Sepeninggal Zain, aku melangkah masuk menuju ruang keluarga dan menghenyakkan tubuh di sofa, merenungi kejadian yang menimpaku dua hari ini.
Aku menyandarkan badan sambil melemaskan otot dan otak yang terasa penat. Dikhianati oleh Andra merupakan suatu kejadian yang membuat hati ini teramat sakit. Bayangkan saja, pernikahan hanya menunggu hitungan jam, kemudian semua ambyar oleh sebuah pengkhianatan. Kurasa semua orang pasti akan terpukul jika hal itu menimpa mereka.
Kemudian takdir membawaku pada Zain. Seseorang yang tidak pernah kucintai. Tidak pernah terlintas sedikitpun dia akan menjadi suamiku. Akan tetapi, lebih dari itu Zain merupakan sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Aku takut ketiadaan cinta di hati untuknya akan membuatnya terluka.
Aku tidak ingin hal itu terjadi. Apalagi ternyata dia begitu manis ketika menjadi suami. Begitu lembut, penyayang, penuh cinta dan sholeh. Menjadikan ketakutan atas pertanyaan apakah aku mampu mencintainya benar-benar menghantuiku.
'Zain ...! Aku ingin mencintaimu. Beri aku waktu.
Mulai detik ini, aku akan mendampingimu, melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, melayani semua kebutuhanmu.
Akan tetapi, untuk menyerahkan diri ini secara utuh, aku belum bisa. Rasanya teramat canggung dan seperti aneh saat memikirkannya. Aku berharap kamu mau bersabar menunggu hingga batas waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan.’
Huft!
Aku mengembuskan napas berat. Lalu beranjak untuk membereskan kamar, merapikan pakaian Zain ke dalam lemari, juga mengumpulkan pakaian kotor untuk dicuci.
Ponselku berdering pendek. Notifikasi pesan dari sebuah aplikasi berwarna hijau masuk. Aku membuka aplikasi itu. Mataku menangkap satu pesan baru pada deret teratas. Zain!
Begitu saja kedua ujung bibirku terangkat, membentuk lengkungan senyum lucu. Baru saja beberapa menit ia berangkat, kurasa mungkin dia juga baru sampai di sekolah, tetapi sudah berkirim pesan.
"Masak apa, Sayang," tulisnya.
Hatiku selalu berdesir membaca pesannya dan mendapat panggilan sayang. Bahkan panggilan yang hanya melalui sebuah pesan dan tidak bisa kudengar.
"Belum tau," balasku disertai emoticon nyengir. Ya, aku bahkan belum memikirkan mau masak apa dan tidak tahu apakah harus masak? Sementara di rumah ini orang-orang masih ramai membereskan sisa resepsi.
"Abang sudah sampai?" lanjutku mengirim pesan.
"Sudah, Sayang. Sebenarnya malas mau masuk hari ini. Pengen berdua saja sama kamu," balasnya. Ada emoticon mata dengan simbol love menyertai pesannya. Seketika senyumku melebar.
Aaahhh, kenapa dia jadi bucin begini dan kenapa aku jadi senang dibucinin?
"Ish, apaan sih? Berduaan juga gak ngapa-ngapain," balasku. Untung saja saat ini kami hanya berkirim pesan. Jika kami video call, aku yakin dia dapat melihat wajahku yang memerah karena tersipu malu oleh kata-katanya.
"Jadi mau diapa-apain ini? Oke, siapa takut. Tunggu di rumah, ya." Pesan darinya lagi.
"Ish, apaan, sih?"
Aku menambahkan emoticon mendelik pada pesan terakhirku. Sebal oleh pesannya, tetapi juga merasa senang.
Aaahhh! Aku tidak paham dengan situasi hatiku saat ini.
"Wk wk wk wk."
"Sudah dulu, ya, Sayang. Sudah bel. Love you."
Dua pesan beruntun darinya masuk.
"Iya," balasku singkat.
Aku menatap pesan terakhir yang dia kirim untuk beberapa saat. Perasaan bersalah hadir kembali. Ia begitu manis. Cinta yang begitu besar dan tulus darinya dapat aku rasakan.
Aku benar-benar takut jika tidak bisa membalas cintanya.
Aku takut jika tidak bisa memberikan kebahagiaan untuknya.
Aku takut dia terluka.
***
Pukul 11.55 wib, bertepatan saat azan Zuhur berkumandang, dahiku sedikit mengernyit ketika suara sepeda motornya terdengar memasuki pekarangan. Jam sekolah tempatnya mengajar usai pukul 13.30 wib, mengapa jam segini ia sudah pulang?
"Assalamualaikum, Sayang," ucapnya saat aku menyambut di depan pintu.
"Waalaikumsalam," balasku.
Aku segera mencium takzim punggung tangannya, aktivitas yang akan menjadi rutinitasku mulai hari ini, sesuatu yang aku teladani dari apa yang dilakukan Umak dan Abah dalam puluhan tahun usia pernikahan mereka.
Saat akan bepergian dan ketika pulang, meskipun dalam keadaan kesal, Umak selalu mencium punggung tangan Abah. Kata beliau, itu merupakan salah satu kunci langgengnya rumah tangga. Selalu saja amarah yang tersimpan di hati masing-masing luruh bersama jabatan tangan.
"Kok, sudah pulang?" tanyaku tidak mampu menahan rasa penasaran.
"Iya. Hari ini Abang kosong jam terakhir. Jadi ijin pulang lebih awal. Bapak dan Ibu mengundang kita, sama Umak dan Abah juga untuk ke rumah," jawabnya.
"Oh ...? Hari ini?" tanyaku.
Mertua mengundang ke rumah? Tiba-tiba saja jantungku menjadi berdegup tidak beraturan. Ada rasa takut sekaligus khawatir menyelinap di sana.
Keputusan Zain untuk menikahiku hanya berselang beberapa jam sebelum acara sakral itu berlangsung. Tidak ada kesepakatan terlebih dahulu antara kedua belah keluarga besar. Bagaimana jika ternyata mereka tidak menyetujui hubungan ini? Akan jadi apa pernikahanku?
"Iya hari ini. 'Kan Abang pulang cepatnya hari ini," sahutnya diiringi senyum lembut. Aku sebenarnya paham. Hanya saja karena panik, jadi pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
"Jam berapa?" tanyaku lagi.
"Bakda Ashar," jawabnya. Ia kemudian melingkarkan tangan di pinggangku, lalu mengiringi langkahku menuju kamar.
"Sudah sepi?" Sambil jalan, ia mengitari seisi rumah dengan pandangannya.
"Iya. Sudah pada pulang baru saja," sahutku. Sanak keluarga dan tetangga yang membantu sudah selesai berberes rumah dan pamit pulang sejak kurang lebih satu jam lalu.
"O ...." Ia mengangguk kecil, "Umak dan Abah mana?" tanyanya.
"Abah sudah ke mesjid. Umak mungkin di kamar," jawabku.
Ia kembali mengangguk kecil, "Abang sholat di rumah saja, ya, sama kamu. Kamu belum sholat 'kan?" tanyanya.
"Belum," sahutku.
Jujur saja, entah mengapa aku senang ia sholat di rumah dan berjamaah denganku. Walau aku tahu afdolnya laki-laki itu sholatnya di mesjid. Akan tetapi, diimami olehnya dengan status kami yang baru rasanya berbeda, menyenangkan dan membuat candu.
Aku senang mendengar merdu suaranya bahkan hanya saat melantunkan takbir. Seperti ada getaran dalam setiap gemanya yang mampu beresonansi dan menimbulkan getaran pula dalam hatiku.
"Makan siang, Bang?" tanyaku sekaligus mengajaknya untuk makan usai kami menunaikan sholat.
Ia mengangguk, "Nasi goreng tadi juga belum sempat Abang makan," jawabnya.
Aku mengangguk paham. Wajar dia belum sempat menyantap bekalnya, sebab dia pulang lebih awal.
"Enggak apa-apa," balasku.
"Nanti Abang makan. Sayang kalau enggak dimakan," ucapnya. Ia segera meraih tas kerjanya yang tadi diletakkan di atas meja kerjaku, lalu mengeluarkan kotak bekal dari dalam sana.
"Tidak apa-apa, Bang. Toh, biasanya Abah selalu mengambil nasi untuk campuran pakan ayam. Nanti itu dikasih ayam saja," balasku.
"Sayang, ah. Buatan istri," ucapnya kukuh. Aku menggelengkan kepala, terserah apa kata dia saja.
Selanjutnya kami keluar menuju meja makan. Sembari menunggu Umak dan Abah, aku menata piring dan hidangan. Sudah ada lauk pauk di sana, hanya belum ada sayuran hijau. Kebiasaan kami, sayuran hijau dimasak menjelang waktunya makan.
"Sebentar, ya, Bang." Aku meninggalkannya di meja makan, lalu menuju dapur, bersiap menumis sayur yang sebelumnya sudah disiangi.
"Ada yang bisa dibantu?" Suaranya yang tiba-tiba terdengar di belakangku, cukup membuat terkejut. Aku yang sedang menyalakan kompor sedikit terlonjak sambil menoleh. Ia berdiri dengan senyum lepas bagai tak berdosa.
"Kenapa ikut ke sini? Duduk di sana saja?" ucapku.
"Enggak enak sendiri," sahutnya sekenanya.
"Tinggal duduk saja, apanya yang tidak enak," balasku sedikit sebal. Sebab aku merasa tidak nyaman jika sedang bekerja dilihati orang lain.
"Maunya di sini saja," balasnya ngeyel.
"Sana saja," tegasku kukuh.
"Sini saja."
"Sana saja."
"Memangnya kenapa, sih? Grogi, ya, kalau masak dilihatin?" Bukannya menjauh, ia justru melihat lebih dekat, membuatku semakin tidak nyaman.
Itu dia tahu jika aku grogi, masih saja ngeyel.
Aku akhirnya memilih diam, dan mulai mengupas bawang.
"Masak apa?" tanyanya sambil memerhatikanku. Aku bisa melihatnya dari ekor mataku.
"Cah kangkung," jawabku singkat.
"Emang bisa masak?" tanyanya meremehkan. Aku mendengkus kesal. Sekadar menumis kangkung, apa susahnya?
"Tuh, mengupas bawang saja enggak bisa," ucapnya.
Aku meringis gemas. Diperhatikan terus, tanganku bergetar. Kulit bawang itu tiba-tiba saja terasa liat.