8

1228 Words
“Nggak mungkin ketinggalan di kantor, aku ingat benar sudah aku masukin. Ahh….. sialan.” Terdengar dari suaranya Mas Reino sepertinya sudah putus asa. Hubungan macam apa sebenarnya yang aku perankan sekarang, tinggal satu atap namun terasa asing. Memang betul kami sudah tidak ada per cek-cokan, jangankan per cek-cokan, ngobrol layaknya suami istri pun kami sudah tak melakukannya lagi, seolah pernikahan ini hanya formalitas saja. Aku mendengar suara pintu menuju balkon terbuka, terdengar suara Mas Reino berbicara. “Besok sediain barang nya. Jangan di kantor. Nanti aku kasih tau tempatnya. Oke.” Suara samar-samar Mas Reino yang aku dengar dengan masih memejamkan mata. *** Sudah tiga bulan ini aku mencoba memperbaiki hubungan kami. Mas Reino pun sudah mulai menghangat kembali. Tak jarang aku ke kantor untuk mengantar makan siang, terkadang kami dinner dan stay cation ke hotel. Aku tetap mengelola Kafe Diannela, karena Mbak Nana sudah pindah di cabang lain. Papa sudah sepenuhnya menyerahkan urusan kantor kepada Mas Reino, kesibukan Mas Reino pun juga bertambah. Hari ini kami akan ke rumah orang tua Mas Reino. Kami akan merayakan anniversary pernikahan Mama dan Papa. Bunda dan Abang juga akan datang. Aku sengaja datang lebih awal, karena ingin membantu bersiap. Bukan pesta besar, hanya keluarga saja yang di undang. Saat acara berlangsung, aku melihat sekretaris Mas Reino datang. Dia juga akrab dengan Mama, namun tidak dengan Papa. Aku merasa heran kenapa bisa sedekat itu dengan Mama. Keluarga juga menyinggung tentang momongan, aku hanya tersenyum menanggapinya pun dengan Mas Reino. Dia bilang ingin menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Setelah acara inti selesai, Bang Adnan mendekati ku. “Dek, kamu kenal dengan sekretaris Reino?” “Kenal sih nggak, Bang. Hanya tau aja? Kenapa Bang?” “Kenapa Abang ngerasa ada yang janggal ya, Dek? Semoga ini hanya perasaan Abang aja. Tapi kalian baik-baik aja kan?” “Baik, Bang. Bahkan semalam kita habis dinner.” Sejujurnya aku juga merasa ada sesuatu antara Mas Reino dan sekretarisnya, namun aku berusaha untuk percaya kepada suamiku. “Syukur lah. Kalau ada apa-apa kamu bilang sama Abang, Dek. Biarpun kamu sudah berumah tangga, tetap kamu adalah tanggungan Abang.” “Iya, Bang. Makasih ya, Bang.” *** Langit pagi ini sedang tak menampakan sinar sang surya. Air langit sedang membasahi bumi sejak semalam. Aku masih menggelung badan dengan selimut dengan posisi memeluk Mas Reino di sebalahku. Rasanya enggan sekali untuk bangun, namun apa daya, aku harus segera ke Kafe, begitupun Mas Reino juga harus segera ke kantor. “Mas, bangun. Katanya ada meeting penting hari ini.” Aku mencoba membangunkan Mas Reino. “Jam berapa, sayang.” “Jam 7, Mas. Ayo bangun.” Saat aku bersiap bangun, tiba-tiba Mas Reino memeluk tubuhku dengan kuat namun tak menyakiti. “Mandi bareng ya sayang.” Dengan suara menggoda Mas Reino langsung mengangkat tubuh ku, secara reflek aku mengalungkan tanganku ke lehernya agar tidak terjatuh. “Asal nggak macam-macam sih oke…oke aja, Mas.” “Satu macam aja sayang.” Tanpa menunggu jawaban dari mulutku, Mas Reino langsung mendaratkan bibirnya ke bibirku. Awalnya hanya sekedar kecupan namun lama-lama menjadi lumatan dan berlanjut turun ke leher, berpindah ke d**a, hingga hanya suara desahan yang terdengar di kamar mandi. “Makasih sayang.” Ucapnya setelah desahan panjang keluar dari mulut nya. Kami mengakhiri acara di kamar mandi dan bersiap untuk menjalankan kesibukan kami masing-masing. Wajah Mas Reino tampak ceria. Kami bergandengan tangan menuruni tangga menuju meja makan. Aku melihat senyuman dari bibir Bi Narti, seakan ikut merasakan kebahagianku dengan Mas Reino. “Hari ini mau kemana aja, sayang?” Setelah hubungan kami membaik, aku menceritakan kegiatanku dan tentang Kafe. Begitupun dengan Mas Reino juga memberitahukan tentang jadwalnya. Aku mengikuti saran dari kedua mertuaku. Mereka berharap banyak tentang pernikahanku. Bukan hanya tentang momongan tetapi tentang kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga. “Hanya di Kafe, Mas. Nggak ada agenda keluar, kalau agenda, Mas, gimana?” “Mas juga hari ini full di kantor. Nanti pulang kantor Mas jemput di Kafe ya, kita stay cation. Mau di sini atau luar kota?” “Apa Mas nggak capek?” “Aman kok, tenang aja.” “Oke, aku ngikut aja Mas.” “Good. Nanti Mas booking hotelnya.” Aku menganggukan kepala pertanda setuju. Akhirnya rumah tagga yang aku harapkan terujud sedikit demi sedikit. Senyum ku mengembang merasakannya. Setelah sarapan kami selesai, kemudian bersiap ke rutinitas kami masing-masing. *** “Mbak Jasmine, ada tamu yang cari, Mbak.” Ucap Sisil salah satu waiters di Kafe yang datang ke ruanganku. “Siapa, Sil?” “Maaf, Mbak. Orang nggak sebut Namanya. Tapi dia bilang sahabat tercantiknya Mbak Jasmine.” Ah sepertinya aku tau siapa orang sedang mencariku. “Oke, kamu turun dulu, Sil. Tolong bilangin suruh tunggu ya, aku sebentar lagi turun.” “Siap, Mbak. Saya turun dulu kalau begitu. Mari, Mbak.” Aku menaik turun kan kepala menanggapi ucapan Sisil. Aku merapikan sedikit meja kerjaku yang agak berantakan, kemudian keluar ruangan menuju kelantai bawah. Aku mendekati Sisil, dia menunjuk meja nomor delapan yang ada di sebelah jendela. Aku melihat ada satu perempuan dan dua laki-laki di meja tersebut. “Selamat siang.” Aku menyapa orang yang ada di meja tersebut dengan senyum mengembang. “Siang.” Jawab mereka dengan kompak, kemudian mengalihkan pandangan kepadaku. Dua laki-laki itu Nampak bingung, namun berbeda dengan sang Wanita, yang justru menampilkan senyum yang membuat lesung pipitnya terlihat manis. Dengan antusias dia langsung berdiri dari duduknya dan memelukku. “Minnie ku sayang, uhhhh kangen bener gue.” Suara cempreng nya mangambil atensi pelanggan lain yang duduk di sekitar. “Suara lu, Er. Bikin orang b***k tau nggak.” Tegur salah satu laki-laki di meja ini. “Maaf…. Maaf …. Silahkan di lanjutkan Kembali.” Ucapku sungkan kepada tamu yang lain. “Tumbenan lu kesini? Nggak ngabarin pula.” Aku pura-pura merajuk kepada sahabatku ini. “Biar surprise sayangku.” Dia menjawab dengan cengiran khas nya. Ehm…ehmm “Lu nggak mau ngenalin kita-kita ini, Er?” Aku yang awalnya mengabaikan dua laki-laki itu, sekarang aku tatap mereka dengan sopan dan senyum di bibir. “Aih…. Kalian ini tau aja kalau ada cewek kece.” “Min, kenalin ini temen- temen kantor gue, yang udah jadi jomblo berkarat.” “Lu, niat ngenalin atau ngehina kita sih, Er?” “Ha…. Ha ….. Ha ….. Santai Bro.” Inilah kelebihan Erika yang bikin aku iri. Dia begitu supple dan humble hampir ke semua orang. Itulah sebabnya pergaulan dia begitu luas. “Inget, jangan naksir dia ya, dia udah ada pawangnya.” Ucap Erika dengan mata melebar kepada kedua temannya. “Ah… belum apa-apa udah patah hati nih gue.” Ucap salah satu laki-laki yang badannya lebih tinggi dengan ekspresi wajah di buat sedih. Aku melihat interaksi mereka, merasa begitu lucu. Aku menyunggingkan senyum di bibir ku. “Kenalkan saya Jasmine, Erika biasa memanggil saya dengan Minnie.” Ucapku memotong perdebatan mereka. Aku mengulurkan tangan untuk menjabat tangan di sambut oleh kedua laki-laki tersebut. “Gue, Anjas. Salam kenal Jasmine.” “Gue, Rendi.” Aku menganggukan kepala. Kami pun berbincang dengan santai sambal menikmati makanan. Dan sampai akhirnya mereka pamit untuk Kembali ke kantornya. Aku pun Kembali ke ruanganku yang ada di lantai dua. Saking seriusnya aku bekerja di depan computer, sampai aku nggak sadar ada seseorang masuk ke dalam ruangan. Sampai suara deheman tersebut yang mengagetkanku. “Mas, sejak kapan ada di sini?” ~~~*~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD