15

1065 Words
Bab 15 Entah sudah berapa kali Erika mengirimiku pesan berisikan foto keberadaan Mas Reino berada di Gedung apartemen yang sama dengan Erika. Berkali-kali pula aku menanyakan hal tersebut kepada Mas Reino, dan dia menjawab sedang mengunjungi teman. Aku tidak percaya begitu saja, namun aku juga tidak mau membantahnya. Saat ini yang aku pikirkan adalah menjaga kandungan, aku takut akan terjadi seperti kehamilanku yang pertama. Sampai saat ini belum ada yang tau tentang kehamilanku. Hari ini aku diminta mama untuk datang ke rumah, aku sudah menyampaikan ke Mas Reino, katanya dia akan langsung jalan setelah urusan kantor selesai. Aku hari ini pun tidak ke Kafe, jadi aku berangkat dari rumah mengunakan taxi. *** “Bagaimana kabarnya, Nak?” Tanya mama Ketika aku sampai dirumah beliau. Aku sangat beruntung mempunyai ibu mertua yang sangat baik dan sayang kepadaku. Hampir selalu membelaku Ketika aku berselisih paham dengan Mas Reino. “Alhamduliah baik, Ma.” “Gimana kondisi Kafe sama Restorannya? Lancar semuakan?” “Alhamdulilah lancar, Ma. Jasmine hanya ngurus Kafe, Ma. Bang Adnan yang ngurus Resto bantuin Bunda.” “Alhamdulilah ya, Nak.” “Adel mana, Ma?” “Biasa, Sayang. Adel di Rumah sakit. Waktu dia itu hampir dihabisin di Rumah sakit, mama khawatir sama kesehatannya. Biarpun dia calon dokter, tapi dia juga sering lalai sama kesehatannya sendiri.” Mama bercerita tentang Adel. Kini kami sudah duduk santai di gazebo yang ada di taman belakang, ini adalah tempat favoritku Ketika di rumah ini. “Adel hebat ya, Ma. Kata orang-orang tuh sebelum menjadi dokter itu perjuangannya sangat berat, bahkan tidak peduli dengan kesehatannya sendiri." Ucapku ke mama. Mama menganggukan kepalanya tanda setuju dengan ucapanku. Ketika aku menatap mama, aku melihat mama ingin mengatakan sesuatu, namun ragu untuk bicara. “Kenapa, Ma. Ada yang mau Mama bicarakan sama aku? Bilang aja, Mam.” Mama kemudian berdehem, mungkin untuk menghilangkan kecanggungannya. “Bagaimana sikap Reino sekarang? Apakah ada perubahan?” kemudian mama memegang telapak tanganku kemudian mama genggam. “Bukan maksud Mama untuk ikut campur rumah tangga kamu, Nak. Mama sangat sayang sama kamu, mama nggak mau Reino nyakitin kamu lagi. Mama sudah menganggap kamu itu anak mama sendiri. Jadi kalau ada apa-apa, kamu juga bisa cerita ke mama.” Ucap mama dengan lembut dan tulus. Aku bersyukur sekali memiliki mertua yang kasih sayangnya sama seperti orang tua kandungku sendiri. Tak ingin salah menjawab, aku bertanya balik ke mama. “Maaf, Ma. Maksud Mama bagaimana ya?” “Begini, Jasmine. Sekarang kan urusan perusahaan Reino yang pegang, Papa sudah jarang ke kantor. Tapi bukan berarti Papa lepas tangan begitu saja. Kaki tangan atau orang-orang kepercayaan Papa, papa tempatkan di posisi-posisi yang semestinya. Artinya Papa tetap mengawasi dan mengontrol kantor meskipun tidak secara langsung. Papa bilang belum bisa percaya sepenuhnya sama Reino. Mama pun setuju dengan Papa. Bagaimanapun Reino adalah anak kami, jadi Mama paham betul bagaimana Reino itu.” Mama menatapku lekat, kemudian Mama melanjutkan bicaranya. “Mama takut Reino menyakiti kamu lagi seperti tahun lalu.” Mama menitikan air mata. Dengan cepat langsung aku peluk mama. “Doakan rumah tangga kami ya, Ma. Aku banyak kekurangan, tapi akan tetap berusaha untuk berubah menjadi lebih baik.” Pelukan Mama bertambah erat, aku yakin mama masih mengeluarkan air matanya, karena aku merasa basah di bahuku. Kemudian mama melepas pelukannya Kembali meraih telapak taganku. “Mama akan selalu berdoa untuk anak-anak Mama.” “Makasih, Ma.” Hanya itu jawabku kepada Mama. Meskipun Mama sangat menyayangiku, aku tidak akan membicarakan tentang rumah tanggaku. Itulah yang di ajarkan oleh Bunda. Obrolan ku dengan Mama pun merembet ke topik-topik lainnya. Selayaknya Wanita-wanita pada umumnya, jika bertemu atau berkumpul aka nada aja topik yang dibicarakan. Akhirnya kedatangan Papa yang menghentikan obrolanku dengan Mama. Aku masih menunggu Mas Reino sambil membantu Mama di dapur. Mama sangat suka membuat kue atau per-rotian, berbanding terbalik denganku. Aku bisa dikatakan tidak mengerti tentang dunia per-baking an. Karena merasa gerah, aku pamit ke mama untuk mandi. Ku langkahkan kaki ke arah tangga menuju kamar Mas Reino. Setelah mandi, aku ambil ponselku, barangkali ada pesan masuk. Sayang sekali pesan yang aku tunggu dari Mas Reino ternyata tidak ada. Bukannya tadi dia bilang hanya sebentar urusan kantornya, kenapa sampai jam segini belum Kembali juga. Disaat aku, Mama, Papa sedang menikmati makan malam hasil olahan Mama, Mas Reino baru sampai rumah dan langsung duduk di kursi di sebelah kananku. Wajahnya kelihatan kuyu bahkan seperti setengah mabuk, namun tak tercium bau alcohol sama sekali. “Mas, mau makan?” Tanyaku dengan mengangkat piring di depan Mas Reino. Ekor mataku melirik ke arah Papa. Papa memicingkan mata dan mengamati Mas Reino tanpa bersuara namun menggelengkan kepala pelan. “Kamu dari mana, Reino?” Suara Papa menyentak kesadaran Mas Reino, dia sedikit kaget. Sementara Mama hanya memperhatikan saja. “Tadi habis ketemu dengan Pak Andre, Pa. Harusnya pertemuannya besok, tapi di majukan hari ini, karena besok Pak Andre antar istri ke Penang untuk berobat.” Jawab Mas Reino dengan nada seperti orang yang sedang teler atau mabuk begitu, tapi dia tidak mabuk, ah aku jadi bingung menjelaskannya. Mas Reino makan dengan sangat lahap makanan yang aku ambil kan tadi. Aku menatap heran Mas Reino, tidak biasanya dia makan seperti ini, rasa-rasa seperti orang belum makan dari kemarin. Setelah selesai makan, Mas Reino pamit ke kamar untuk membersihkan badannya. Setelah aku lihat Mas Reino menutup pintu kamar, aku pamit juga untuk menyusul Mas Reino. Ketika aku mau berdiri, suara Papa menghentikan pergerakanku. “Tidak usah menyusul Reino, Nak. Kamu bantu Mama aja dulu ya. “ Setelah itu Papa mengarahkan pandangannya ke arah Mama, seolah berbicara menggunakan kode Gerakan matanya, namun aku tidak tau apa maksudnya, kemudian Mama menganggukan kepalanya. "Iya, Jasmine. Bisa bantu mama dulu kan?” Mama mengarahkan pandangannya kepadaku. Akhirnya aku menggerakkan kepala naik turun menjawab pertanyaan mama. Dalam hati aku bertanya, kenapa sikap Papa dan Mama agak aneh ya setelah Mas Reino datang, ada hal apa yang tidak aku tau, atau bahkan mereka sembunyikan dariku. “Papa ke ruang kerja dulu ya.” Ucap Papa, kemudian meninggalkan meja makan. Aku melihat Papa melangkah menuju tangga ke lantai dua, mau apa Papa ke atas? Bukannya ruang kerja di dekat kamar utama di lantai bawah. Pertanyaan yang ada di kepalaku. Kemudian pandanganku beralih ke Mama. “Mam.” Mama menghentikan sejenak kegiatannya merapikan meja, kemudian menatapku. “Kenapa, Nak?” “Papa kenapa?” Mama mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaanku. “Maksudnya?” ~~*~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD