7

1209 Words
Setelah mobil terparkir rapi, aku merapikan baju yang sedikit kusut. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam Restoran yang belum terlalu ramai. Kurang beberapa menit menuju jam sebelas, gegas aku menuju meja nomor 16. Biasanya untuk urusan supplier, Mbak Nana yang turun tangan. Namun sekarang aku juga harus belajar meng-handle nya. Sesampainya di meja nomor 16 ternyata sudah ada sosok laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna biru. Aku berdehem untuk mengurangi grogi, maklum ini kali pertama aku bertemu secara langsung. Ehm …….. “Selamat siang, dengan Pak Ryan dari PT.ANSA?” Pria tersebut kemudian berdiri dan menganggukan kepala. “Saya Jasmine, dari Kafe BlueBell.” Aku mengulurkan tangan disambut oleh pria tersebut. “Iya, saya Ryan. Silahkan duduk Bu Jasmine.” Ucapnya ramah dengan senyum di bibir nya. Aku merasa tidak asing dengan pria ini. Rasanya pernah bertemu, namun nggak tau dimana dan kapan. “Panggil Jasmine aja, Pak.” “Bukannya biasa dengan Bu Nana ya?” “Betul, Pak. Untuk saat Bu Nana sedang cuti, jadi saya yang di tugaskan untuk bertemu dengan Pak Ryan.” “Baiklah. Anda mau pesan minuman dulu? Sebelum kita mulai.” Aku menganggukan kepala kemudian memanggil waiters untuk memesan minuman. “Sebelumnya saya secara pribadi mengucapkan permintaan maaf atas pelayanan kami dimana terjadi penurunan kwalitas produk kami. Kami akan memperbaiki semuanya. Sebagai permintaan maaf kami, kami akan memberikan diskon untuk produk kami. Mengingat Kafe BlueBell pelanggan setia kami. Sampaikan maaf kami ke Pak Adnan ya, Jasmine.” Ucap Pak Ryan dengan ramah. Aku pikir bakal terjad perdebatan yang alot, nyatanya Supplier ini sangat professional. “Baik, Pak Ryan. Nanti akan saya sampaikan ke Pak Adnan. Untuk perubahan harganya bisa di kirim ke email saya, Pak. Biar selesai hari ini juga, mumpung berhadapan langsung.” “Boleh, sebentar saya kirim email ke kamu.” Setelah semua permasalahan clear, aku menawarkan makan siang sekalian, dan Pak Ryan meneyetujuinya. Setelah memesan makanan, aku ijin untuk ke toilet. Begitu aku balik ke meja ternyata Pak Ryan tidak duduk sendiri, seperti aku mengenali bentuk badan itu meskipun dari belakang. “Abang.” Ahhh benar ternyata, sosok laki-laki yang duduk di kursi yang aku tempatin tadi rupanya Bang Adnan. “Udah selesai, Dek??” Abang kira udah balik ke Kefe tadi, tapi kata Ryan kamu lagi di toilet.” “Iya, Bang. Mau sekalian makan siang.” Aku melirik dari ekor mataku ke arah Pak Ryan, dia terlihat bingung melihat interaksiku dengan Bang Adnan. Bang Adnan sepertinya menyadari itu. “Ini adik ku, Ryan. Dia baru mulai lagi ngelola Kafe yang di Blok Y. setelah hibernasi yang kelewatan, akhirnya dia bangun juga.” Walah-walah aku di bilang baru selesai hibernasi, nyindirnya alus banget abangku ini. “Loh ……. Adik kamu toh? Aku kira penggantinya Bu Nana?” Pak Ryan menyahuti dengan ekspresi kaget nya. “Emang Jasmine nggak bilang,Yan?? Hidih ngapa juga Abang ini nanya kayak gitu. Lah orang lagi kerja masa iya bawa-bawa nama dia. Aku menggelengkan kepala saat Bang Adnan melihat ke arahku. “Oke……. Kalian makan dulu, nanti kita lanjut ngobrolnya lagi. Aku ketemu Bu Bos dulu.” “Abang nggak makan?” tanya ku Ketika abang sudah berdiri dari duduknya. “Udah, Dek. Udah kamu lanjut aja temenin Ryan.” Kemudian pandangan Bang Adnan beralih ke Pak Ryan. “Nitip adik ku ya bro. Nanti aku balik kesini lagi, mau setor muka dulu sama Bu Bos.” Ucap kakak ku itu sambil menepuk Pundak Pak Ryan. Dibalas anggukan kepala olehnya. Aku benar-benar ngerasa nggak asing dengan wajah Pak Ryan ini. “Kenapa nggak bilang kalau adiknya Adnan, Jasmine?” Tanyanya begitu Bang Adnan sudah meninggalkan kami berdua. “Kan nggak ada hubungannya dengan Bang Adnan, Pak.” Ucapku di ikuti seulas senyum dari bibirku. “Jangan panggil Pak, panggil saja Ryan. Umur ku nggak beda jauh dari kakak mu.” Setelah itu kami hanya fokus terhadap makanan kami tanpa ada obrolan lagi. Setelah makananan berpindah ke lambung kami, kakak ku datang dengan senyum manisnya. Aku heran sama kakak ku ini, secara postur tubuh oke, muka juga tergolong cakep, pekerjaan mapan, tapi kenapa nggak ada ceek yang nyantol sama dia ya. Setelah Abang bergabung di meja, aku pamit ke belakang. Tujuan ku adalah ke ruangan Bunda. Samar- samar masih terdengar suara Abang yang bertanya ke Ryan. “Gimana Adek ku, Bro?” Itu suara Abang, entah apa maksud dari pertanyaan itu. Setelah itu aku sudah tidak mendengar suaranya lagi. Aku mengetuk pintu ruang kerja bunda. Setelah mendapat sahutan dari Bunda, aku membuka pintu dan masuk. “Ya Allah, anak Bunda. Ternyata masih ingat sama Bunda nya.” “Apalah Bunda ini.” Aku pura-pura cemberut mendengar ucapan Bunda. Bunda tersenyum kemudian berdiri dari duduknya melangkah ke arahku. Kami pun berpelukan menyalurkan rasa rindu. Aku merasa berdosa sekali, karena jarang banget berkunjung ke rumah beliau. Ini juga alasanku tak pernah menceritakan tentang kodisi Rumah tanggaku. “Gimana urusan Kafenya, Dek? Kata Abang sekarang hampir semua kamu yang handle!” “Alhamdulilah, semua lancar. Cuma masalah sayur aja ada sedikit masalah. Tapi sekarang sudah beres. Tadi ketemu Pak Ryan, sekalian makan siang di sini.” “Tumben si Ryan ada masalah.” “Bunda juga kenal dengan Pak Ryan?” “Ya kenal lah, Dek. Kan Ryan juga masok buat di Resto.” Mengalirlah obrolan kami dengan beraneka topik, obrolan kami terhenti Ketika mendengar suara Abang. “Dek…” Suara Abang dengan nada serius mengalihkan atensi ku dan Bunda. “Ya, Bang.” “Sepertinya kamu harus handle kafe yang di Blok Y, Mbak Nana mau Abang minta ke cabang lain, disana nggak ada yang bisa di percaya. Bisa kan, Dek? Kamu ijin dulu ke suami kamu ya, Dek!” Aku melihat ke arah Bunda, dan Bunda menganggukan kepala. Akhirnya aku pun ikut mengangukan kepala juga. Obrolan kami pun harus terhenti karena Bang Adnan harus ke Kafe yang ada di Bogor,aku juga Kembali ke Kafe yang di blok Y. *** “Kenapa kamu selalu pulang lebih telat daripada aku, Jasmine? Apa se-sibuk itu kamu sekarang?” Selalu pertanyaan sarkas yang selalu aku dengar sesampai di rumah. Sebenarnya aku sudah mengusahakan untuk pulang cepat, namun jarak antara Kafe ke rumah memang lumayan jauh pun dengan jalannya yang selalu macet. Jarak yang seharusnya di tempuh hanya empat puluh menit kalau week and akan berubah menjadi dua kali lipat jika di week days. Itulah kenapa selalu Mas Reino yang sampai rumah duluan, jarak rumah ke kantor paling lama hanya 45 menit. “Maaf, Mas.” Hanya itu yang selalu aku katakan. Aku menghidari ke ributan kalau saja aku menjawab panjang lebar. Sejak mendapat teguran dari Papa dan Mama, Mas Reino selalu on time pulang ke rumah dan hampir tidak pernah keluar malam lagi, namun selalu mengurung di ruang kerja nya. Mas Reino melangkah kan kaki ke ruang kerjanya meninggalkan aku yang masih terdiam. Aku hembuskan nafas dengan keras, kemudian berjalan ke arah kamar. Jam 12 lebih aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku mendengar suara Mas Reino sedang menarik laci, entah laci mana dan sedang mencari apa aku nggak tau, aku masih tetap di posisi ku dengan mata terpejam. “Nggak mungkin ketinggalan di kantor, aku ingat benar sudah aku masukin. Ahh….. sialan.” Terdengar dari suaranya Mas Reino sepertinya sudah putus asa. Sebenarnya apa yang sedang kamu cari, Mas? ~~*~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD