17

988 Words
Bab 17 Setelah mengambil ponselku yang tertinggal di kamar, aku lanjut ke kafe masih dengan diantar oleh sopir Mama. Selama di mobil, aku selalu terngiang obrolan mama, papa yang tak sengaja kudengar tadi. Hal apa sebenarnya yang mereka rahasiakan dariku. Coba aku tanya ke Pak Yanto barangkali ada yang Pak Yanto tau. “Pak Yanto.” “Ya, Mbak, ada apa?” Aku tidak langsung jawab, kira-kira pertanyaa apa yang nggak bakal bikin curiga Pak Yanto. Setelah diam beberapa saat,akhirnya pertanyaan ini yang aku tanyakan. “Pak Yanto, tadi yang ngantar Mas Reino?” “Tadi??” Pak Yanto mengulang pertanyaanku. Akupun menganggukan kepala. “Maksud, Mbak semalam kali ya? Kan Mas Reino perginya semalam sama orang suruhan Bapak.” “Eh… iya, Pak. Maksudku semalam.” Ucapku pura-pura lupa. Padahal aku nggak tau kalau Mas Reino perginya semalam. Bentar-bentar……. Bukannya tadi mama bilang Mas Reino pergi tadi pagi ya. “Sama sopir Bapak, Mbak. Pak Tono. Katanya mau ke luar kota. Tapi tumbenan juga sih, Mbak. Mas Reino kan biasanya sama sekretarisnya terus kemana-mana, apalagi ini urusan kerja katanya.” “Pak Yanto sering sopirin Mas Reino?” “Beberapa kali aja, Mbak.” Aku menggerakan kepala naik turun mendengar apa yang Pak Yanto ucapkan. *** Aku merebahkan badan di sofa yang berada diruangan. Tadi setelah sampai kafe, aku yang sedang sensitive indera penciumannya, langsung bereaksi Ketika menghirup minyak wangi yang di pakai Nata. Begitu sampai lantai, aku melangkah dengan cepat ke toilet, dan langsung mengeluarkan isi perut yang aku makan saat sarapan tadi. ‘Kita berjuang bersama ya, Nak. Terimakasih sudah mendengar ucapan Mama.’ Ucapku dengan mengelus perut yang terasa masih datar. Terdengar dering dari posel yang aku letakan di atas meja. Aku mendiamkan saja, merasa belum ada tenaga untuk menegakan badan. Entah berapa kali ponsel itu berdering, aku tetap tak beranjak dari sofa. Ketukan pintu terdengar beberapa kali, pintu terbuka setelah aku persilahkan. “Mbak, ada Pak Ryan dibawah, katanya sudah telpon ke ponsel, Mbak. Tapi nggak diangkat. Mau di ………………..” Belum selesai Nata ngomong, aku langsung berjalan cepat ke toilet yang berada di samping ruanganku. “Mbak……… Mbak Jasmine, kenapa?” Aku mendengar suara Nata sedikit bergetar. Begitu aku keluar toilet, aku menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan. Saat Nata akan mendekat, aku mengangkat tangan menghentikan Gerakan Nata. “Stop. Disitu aja, Nat. Aku nggak kuat sama parfume kamu.” Aku berjalan ke ruangan mengambil masker di laci meja dan meneteskan minyak telon yang selalu ada di dalam tas. “Masuk, Nat.” Aku melihat Nata di depan pintu dengan raut muka antara cemas, bingung dan takut. “Mbak sakit?” “Kamu pakai parfum apa, Nat?” “Kenapa, Mbak? Wangi nggak enak ya?” Aku menganggukan kepala. “Maaf ya, Mbak. Nanti aku ganti lagi deh parfumnya.” “Sory ya, Nat.” Aku menatap Nata dengan perasaan sungkan. Nata menganggukan kepala dengan senyum canggung. “Tadi, kamu ada perlu apa, Nat?” Nata menepuk dahinya sendiri Ketika aku menanyakan tujuan awalnya menemuiku. “Maaf…. Maaf, Mbak. Aku sampai lupa. Dibawah ada Pak Ryan, Mbak. Mau di suruh ke atas atau bagaimana, Mbak?” “Ya sudah suruh ke ruanganku aja, Nat.” “Siap, Mbak.” Kemudian Nata meninggalkan ruanganku. Aku mengambil ponsel, terdapat beberapa notifikasi panggilan dan juga pesan singkat. Belum sempat aku melihat notifikasi di ponsel, terdengar suara ketukan pintu. “Masuk” “Siang, Bu Jasmine.” “Siang, Mas. Masuk, Mas. Udah dari tadi ya? Maaf ya, Mas.” “Lagi sibuk ya? Aku telpon ke ponsel kamu, nggak diangkat?” “Maaf, Mas. Tadi ke toilet, terus ngobrol sama Nata, jadi Nata kelupaan ngasih tau kalau ada Mas Ryan.” “Kamu lagi sakit, Mine? Wajah kamu pucet.” “Sedikit, Mas. Kayaknya masuk angin.” “Mau diantar ke dokter?” “Nggak usah, Mas. Ini juga udah enakan kok. Oh ya, Mas. Tumbenan kesini, ada yang mau di bahas?” “Nggak ada, tadinya mau ketemu Adnan disini. Tapi ternyata nggak jadi, katanya ada urusan penting di cabang baru. Pas tadi Adnan ngabarin, aku udah jalan arah sini, nanggung mau putar balik lagi. Kita makan siang bareng, kamu mau?” “Boleh, Mas. Aku juga sudah lapar. Mau makan dimana? Di ruangan apa turun ke bawah?” Karena aku males keluar, jadi aku sengaja menawarkan makannya di kafe ini aja. “Turun bawah aja, Mine. Ada menu baru nggak?” Tanya Mas Ryan sambil mengedipkan mata, seolah sedang menggoda. Akhirnya tawa kami pecah dengan candaan receh ala-ala. “Mari kita lihat nanti, Mas.” Kami pun berjalan beriringan menuju lantai bawah. Suasana sudah tidak terlalu ramai, karena sudah lewat jam makan siang. Kafe ini konsepnya semi resto, jadi tersedia juga makanan berat dengan beberapa varian masakan. *** Aku memandangi ponsel, sampai jam Sembilan malam tapi Mas Reino juga belum memberikan kabar. Apakah sesibuk itu, sampai-sampai kirim pesan pun tidak. Aku meletakan Kembali ponsel di atas meja nakas yang ada di sisi kanan tempatku berbaring. Sejak aku mengetahui kehamilanku, aku selalu menyediakan termos untuk air panas, untuk mempermudah dalam menyeduh s**u. Setelah selesai menyeduh s**u, sengaja aku tidak langsung minum. Aku beranjak ke kamar mandi. Aku membawa gelas berisi s**u menuju balkon. Sengaja ingin menikmatinya sambil menatap langit cerah malam ini. Aku memikirkan apa yang tidak sengaja terdengar oleh indera pendengarku dan tentang apa yang di katakana oleh Pak Yanto. ‘Tidak usah terlalu keras berpikir, pikirkan saja kandungan dan Kesehatan.’ Aku berujar menyemangati diiriku sendiri. Udara semakin dingin menerpa kulit, aku memutuskan masuk Kembali ke kamar, menutup pintu lalu ke kamar mandi. Saat aku akan membaringkan badan, ponsel yang berada di nakas berkedip, notifikasi adanya pesan masuk. Sayang, aku ada pekerjaan mendadak ke luar kota. Tadi pagi belum sempat berpamitan dengan kamu. Maaf ya.. Tumben sekali Mas Reino, dan sepertinya ini bukan gaya Bahasa Mas Reino. Sebernanya permainan apa yang sedang di perankan. Aku akan mengikuti permainannya dan akan menyelidiki nya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD