Kemauan Sadira
***
Selepas hari itu, Avita menjadi rutin menjenguk Sadira, lebih-lebih, Kakek dan Neneknya Sadira begitu baik, hingga hari ini, hari ke tiga Sadira dirawat, serta hari ini juga anak kecil itu diperbolehkan pulang, Sadira merengek untuk Avita yang mengatarnya pulang, Sandy sudah benar-benar bingung bagaimana untuk menghentikan Sadira yang masih meminta untuk menelpon Avita, akhirnya jam tujuh pagi Avita ditelpon oleh Sandy untuk diminta tolong menjenguk Sadira hari ini.
Kala itu, saat Avita melihat Sandy di ruangan Avita ia memilih ke kantin dan tidak menggangu Sandy beserta Sadira yang tengah mendapatkan pertolongan, Avita memanfaatkan waktunya untuk mengisi perut, hingga lagi-lagi laki-laki yang memberinya pakaian tadi mengkagetkannya, ia mengatakan Sandy ingin bertemu dengannya, tapi sayangnya Sandy tak mau meninggalkan Sadira hingga Avita lah yang disuruh ke ruangan Sadira.
Baru saja Avita datang, Sandy menyodorkan ponselnya, dan tidak mengatakan apa-apa, sebelum raut wajah Avita berubah menjadi tanya.
“Takutnya Sadira mencari kamu, sebelumnya, saya Sandy, Ayah Sadira.”
Walau raut wajah Sandy tak menampakan senyumnya, Avita malah mengulas senyum, membuat pipinya nan putih mengembang, “Saya Avita,” katanya sambil mengambil ponsel dan mengetikan nomornya, “saya harap Sadira cepat sembuh,” lanjutnya.
Sandy mengangguk, setelahnya membiarkan Avita yang pamit pulang ke kantor, yang diantar oleh Pak Chandra, tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari mulut Sandy hingga punggung wanita itu berbelok menjauhi ruangan VVIP, pikirannya kini berpacu ke masa lalu.
Kenapa perempuan itu benar-benar mirip dia, dia yang ada di masa lalu.
“Iya sayang, Tante ke sana, ini mau siap-siap habis makan,” jawab Avita, perempuan itu memamerkan roti bakarnya, membuat Sadira mengangguk riang, adik kecil itu tersenyum dan melambaikan tangannya, hinggat wajah Sandy dari bawah terlihat dari ponsel itu, senyum Avita mengembang, dari bawah ternyata wajah laki-laki itu lebik eksotis, Avita tak mematikan video call itu, hingga tangan Sandy lah yang menekan tonbol merah, memutus sambungan video call itu.
Jam setengah delapan, Avita sudah siap, sebelumnya ada pesan masuk bahwa Sandy mengirim Pak Chandra untuk menjemputnya, lagi-lagi membuat Avita merasa aneh, Avita pikir ia tak perlu diperlakukan semanis ini, tapi pikiran realistis Avita mengambil alih pesona di pipi merahnya, mungkin Sandy takut Avita terlambat hingga mebuat Sadira menunggu, mungkin saja.
Sebelum masuk ke dalam mobil hitam yang sudah tiga kali ia tumpangi, ada Drew yang berdiri berhadapan dengannya, Avita yang berdiri di depan rumahnya, sedangkan Drew menatapnya dari seberang jalan.
Ternyata, tatapan itu masih sama, tatapan benci dan kecewa masih kentara di bola mata Avita, bahkan senyum yang Drew lemparkan diabaikan begitu saja oleh Avita.
Avita masuk ke dalam mobil itu dengan menarik napas dalam-dalam, rasa sakit itu ternyata msih ada, walau sudah sepenuh hati Avita coba mengikhlaskan kesalahan Drew yang terpendam itu, tapi tetap saja, semaunya terasa masih menyakitkan.
Tetangga laknat
Nanti malam ketemu ya, temenim aku mutusin Salsa.
Tetangga laknat yang baru saja menghubungi Avita dalah Drewraka Winata, laki-laki yang baru saja ia temui, entah kenapa sisi hati Avita mengatakan Drew bergitu jahat saat membaca pesan itu, tapi satu sisinya lain tak bisa mengungkiri, Avita bahagia saat Drew mengatakan ia ingin putus dengan Salsa, otomatis Avita akan menjadi satu-satunya perempuan yang ada di hati Drew.
Avita sibuk dengan pikirnnya, hingga mobil hitam itu kini berada di depan rumah sakit pun tak membuat Avita berkutik sama sekali.
“Nona.”
Teguran itu membuat Avita mengedipkan matanya, senyum Pak Chandra yang pertama kali ia lihat, lalu saat Avita mengedarkan pandangannya, ia mendapati tempat bernuansa putih, lalu-lalang dari korban kecelakaan mau pun orang sakit, suster dan Dokter pun mondar-mandir di depan mata Avita.
Avita mengikuti langkah Pak Chandra, lagi-lagi Avita diperlakukan manis, apa pun kebutuhan Avita hingga memencet tombol lift saja, Pak Chandra yang melakukannya.
Sampai membuka pintu ruangan Sadira yang dilakukan oleh Pak Chandra, tak hanya Sadira yang meloncat dari tempat saat Avita masuk ke dalam ruangan itu, Ibu Nia dan Pak Adiatma yang rambutnya sudah memutih pun juga menyinggungkan senyum riang.
Pak Chandra sudah bercerita kepada dua orang tua itu, Avita lah yang membantu dirinya saat Sadira muntah, Avita jua lah orang yang kekeh menjaga Sadira di hari pertama Sadira dirawat.
“Sayang, kenapa jadi turun ih, Kakak nggak mau gitu.” Avita mengomentari sikap ceria Sadira yang tak bisa terkontorl, raut wajahnya begitu bahagia, selama ini Sadira selalu bertemu dengan orang-orang dewasa, tak pernah hidup dengan orang yang bisa diajaknya bercanda.
Sadira melebarkan senyumnya, pipi putihnya pun terangkat lebar.
Kini, setelah bercekrama dengan Kakek dan Neneknya Sadira, serta duduk di hadapan Sadira, yang bersebrangan dengan Ayahnya Sadira, laki-laki itu menatapnya, sambil menempelkan telponnya genggamnya di telinga.
Laki-laki itu tanpa sadar mencuri perhatian Avita, tubuhnya yang tinggi dan tegap, wajahnya yang tampan, ah Avita jadi mengingat tokoh-tokoh n****+ serta model yang ia lihat di majalah dan di sosial media, senyumnya yang tak pernah ia dapat dari laki-laki itu tak membuat Avita menyesali pernah bertemu dengannya, ia benar-benar hot daddy, sepertinya otak Avita benar-benar kotor, ia juga baru menyadari, baru kali ini ia memuji-muji laki-laki lain, selain Drew.
Berbicara masalah Drew, lagi-lagi kepala Avita memutar pesan yang baru ia terima dari Drew tadi, apa maunya laki-laki itu, Salsa adalah pacarnya, dan kenapa Drew memutuskan hubunganya dengan Salsa, apa benar alasannya hanya satu, Drew menginginkan dan serius dengan Avita? Semoga kalo begitu.
Pukul delapan, Dokter kembali memeriksa Sadira, dan benar saja, Sadira sudah diperbolehkan pulang, dan di sinilah Avita berada, di bangku penumpang mobil mewah nan mengkilat, di sampingnya ada Sadira dan di sisi sebelah kiri paling ujung ada Sandy yang tengah mengelus lembut rambut Sadira.
Entah mengapa, Avita belum penah bertemu dengan Ibunya Sadira, ah iya, sudah berkali-kali Avita bertemu dengan Bapak dan Anak ini, tapi untuk seorang Ibu, tak pernah ia temui, sekali pun, bahkan mendengar Sadira menyebut kata ‘Ibu’ saja ia tak pernah.
“Pah,” panggilan itu membut Sandy langsung menatap Sadira, begitu pun Avita. “Kita kayak Orangtua teman Sadira, ada ayah,” tangan Sadira menunjuk Sandy, “dan, ada perempuan, Ibu,” lalu tangan Sadira menunjuk Avita yang menampilkan raut wajah bingung.
Sadira membuat hati Sandy serasa digerogoti semut merah, binatangnnya kecil tapi rasanya begitu menusuk, Nadira, anakmu begitu pintar, itulah yang bisa Sandy sampaikan di dalam hatinya. Kalimat itu juga yang membuat slavina Avita masuk ke dalam tenggorokannya tanpa hambatan, pikirannya mencocokan beberapa kejadian yang ia rasakan saat bersama dengan ke dua orang ini, pemakaman, Sadira yang selalu dengan Sandy, Sandy yang meminta nomor telponnya tanpa raut wajah tak ragu sedikit pun, apa, apa Sandy duda? Benar-benar paket lengkap, kalau begitu ceritanya.
Tatapan mata Avita disambut dengan tatapan mata Sandy, Sandy tak bisa mengelek, saat pertama kali Sadira menabrak Avita, dan melihat Avita, Kepala Sandy dipenuhi kenangan buruk semasa SMA-nya, tatapan mata itu, gaya rambut bahkan wajahnya, apa Avita reinkarnasi dari perempuan yang tak bisa membuat Sandy berpaling, tak terkuacali dari mendiang Ibunda Sadira.
Mobil hitam itu kini berhenti di depan rumah nan megah, Sadira sekali lagi memaksa Avita masuk dan menemaninya, ada raut tak enak yang Sandy tangkap dari Avita, tapi Avita mencoba menetrarlkan wajahnya, kalau benar dugaan Avita, Sadira anak piatu, maka dengan janji – karena merasa satu nasib, Avita mencoba menemani anak kecil itu, Avita merasakan begitu tak enaknya tak memiliki Ibu, padahal waktu ditinggalkan oleh Ibunya, Avita sudah berusia delapan belas tahun, rasanya sudah cukup menikmati waktu yang panjang bersama Ibunya.
Tapi, anak kecil seperti Sadira juga sudah ditinggalkan oleh Ibunya, entah sejak kapan, tapi karena kejadian itulah lagi-lagi Avita menjadi bersyukur, ternyata di belakangnya, ada orang yang jauh lebih menyedihkan dari dirinya.
“Tak bisa kah kau diam sejenak sayang?” teguran itu didapatkan Sadira dari Ayahnya, Ayah yang begitu cerewet bagi Sadira.
Sadira menggeleng, lalu tangannya menarik Avita menuju kamarnya, tak hanya Avita yang menggiring di belakang, tapi Bu Ika – penjaganya Sadira, juga mengiring dua orang yang ada di depannya.
Berbeda dengan Sandy yang kini tengah berjalan menuju ruang kerjanya, kepalanya semakin terasa pening melihat Sadira yang begitu akrab dengan wanita muda itu, tak bisa dipungkiri, wanita itu benar-benar mirip dengan dia, perempuan yang telah lama ingin Sandy kubur dari hidupnya, perempuan yang kabar terakhirnya telah memiliki seorang anak perempuan, yang usianya pun sama dengan Sadira.
Dengan cara apa lagi, Sandy bisa melupakan dia, kalau di dekatnya ada perempuan bak pinang terbelah dua begini?
***