Bab 16. Pulang Bersama Hilda

1012 Words
Sampai berhari-hari Risma tidak pulang ke rumah Agung. Selama itu juga Senja terus uring-uringan. Dia bahkan sampai merajuk pada suaminya karena menolak mencari keberadaan sang mertua. Namun, meski begitu Agung sama sekali tidak menuruti permintaan sang istri. Dia tidak mau nantinya sang ibu akan besar kepala jika dia menyusul dan memintanya untuk pulang. Seperti saat ini, Senja benar-benar tidak beranjak dari kasur. Dia pura-pura tidur saat Agung hendak berangkat kerja. Senja bahkan berbalik memunggungi sang suami saat lelaki itu hendak mengecup keningnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada Cinta, bayi yang sejak tadi mengoceh di samping ibunya. "Ya, sudah. Saya berangkat dulu." Agung beralih menatap Cinta. "Sayangnya Papa, tolong jagain Mama, ya!" Seperti tahu bahasa sang ayah, Cinta menganggukkan kepalanya. Bayi itu menatap sang ayah dengan senyum manis. Agung sampai tertawa gemas, kemudian melabuhkan kecupan hangat di kedua pipi chubby bayi itu. Agung berlalu pergi setelah berpamitan pada Cinta. Sebenarnya melihat sang istri merajuk seperti ini membuat Agung tidak tenang. Namun, dia pun tidak ingin menyusul sang ibu yang sengaja kabur dari rumah. Sementara itu, di kediaman Hilda, wanita itu sedang membujuk Risma agar mau pulang ke rumah. Dia juga tahu, jika Risma terlalu lama di sana, dia juga akan mendapat masalah besar. "Tante pulang, yah!" "Enggak mau. Tante masih mau di sini," tolak Risma. Hilda terdiam, berpikir untuk mencari alasan apa yang sekiranya bisa membuat wanita paruh baya itu mau di antar pulang. Bibir merah merona itu tersungging usia menemukan alasan yang sepertinya tidak akan ditolak oleh Risma. "Tante tahu enggak? Kalau Tante mau di antar pulang sama aku, pasti itu bisa jadi cara buat aku ngedeketin Senja, loh!" Dahi Risma berkerut saat wanita itu mencoba memikirkan apa yang dikatakan oleh Hilda. Selanjutnya senyum licik ikut menghiasi wajah wanita itu. "Kamu benar, Hilda." Pada akhirnya Risma tidak lagi menolak pulang. Dengan diantar oleh Hilda, dia pulang ke rumah Agung. Senja yang saat itu baru turun ke lantai bawah, melihat kedatangan sang mertua bersama seorang wanita yang pernah menjadi alasan dia bertengkar dengan suaminya. Untuk sesaat Senja terdiam, tetapi ketika melihat sang mertua dalam keadaan baik-baik saja, Senja langsung berlari menghampiri kedua wanita yang baru saja masuk ke ruang tamu. Terlalu senang karena akhirnya sang mertua pulang, Senja langsung mendekap erat tubuh mertuanya. "Alhamdulillah, Mama akhirnya pulang juga. Senja khawatir, Ma," ucap Senja, tidak henti-hentinya dia mengucapkan kalimat syukur. Dipeluk seperti itu oleh Senja, Risma merasa tidak nyaman. Wanita itu bahkan sampai berontak agar menantunya segera melerai pelukan. Senja tentu saja merasakan ketidaknyamanan sang mertua dan akhirnya melepas pelukannya. "Mama baik-baik saja, 'kan?" tanya Senja memastikan. "Kamu bisa lihat sendiri," jawab Risma datar, wanita itu membersihkan bekas pelukan Senja di pakaiannya. "Tante Risma baik-baik aja, kok, Senja. Maaf, ya. Aku baru bisa antar tante pulang," ucap Hilda menyahut, dia sejak tadi merasa kesal karena Senja mengabaikannya. Kini Senja beralih pada Hilda, mengangguk sopan menyambut wanita dari masa lalu suaminya itu. Meski tidak suka dengannya, tetapi Senja tahu bagaimana caranya menghargai orang terlebih Hilda membawa mertuanya itu pulang. "Tidak apa-apa, Maaf, ya. Jadi merepotkan," jawab Senja, canggung. "Sama sekali tidak merepotkan, kok. Tante sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri," balas Hilda ramah. Sikap ramah Hilda sekarang justru membuat Senja merasa tidak nyaman. Aneh saja rasanya, wanita yang pernah terang-terangan memintanya untuk meninggalkan Agung, tiba-tiba bersikap seramah ini. "Hilda, ayo duduk!" Risma mengajak Hilda untuk duduk di sofa ruang tamu, tanpa memperdulikan keberadaan sang menantu. "Ah, iya. Maaf, saya sampai lupa mempersilahkan kamu untuk duduk," ucap Senja, tetapi Risma justru melayangkan tatapan sinis. Wanita itu bahkan menggandeng Hilda untuk duduk bersamanya. Sikap mertuanya itu tidak membuat Senja membalas sinis. Dia justru memperlihatkan sisi baik dirinya, sebab, walau bagaimanapun Risma tetaplah mertuanya. "Saya buatkan minum dulu, ya," ucap Senja, lalu pergi menuju dapur. Begitu Senja tidak terlihat dari pandangan matanya, Hilda pun memprotes perlakuan Risma pada Senja. "Tante harusnya pura-pura baik, kita kan mau ambil hatinya." Risma melengos. "Kamu saja yang baik-baikin dia. Tante enggak mau, meskipun hanya pura-pura!" "Keras kepala banget, sih, Tante." "Biarin aja. Tante ini kalau enggak suka, ya, bilang enggak suka." "Terserah Tante, deh!" Beberapa saat kemudian Senja datang membawa nampan berisi minuman. Dia menghidangkannya di atas meja, kemudian mempersilahkan tamunya untuk menikmati minuman tersebut. "Terima kasih," ucap Hilda. Senja hanya mengangguk. Senja ikut duduk di sofa yang berdampingan dengan tempat duduk Hilda. Meski tidak nyaman, tetapi Senja tetap memperlakukan wanita itu dengan baik. "Sekali lagi terima kasih, ya." Lagi-lagi Senja mengucapkan terima kasih. "Em, iya, sama-sama." Hilda mengedarkan pandangannya. "Anak kamu mana?" tanyanya kemudian. "Lagi main sama embak di kamar," jawab Senja seadanya. "Oh, boleh aku lihat anak kamu?" tanya Hilda lagi. Namun, Senja semakin merasa tidak nyaman. "Em, boleh. Sebentar, ya, saya ke dalam dulu," pamit Senja, meski ragu tetapi Senja tidak enak hati jika harus menolak. Senja pun menyusul Cinta di kamar, kemudian membawanya turun ke bawah lagi. Mempertemukan Cinta dengan Hilda. Meski merasa berat, tetapi Senja tetap melakukannya. "Ish, lucu banget," ucap Hilda, wanita itu bergegas mendekati Senja yang masih menggendong Cinta. "Namanya siapa, Senja?" tanyanya, dia meraih tangan Cinta dan memainkan jari-jarinya mungil bayi itu. "Cinta Kirani Wicaksono," jawab Senja singkat. "Uh, nama yang cantik. Seperti anaknya," puji Hilda. "Iya cantik, tapi enggak sesuai sama kenyataan." Tiba-tiba saja Risma menyahut dengan nada sinis. Senja tentu tahu maksud mertuanya. Wanita itu masih belum terima karena Cinta tidak memakai nama belakang Abiyan. "Tidak apa-apa lah, Tante. Kan pakai nama belakang Agung. Itu bagus juga," balas Hilda, membela Senja. "Tetap saja. Abiyan lebih berhak," sahutnya datar. "Bahkan sampai hari ini, Abi tidak pernah berniat mengakui Cinta. Lalu di mana letak berhaknya Abi, Mah?" Tidak tahan, akhirnya Senja merespon protesan mertuanya. Risma tidak berniat menjawab, dia langsung bangkit kemudian pergi dari ruang tamu. Moodnya sudah sangat buruk saat ini. Risma tidak mau sampai semakin kesal karena menantunya berani beradu argument dengannya. "Sabar, ya, Senja. Mungkin Tante masih butuh waktu," ucap Hilda dan Senja mengangguk paham. "Aku juga mau minta maaf, Senja." "Minta maaf kenapa?" tanya Senja, keningnya berkerut. "Ya, karena aku pernah mengganggu rumah tangga kamu dan Agung. Aku menyesal," jawab Hilda, dia menundukkan kepala, menyembunyikan seringai licik di bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD