Bab Enam

1039 Words
                                                                        Avita Valencia, berubah.                                                                                     *** Kini, sedikit banyak hidup Avita berubah, ia tak lagi duduk bersama teman-teman sebagai admin biasa, juga tak bisa santai lagi – bermain ponsel, sekarang semuanya sudah beda, Avita sedikit banyak mulai mencurigai sesuatu yang terlihat tidak sesuai dengan laporannya, maka Avita langsung bertindak, perempuan itu juga terlihat lebih serius. Getaran di ponselnya menandakan sebuah pesan masuk, Avita yang tengah serius menatap layar komputer dan satu kertas di tangannya pun menyempatkan melirik ponselnya. Sekarang, sedikit banyak ia juga selalu menggunakan ponsel untuk bekerja, berbeda dulu saat ia hanya pegawai biasa, ia hanya mengunakan untuk bermain games. “Bu Avita,” ketukan dan dorongan pintu ruangan Avita membuat Avita menahan tangannya untuk memegang ponselanya, ia melihat Mbak Rini – sekretaris Pak Eddy masuk ke dalam ruangannya. Mbak Rini datang untuk meminta laporan dari divisi penjualan, serta ketanakerjaan pengiriman barang, laporan itu akan dicocokan dan diperiksa untuk tunjangan akhir tahun, membuat Avita hanya mengangguk dan mengatakan ia sendiri yang akan menyerahkannya kepada Pak Eddy sehabis makan siang. Mbak Rini mengiyakan, sebelum benar-benar melangkah dari ruangan Avita ia bertanya, apakah Avita membutuhkan sekretaris untuk membantunya, yang langsung membuat Avita menggeleng tak enak. Saat Mbak Rini telah benar-benar keluar, telpon diruangan Avita berbunyi, membuat Avita yang ingin memegang ponselnya lagi, harus tertahan lagi. “Mbak Avita dari divisi Adminitrasi, sehabis makan siang, kita meeting ya,” suara dari divisi kelayakan kantor membuat Avita ikut melirik jam yang ada di bawah layar komputernya. Awal tahun memang menjadi hal yang paling sibuk, mengatur kenaikan gajih, memperbaruhi kepala divisi, memperbaruhi bentuk perusahaan, dan banyak lagi, hingga akhirnya kepala Avita ingin pecah. Setelah ganggang telpon itu kembali ke tempatnya, kini giliran ponsel Avita yang berbunyi, Avita benar-benar ingin menghempsakan kepalanya saat ia tak ada lagi waktu untuk mengerjakan laporanya, bahkan untuk makan pun rasanya tidak sempat, tak jarang juga Avita menahan untuk membuang air kecil, karena pekerjaan dan telponnya yang terus berdering itu. Slavina Avita rasanya tak tahu mau ke mana, tenggerokonganya begitu kelu hanya untuk menerima telpon dari Drew, dua minggu Avita ditelantarkan oleh Drew, rasanya, perasaanya yang kacau semakin kacau saat melihat banyaknya foto kebersamaan Drew dan Salsa. Avita tak tahu bagaimana perasaanya kepada Drew selama ini, saat ia mengatakan ia siap dengan segala keputusan Drew nantinya – meninggalkannya, akhirnya. Avita merasa ia harus siap tanpa siapa pun ada di sampingnya, lagi. Avita tak menghiraukan telpon itu, ia memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaanya. Jam dua belas siang, ponsel Avita kembali bergetar, kali ini bukan dari Drew atau yang berhubungan dengan kantor, kali ini seseorang yang sangat diharapkan oleh Avita untuk mengabarinya. “Kak, kok nggak makan?” suara dan wajah Aden yang muncul dari layar ponselnya tanpa sadar membuat Avita tersenyum. Ternyata ia tidak sendirian di dunia nyata ini, masih ada laki-laki yang takkan meninggalkannya, yaitu Aden. Suara ketukan di pintu Avita membuat Avita menahan jawabanya untuk Aden, kali ini teman satu mejanya dulu yang masuk ke dalam ruangan Avita. “Heh ibu Avita! Keluar kek, di dalam mulu,” Anda nama akrab dari Yolanda itu pun berdiri sambil melipat tangannya di depan ruangan Avita, membuat Avita hanya mengangguk dan tersenyum. “Sebentar, lagi nerima telpon, nanti gue keluar,” jawab  Avita sambil memperlihatkan layar telponnya yang terdapat wajah Adiknya. Anda mengerti, kakak beradik itu tengah melepas rindu masing-masing, rupanya. Lima menit dari itu, setelah Aden mengetahui Kakaknya belum makan, Aden memaksa Avita untuk segera makan, dan Avita hanya bisa menuruti apa yang dikatakan Aden. Saat Avita baru saja keluar ruangan, Pak Ali masuk dengan membawakan makanan untuk Avita, yang membuat Avita terkejut, dan merasa bahwa ia tidak memesan makanan dari luar kantor. “Dari teman Ibu katanya, Mas Drewraka, Bu,” kata Pak Ali sambil menyerahkan paper bag, dari Drew yang tadi Drew titipkan kepada Pak Ali. Dugaan Avita benar, Drew sudah kembali dari luar kota lagi, Drew sudah tidak bersama dengan Salsa lagi. “Kembaliin saja Pak ke dia, dia masih ada di sini ‘kan?” Avita tahu betul, sebelum makanan atau titipan yang dikasih Drew belum diterima oleh Avita, Drew takkan pulang, dan kali ini, Avita tak mau mengambil titipan itu. Tekat Avita sudah bulat, sebelum Drew melamarnya dengan serius – atau putus dengan Salsa, Avita tidak mau berdekatan dengan Drew dulu. “Tapi Bu ....” “Saya mau makan dulu Pak, kembaliin ke dia saja tidak apa-apa,” kata Avita lagi. Pak Ali mau tak mau melakukan apa yang dikatakan Avita, kalo Avita tidak mau menerimanya bagaimana lagi, Pak Ali juga tidak ada hak untuk memaksa Avita. Padahal, setahu Pak Ali, bila laki-laki yang bernama Drew itu mengirimkan sesuatu kepada Avita, raut wajah Avita yang kusut selalu berbuah menjadi senang, bahagia, berbeda dengan kali ini. Saat Avita ingin masuk ke pantry kantornya, ia berpapasan dengan seseorang yang keluar dari lift, menuju ruangan meeting, seseorang yang menatapnya dalam, dan orang itu orang yang pernah ia temui, beberapa waktu lalu. Sandy Adiatma, duda beranak satu, lulusan S2 Arsitek dan pembangunan, masuk ke dalam perusahaan yang akan bekerja sama untuk membangun gedung perusahaan baru dan merenovasi gedung perusahaan lama. Sandy tidak terkejut saat bertemu dengan Avita Valencia, seorang pereumpuan muda yang ditabrak oleh putri sematawayangnya kemarin saat mereka akan berkunjung ke tempat peristirahatan Ibu Sadira – Nadira. Sandy memang sudah cukup tahu banyak tentang perempuan itu, namanya siapa, rumahnya di mana dan berkerja di mana, tapi sialnya tentang orangtua perempuan itu, semuanya hilang saat Sandy mengetahui mereka pengusaha Mabel, dan akhir hembusan napasnya di pesawat, miris, pikir Sandy. Avita memalingkan wajahnya secepat kilat, saat ia sudah mengingat siapa laki-laki yang keluar dari kotak lift itu. Saat baru saja masuk ke dalam pantry, kini Anda kembali mendekati Avita dengan membawa paper bag yang sebelumnya dibawa oleh Pak Ali. “Ta!” suara Anda terdengar mengagetkan Avita. “Plis terima ini, tuh cowok yang ngasih ini buat lo berisik banget, bujuk-bujuk Pak Ali tadi,” kata Anda dengan suara yang mampu terdengar keseluruh penjuru pantry. Avita memajukan mulutnya, setelahnya ia mengambil paper bag itu dan segera menuju loby, melihat Drew yang juga tengah menatapnya. Avita tak mau terjadi keributan apalagi masalah pribadinya sampai terdengar oleh teman-teman atau karyawan lain. “Pergi kamu dan bawa ini pulang,” desis Avita yang kini sudah berada di depan tubuh Drew sambil menyerahkan paper bag yang sengaja Avita tubrukan ke d**a Drew. Drew begitu terkejut dengan sikap Avita, semenjak kejadian di rumahnya waktu itu Avita membatasi diri dengan Drew. Memang benar, Drew dan Avita hanya bertukar kabar sehari atau dua hari sekali, tapi kali ini beda, selama dua minggu ini Avita menutup komunikasi mereka, tak mau berkabar sama sekali dengan Drew. “Avita,” panggil Drew lagi. “Pulang, Drewraka Winata!” katanya tegas tak terbantahkan.                                                                                             ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD