersebut jatuh dan pecah di lantai. Suara gelas jatuh itu terdengar sangat keras. Membuat beberapa pelayan segera masuk ke kamar gadis tersebut dengan terburu-buru. “Ada apa, Nona.” “Burung itu sangat menganggu. Bisakah kau tangkap burung itu sekarang juga? Dan juga bersihkan kaca itu,” ujar Fiona memerintah sambil menunjuk burung yang ada di jendelanya lalu beralih pada gelas yang pecah di lantai. “Baik, Nona.” Salah satu pelayan lelaki segera mendekati jedela. Lelaki itu membukanya dan segera bersiap-siap menangkap burung tersebut. Sedangkan salah satu pelayan wanita membersihkan pecahan kaca yang jatuh di lantai. Saat melihat burung itu masih diam di tempatnya lelaki pelayan tersebut segera menangkapnya. Tapi sayang, burung itu terbang menjauh. Lelaki itu tetap berusaha menangkapnya dan hampir membutanya terjatuh. Untuknya dia segera berpegangan pada jendela. Melihat tingkah konyol pelayannya Fiona pun tertawa terbahak-bahak melihat penderitaan pelayannya menangkap burung. Tak hanya Fiona pelayan yang lain pun ikut tertawa. ***** Setelah berganti pakaian, Fiona segera turun ke lentai satu di mana orang tuanya sedang menunggunya untuk serapan pagi bersama. Para pelayan yang melihat Fiona menuruni tangga pun segera menunduk. Fiona tersenyum saat mendapati ibu dan ayahnya di ruang makan. “Ma ... Pa ... selama pagi ...” Fiona segera berlari kecil mendekati ibu dan ayahnya lalu segera membelikan pelukan dan kecupan singkat. “Selama pagi juga sayang. Bagaimana tidurmu? Apa kau tidur dengan nyenyak semalam?” “Emm. sangat nyenyak ... he he he ...” Fioan dan orang tuanya segera sarapan bersama. Gadis kecil itu masih setia dengan makanannya dan sesekali tersenyum-senyum. Orang tua Fioan menatap anaknya aneh dan kembali mereka mengingat buku catatan anaknya. Ia bertanya-tanya apakah anaknya benar-benar telah jatuh cinta? Anaknya masih terlalu kecil untuk memahami arti cinta. “Fiona tidak mungkin jatuh cinta,” batin keduanya secara bersamaan. Ketiganya kembali makan bersama dalam hening. Hingga ayahnya sesuatu pada Fiona. “Hari ini adalah semester pertama kelas tiga. Apa semua perlengkapanmu sudah ada ada?” “Tentu saja. Aku sudah membeli semua barang-barang keperluanku. Kemarin aku berbelanja sepuasnya di mall. He he he ...” “Emm. Baguslah ... belajar yang rajin yah, Nak.” “Tentu saja ... he he he ... di semester baru ini aku pastikan nilaiku naik menjadi nomor dua dari belakan ... ha ha ha ha...” ujar Fiona aura mata yang mengebu-ngebu. Melihat wajah pecaya diri anaknnya membuat orang tuanya tersenyum-senyum. Selama ini anaknya terkenal sangat bodoh. Dia selalu mendapatkan rengking paling belakan. Menyewa guru privat pun tetap hasilnya sama membuat kedua orang tuanya hanya bisa pasrah dan menerima apa adanya. Dia juga tak ingin membuat anaknya tertekan dengan pelajaran karena Fiona adalah anak satu-satu mereka yang sangat mereka sayang dan cintai. Menuntut anaknya menjadi anak pintar malah akan membuat Fiona semakin tertekan tak hanya itu sejak kecil Fiona memiliki riwayat penyakit maag dan asam lambung. Karena itu mereka tak ingin membuat anaknya sakit dan terus memanjakannya. Setelah serapan bersama Fiona pun mengantar ibu dan ayahnya ke depan pintu. “Hati-hati di jalan, Ma ... Pa.” Fiona melambaikan tangannya saat sang ayah ada ibu berangkat kerja. “Emm. kau juga belajar yang sungguh-sungguh yah!” pekik ibunya saat mobil yang di kendari mereka mulai bergerak. Fiona hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi perkataan orang tuanya. **** Setelah orang tuanya telah menghilang dari padangannya. Fiona segera masuk ke dalam rumahnya menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat ia telah siap dan menyiapkan buku-bukunya. Ia kembali mengingat dengan lelaki yang menolongnya kemarin. “Ohhh ... iya ... aku hampir lupa. Hari ini aku harus bertemu dengannya,” batin Fiona. Wanita duduk di ranjangnya memikirkan bagaimana caranya ia menemukan lelaki itu. Fiona segera mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu pelayan yang telah ia beri tugas untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai lelaki itu. “Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku minta.” “Tolong bawa ke kamarku sekarang juga.” Setelah berbicara dengan pelayannya. Wanita itu segera menutup ponselnya dan selang beberapa detik kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke kamarnya dengan membawa beberapa berkas. “Ini, Nona.” “Ohh. Terima kasih. Kau sudah boleh pergi.” Dengan cepat gadis cantik itu segera membuka berkas-berkas itu satu persatu. Wanita itu tersenyum sekilas. “Ternyata Namanya Rian. Namanya bagus seperti tampannya. He he he ... sayangnya dia berasal dari rakyat jelata. Tapi ... tidak apa-apa lah. Aku kan kaya jadi jika menikah dengannya tidak akan masalah. Urusan uang ada aku yang tanggung.” Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat di kertas itu. Tiba-tiba seseorang mendekat. “Nona, apakah nona sudah siap? Saatnya kita berangkat ke sekolah.” “Aku akan turun sebentar lagi. Tunggu lah di bawah.” “Emmm.” Saat pelayannya telah pergi. Fiona segera membuka tasnya. Mengeluarkan semua buku-buku pelajarannya dan mengantinya dengan baju ganti. Setelah itu ia keluar dan turun ke lantai satu di mana pelayang dan sopirnya telah menunggu untuk mengantarnya ke sekolah. **** Selama di pejalanan menuju sekolah. Fiona tak henti-hentinya menatap jendela mobil yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana caranya ia keluar dari sekolah nantinya. Tak lama kemudian mobil yang ia naiki berhenti di depan gerbang sekolah. Saat ia keluar ia di sambut oleh beberapa anak yang sebaya dengannya dan memakai seragam yang sama. Salah satu pelayan wanita ikut turun. “Bu Rini bisakah hari ini, bu Rini tidak usah menemaniku ke sekolah. Orang-orang pada melihat ke arahku. Ini sangat memalukan di temani terus.” “Tapi, Nona. Ini demi kebaikan nona juga. Sangat bahaya jika nona sendiri.” “Aku kan sudah besar. Aku tak perlu di jaga lagi. Ataukah begini saja ... bagaiman kalau kalian menunggu saja di sini?” “Tapi ... Nona ... itu_” “Aku mohon ... aku malu jika seperti ini terus ...” ujar Fiona dengan wajah memelas. Akhirnya mau tidak mau sang pelayan pun mengangguk menyetujui. Senyum merekah pun tercetak jelas di wajahnya Fiona saat ia telah mendapatkan persetujuan. Dan dalam hati ia tersenyum menyeringai. “Ini saatnya ... aku akan menemuimu Rian... he he he he ...” TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD