Bab 2. Resmi Bercerai

1291 Words
“Alhamdulillah, ya, Nduk. Sekarang status kamu sudah jelas.” Kedua orang tua Senja mengucap syukur setelah sidang perceraian anaknya tuntas. Senja kini telah resmi menyandang gelar janda muda beranak satu. Kehamilan yang berat telah dilalui Senja dengan dukungan orang tuanya. Melahirkan anaknya dengan penuh perjuangan, bertaruh nyawa demi sang buah hati. Kini, dia pun telah berhasil memperjelas statusnya. Ketidakhadiran Abi dalam proses persidangan justru membuat sidang berjalan lebih cepat. Hakim bisa mengambil keputusan bahwa keduanya resmi bercerai karena dari pihak tergugat tidak melakukan upaya untuk mempertahankan pernikahan. “Ya, Bu. Terima kasih Bapak dan Ibu sudah selalu mendukung Senja, ya,” jawabnya haru. Dia merasa beruntung, meski tidak dalam segi percintaan, setidaknya dia beruntung karena memiliki orang tua yang begitu peduli padanya. Tidak semua anak beruntung memiliki orang tua yang penuh kasih dan bertanggung jawab atas anaknya. Salah satunya adalah Cinta, putri semata wayang Senja. Anak itu bahkan ditolak kehadirannya oleh sang ayah. Pria paruh baya yang dipanggil Bapak oleh Senja, mengelus lembut kepala anaknya. “Kamu adalah titipan Allah yang paling berharga untuk kami, Nduk. Sudah sepantasnya kami melakukan apapun yang terbaik untukmu,” ucapnya tulus. Senja segera masuk ke dalam dekapan hangat ayahnya. Di d**a bidang itulah dirinya merasakan kenyamanan, sebesar apapun permasalahannya. “Sekarang, kamu fokus saja membesarkan Cinta dan mengurus usaha catering kamu, Nduk. Ibu pesan, jangan pernah masukan ke dalam hati gunjingan para tetangga. Itu tidak penting untuk kehidupan kamu,” tutur Fatma memberikan wejangan. Kini Senja beralih memeluk sang ibu. Bibirnya tidak henti mengucapkan kata terima kasih, sebab ibunya lah yang membantu mengurus Cinta dengan baik. Keharuan itu terjeda karena tangisan bayi. Fatma buru-buru menghampiri cucunya itu. Menggendongnya agar Cinta merasa tenang. “Anak Mama sudah bangun, yah!” Senja mengusap-usap pipi anaknya. Bayi itu kini telah berusia enam bulan, selain cantik, Cinta juga sudah bisa tengkurap sendiri. Namun, belum bisa kembali ke posisi telentang, itu sebabnya dia menangis seperti tadi. “Iya, Ma. Biasa, Cinta belum kuat lama-lama tengkurep,” jawab Fatma, dengan nada suara anak-anak. Herman, Senja, dan Fatma terkekeh. Kehadiran Cinta di dalam keluarga itu seolah memberi kebahagiaan tersendiri. Meski nasib bayi itu sangat malang, karena harus merasakan pahitnya perceraian orang tua. Hari terus berlalu, Senja semakin disibukkan dengan usaha cateringnya. Usaha kecil-kecilan yang dia jadikan mata pencaharian setelah ditalak oleh suaminya. Meski demikian, Senja tidak pernah lalai dalam mengurus Cinta. Dia bersama Fatma bekerja sama dalam setiap urusan. Entah itu tentang usahanya ataupun tentang menjaga Cinta. Namun, ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Senja dari orang tuanya. Menjadi orang tua tunggal itu tidak mudah. Selain harus menyiapkan fisik dan materi, mereka juga harus menguatkan mental dalam menghadapi mulut nyinyir tetangga. Orang desa itu lebih banyak berprasangka buruk pada orang lain dari pada orang-orang kota yang terkesan cuek. “Kamu enggak apa-apa ke pasar sendiri, Nduk? Bapak harus ke sawah soalnya,” ucap Fatma saat anaknya itu hendak pergi ke pasar sendirian. Senja tersenyum saat melihat kekhawatiran ibunya. “Iya. Senja tidak apa-apa. Jangan terlalu cemas, Bu. Senja kan sudah dewasa,” jawab sang anak. “Meskipun kamu sudah dewasa, kamu tetap putri kecil Ibu, Nduk.” Terdengar suara tawa renyah setelah Fatma mengatakan itu. “Iya-iya. Senja tetap putri kecil ibu. Ya udah, Senja berangkat ke pasar dulu, ya!” Setelah selesai berbelanja, Senja bergegas pulang. Hari sudah semakin siang. Teriknya matahari tak ayal membuat wanita beranak satu itu menyerah oleh keadaan. Dengan kedua tangan yang menenteng tas belanja, Senja menyeberangi jalan. Dia hendak masuk ke sebuah angkutan umum. Namun, seseorang tiba-tiba memegang pergelangan tangannya. Senja menoleh ke samping, dan mendapati seorang laki-laki yang tengah menatapnya. Dia terkejut atas kedatangan lelaki itu. “Kak Agung!” “Ayo ikut saya!” “Ke mana, Kak?” tanya Senja heran, tetapi kakinya tetap melangkah mengikuti lelaki yang menggandengnya. Agung tidak menjawab, hanya terus menggiring Senja hingga langkah mereka berhenti tepat di samping mobil mewah berwarna hitam. Lelaki itu juga membukakan pintu mobil itu. “Masuklah!” titah Agung datar. Akan tetapi Senja menggeleng cepat. “Kenapa?” tanya Agung. “Kakak mau bawa aku ke mana?” tanya balik wanita itu. “Mengantar kamu pulang,” jawab Agung tanpa beban. Namun, hal itu justru membuat Senja menolak keputusan Agung tersebut. Tidak hanya menolak, Senja bahkan kembali mendorong pelan pintu mobil hingga tertutup. “Aku bisa pulang sendiri, Kak. Lagi pula, aku tidak mau Bapak melihat kita bersama,” tutur Senja memberi alasan. “Memangnya kenapa? Justru itu yang saya mau. Saya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu bersama orang tuamu,” kata lelaki itu sambil kembali membuka pintu mobil. Senja kalah, mau tidak mau. Dia akhirnya pulang diantar oleh Agung. Selama perjalanan menuju rumah, Senja dan Agung saling diam. Meski ada tanda tanya yang mengusik pikiran wanita cantik berusia 25 tahun itu. Mobil yang dikemudikan oleh Agung berhenti di halaman asri sebuah rumah sederhana. Senja menatap ragu ke arah pintu rumah. Wanita itu takut jika orang tuanya keluar dan melihat Agung yang mengantarnya pulang. Dia tidak sadar bahwa Agung sudah lebih dulu keluar dan mengambil barang belanjaan yang ditaruh di kursi belakang mobil. Saat sadar, rupanya Agung sudah berjalan menuju rumah, bahkan jarak lelaki itu dengan pintu rumah Senja hanya beberapa langkah saja. “Kak Agung.” Senja buru-buru turun, kemudian menyusul Agung yang hampir mengetuk pintu. “Jangan, Kak!” Senja menghalangi lelaki yang sempat menjadi kakak iparnya itu. “Jangan halangi saya, Senja,” ucap Agung, wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. “Kakak mau apa nemuin orang tuaku?” tanya Senja lagi, wanita itu terlihat sangat panik. Agung berusaha menyingkirkan tubuh Senja yang menghalanginya. Tanpa menjawab pertanyaan wanita itu, Agung mengetuk pintu bercat putih itu beberapa kali. Sayangnya, pintu tersebut tidak kunjung terbuka. “Ibu sama Bapak lagi keluar, Kak,” ucap Senja beralasan. Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan alasan-alasan yang diucapkan oleh Senja. Tangan kekarnya tetap mengetuk daun pintu lebih keras dari sebelumnya. “Enggak ada orang, Kak!” Agung menatap Senja yang tersenyum aneh. “Saya akan datang lagi nanti,” ucapnya lalu membalikkan tubuh. Senja menghela napas panjang, juga mengelus pelan da-danya. Dia merasa lega karena Agung tidak jadi bertemu dengan kedua orang tuanya. Namun, hal itu nyatanya tidak berlangsung lama. “Mau apa kamu ke sini?” Suara yang sangat familiar menyapa pendengaran Senja, wanita itu bahkan melonjak kaget dan memutar tubuhnya. Iris mata berwarna cokelat itu bahkan hampir melompat dari tempatnya. “Bapak!” Lebih parah dari dugaan Senja. Herman yang kalap pun menghajar Agung tanpa ampun. Dia yang usianya sudah tidak muda lagi kini bagaikan memiliki tenaga seperti anak muda yang rajin olahraga. “Mau apa kamu datang ke sini? Belum puaskah kalian? Adikmu sudah membuat anakku manjadi janda. Sekarang kamu berani menampakkan diri di hadapan saya. Dasar kalian keluarga kurang ajar!” Bukannya menghindar, Agung malah membiarkan wajah tampannya dihajar secara brutal. Senja yang melihat itu tentu saja semakin panik. Wanita itu berusaha menolong Agung dengan mengguncang tangan ayahnya yang ternyata sangat kuat. “Pak, lepasin. Sadar, Pak!” seru Senja, tidak lama Herman sadar akan perbuatannya. “Biarkan saja, Senja. Biarkan ayahmu puas menghajar saya.” Ucapan itu malah membuat Herman menghentikan kegiatannya. Tangannya masih melayang di udara. Sorot matanya pun penuh kebencian terhadap lelaki yang sama sekali tidak menampakkan rasa sakit sedikitpun. Tidak tega melihat Agung dipukuli oleh ayahnya, Senja pun memohon pada Herman agar tidak lagi menghajar lelaki itu. “Kak, sebaiknya kakak pulang!” perintah Senja setelah berhasil membuat Herman melepaskan Agung. “Saya tidak akan pergi sebelum saya menyampaikan niat saya datang ke sini,” tolak Agung tegas. “Niat apalagi? Kau ingin membuat hidup anakku semakin hancur? Dasar orang-orang kaya. Sombong dan tidak punya hati!” “Niat saya datang untuk bertanggung jawab, Pak. Saya ke sini untuk melamar Senja dan menjadikannya sebagai istri sah saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD