Jalanan begitu ramai dengan beraneka ragam kendaraan, meskipun jam sudah menunjukkan di angka Sembilan. Namun masih banyak insan manusia yang berada di jalan entah hanya sekedar berjalan-jalan saja atau bahkan mengais rezeki di jam malam. Sungguh sangat ironi berbanding terbalik dengan kondisi kami di dalam mobil yang hanya ada keheningan.
Sepertinya Mas Reino sedang menekan gejolak emosinya, terlihat dari rahangnya yang mengeras. Aku pun tak cukup nyali untuk memulai pembicaraan.
***
“Mas, ada yang ingin aku bicarakan. Bisa minta waktunya?” Aku memberanikan diri untuk meminta berbicara setelah kami selesai membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Mas Reino menegakkan badannya kemudian bersandar pada head board.
“Ada apa?”
“Aku ijin mau bantu Bunda mengelola Restoran karena ada rencana mau buka cabang baru.” Mas Reino memicingkan salah satu matanya.
“Kenapa tiba-tiba kamu mau bantu di Resto? Ada yang kamu sembunyikan dari Mas?”
“Maksud Mas apa?”
“Kan nggak mungkin kamu tiba-tiba mau bantu di resto kalau nggak ada apa-apa. Aku itu mengenal kamu Jasmine.”
“Sudah malam, Mas. Aku nggak mau ribut dengan kamu. Aku ingin ada kegiatan saja. Aku jenuh hanya di rumah saja.”
“Terus kenapa kamu cerita ke Papa tentang Rumah tangga kita? Sampai Papa membagi sahamku ke kamu? Jangan melebihi batas kamu, Jasmine.”
“Aku tidak pernah menceritakan tentang rumah tangga kita kepada siapapun, termasuk juga ke keluargaku. Aku nggak tau apa yang Mas maksud! Mas sudah tanya ke Papa, Papa tau dari mana semuanya itu? Jangan aku terus yang Mas salahkan. Apa yang Mas lakuin di luaran pun aku nggak pernah ikut campur.” Selalu begini, setiap kali kami ingin berbicara baik-baik akan berlanjut dengan saling menyalahkan.
“Kalau Mas nggak setuju dengan kesepakatan tadi, kenapa Mas menandatanganinya?”
“Kamu lupa bagaimana sifat Papa hahh…?” dengan nada bicara naik satu oktaf Mas Reino mulai emosi.
“Tidak. Tapi kan bisa bilang baik-baik dengan Papa. Sekarang semua sudah terlanjur, jadi Mas mau apa?”
“Ahhh…sudahlah.” Mas Reino bangun dan keluar dari kamar dengan membanting pintu. Aku mengelus d**a menghadapi sikap Mas Reino. Terserah dia maunya apalah.
***
Sudah satu bulan sejak keributan Mas Reino semakin dingin. Aku sudah mulai aktif membantu mengelola Kafe Bersama Mbak Nana. Terkadang aku juga ke Restoran Bunda. Bunda sempat curiga kenapa aku mulai aktif Kembali, aku menjelaskan seperlunya saja tanpa membuka aib rumah tanggaku. Karena aku bekerja bareng dengan Mbak Nana, akhirnya Mbak Nana tau kalau aku sedang tidak baik-baik. Sesekali aku bercerita dengan Mbak Nana, namun tentang kekerasan yang di lakukan oleh Mas Reino tak pernah aku ceritakan. Aku nggak mau Mbak Nana teringat akan rumah tangganya terdahulu. Aku juga belum ke rumah Mama lagi sejak makan malam itu. Namun aku tetap mengirimkan pesan ataupun menelpon beliau. Kegiatanku sekarang hanya seputar Kafe dan rumah, terkesan membosankan namun aku mencoba menikmati. Namun yang membuatku heran yaitu Mas Reino justru sekarang selalu pulang ke rumah tepat waktu. Meskipun kami di rumah hanya saling diam, aku tetap menyiapkan segala keperluan Mas Reino. Walaupun kami tidak selalu tidur dalam satu kamar, karena Mas Reino lebih sering berada di ruang kerjanya. Dengan begitu kami hampir tidak pernah cekcok. Rumah ini Kembali damai namun sepi. Hingga terjadilah kejadian malam itu yang merubah semua, dimana Mas Reino pulang larut malam dalam kondisi jalan sempoyongan masuk ke dalam kamar merancau tidak jelas. Sempat aku kira Mas Reino sedang mabuk, namun setelah aku mempertajam indera penciumanku tak tercium bau alcohol. Lantas kenapa Mas Reino seperti mabuk ya. Dengan gerakan sedikit kasar Mas Reino mencium bibirku seolah dia sedang memakan makanan lezat. Aku mencoba memberontak namun tenagaku tak cukup kuat melawannya. Akhirnya kami melakukan hubungan suami istri yang sudah lama tidak kami lakukan. Dengan menahan sakit dan nyeri di area kewanitaanku, Mas Reino terus memompa tubuhnya hingga terdengar lenguhan panjang dari mulutnya, kemudian dia manejatuhkan badannya di sampingku. Tak begitu lama terdengar suara dengkuran halus dari mulutnya. Dengan berjalan pelan karena menahan nyeri ku langkahkan kaki ke kamar mandi untuk membersihkan sisa percintaan yang menempel di tubuhku. Kurapikan pakaian Mas Reino yang dia lempar ke lantai. Saat aku mengangkat celana panjangnya, ada bungkusan plastik kecil berisi bubuk seperti garam jatuh di dekat kakiku. Benda apa ini? Nggak mungkin kan kalau Mas Reino bawa garam? Besok akan aku tanyakan ke Mas Reino langsung.
***
Sinar sang surya sudah mulai menghangatkan bumi, sinarnya menembus kaca jendela yang ada di kamarku. Aku menggeliatkan badan yang terasa pegal dimana-mana. Kuarahkan pandangan ke samping, Nampak Mas Reino masih tertidur dengan pulasnya. Mau dibawa kemana pernikahan kita Mas? Rasanya aku ingin menyerah saja. Monolog ku sambil membelai rambut Mas Reino.
Setelah selesai mandi, aku turun ke lantai bawah. Meliihat Bi Narti sibuk di depan kompor, aku tersenyum.
“Bibi, masak apa?” Bi Narti terlonjak kaget mendengar suaraku kemudian mengelus dadanya.
“Maaf…… Maaf Bi, nggak maksud ngagetin Bibi loh aku.” Jadi merasa bersalah ngelihat Bi Narti yang masih mengelus dadanya.
“Bibi yang kelewat fokus, Bu. Sampai nggak ngliat Ibu ada disini.he…heh.”
“Loh…udah selesai toh masaknya?” Ucapku saat Bibi memindahkan masakannya ke mangkok saji.
“Alhamdulilah sudah, Bu. Ibu mau makan sekarang?”
“Ntar aja, Bi. Mau makan kue-kue ini aja dulu. Bibi dari pasar ya?” Melihat jajanan pasar yang tertata di meja langsung membuat kalap mulut untuk mengunyahnya.
“Beli di depan komplek, Bu. Tadi ke mini market beli gula dan temen-temennya yang sudah habis. Ngeliat ada yang jual kue kekukaan Ibu, jadi mampir beli.”
“Makasih ya, Bi.” Bi Narti memang best banget dedikasinya di rumah ini. Aku ngerasa beruntung Bi Narti kerja di rumah ini, dimana jaman sekarang begitu susah mendapatkan ART yang jujur dan royal.
Terdengar dering dari ponsel menghentikan kunyahan di mulutku. Tertera nama Bang Adnan di layar, tumben Abang nelpon jam segini.
“Pagi Bang. Tumben?”
“………………………………….”
“Hah…… Kok bisa?”
“…………………………………”
“Iya, aku kesana sekarang.” Niat hati mau datang ke Kafe siangan pupus sudah. Dengan tergesa-gesa aku berjalan ke kamar untuk bersiap. Aku menyiapkan baju kerja Mas Reino juga. Setelah semuanya selesai, aku Kembali ke meja makan.
“Bi, tolong bungkus kue yang ini ya. Aku tunggu di mobil ya, Bi.” Aku bergegas ke mobil, memanaskan mesin. Bi Narti datang menyerahkan box makanan.
“Tolong buka pagernya ya, Bi.”
Setelah pagar terbuka, kuinjak pedal gas meninggalkan halaman rumah. Aku harus segera sampai ke Kafe karena ada masalah dengan pemasok bahan sayuran. Mbak Nana hari ini ijin cuti, jadi aku yang harus meng-handle nya.
***
“Maaf Mbak Jasmine, saya kurang paham. Biasanya yang urus supplier ini Mbak Nana.” Ucap Ardi Ketika aku sampai di Kafe.
“Terus barangnya sekarang gimana, Ar?” Tanyaku ke Ardi. Ardi tugasnya mengurus semua bahan-bahan yang akan di olah.
“Masih sama, Mbak.” Aku menganggukan kepala. Setelah itu aku menemui pihak pemasok. Namun mereka juga kebingungan menjelaskan kenapa kwalitas sayurannya menurun. Akhirnya aku menghubungi owner nya langsung. Dan membuat janji ketemu secara langsung. Bahan yang sudah di kirim tetap kami terima namun dengan syarat perubahan harga dan selebihnya akan kami bahas saat meeting. Akhirnya selesai juga urusan bahan untuk Kafe. Ternyata capek juga ya kalau nggak ada Mbak Nana. Keluhku saat pulang dari Kafe.
Ke esokan hari jadwal meeting dengan Supplier di Restorannya Bunda. Kebetulan pihak supplier yang menentukan tempatnya. Aku bisa sekalian ketemu Bunda. Ahhhh kangen nya sama Bunda. Ucapku saat di mobil. Kuparkirkan mobil di pelataran Restoran, kulangkahkan kaki menuju meja nomor 16.
“Selamat siang, dengan Pak Ryan dari PT.ANSA?” ucapku Ketika di depan meja nomor 16.
“Iya, saya……..”
~~*~~