"Kamu pikir aku wanita apa, Mas? Apa dengan semua itu bisa mengembalikan anakku? Ayo jawab mas! Apa dengan barang-barang yang kau bawa itu bisa kembali menghidupkan anakku?!"
Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran.
"Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong."
"Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris.
"Ada apa ini malam-malam ribut?"
Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok.
"Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.
Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.
Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Pergilah. Bawa barang-barangmu itu! Lili tak membutuhkan itu semua. Dia hanya butuh ketenangan hati!" tukas Bang Panji penuh penekanan.
Bang Panji menghampiri adiknya yang sedang menangis. Bahkan aku segan untuk mendekati mereka berdua.
"Luapkan amarahmu, Li. Jangan diam saja dan dipendam sendiri. Kalau kamu sudah gak kuat sama Azzam bilang saja. Untuk apa bertahan dalam rumah tangga yang hanya bisa membuatmu terluka? Kamu berhak bahagia, Li!" pungkas Bang Panji pada adiknya.
Hatiku seakan sakit dan terkoyak mendengarnya. Bang, kenapa malah tambah memperkeruh suasana?
"Kamu masih belum pergi juga? Pergi sana dodol!!" hardik Bang Panji lagi.
Dia memunguti barang-barang yang kubeli tadi.
"Nih sekalian bawa!! Berikan saja pada ibumu yang kolokan itu!! Kalau hanya barang-barang begini saja aku bisa membelikannya untuk adikku!" tukasnya lagi sembari menyerahkan barang-barang itu lagi.
Bang Panji mendorongku keluar dari pintu kamar bahkan sejenak saja tak membiarkanku untuk berbicara pada Lili.
"Kunci pintunya dari dalam, Li. Biar si bod*h Azzam ini gak bisa masuk!" teriak Bang Panji lagi sambil menutup pintu.
Aku termangu duduk di sofa ruang tamu. Disampingku teronggok barang-barang yang tadi kubeli. Raffa sepertinya sudah pulang dari tadi. Berkas-berkas itupun sudah tidak ada di meja.
Pikiranku benar-benar kalut. Bagaimana caranya meluluhkan hati Lili? Bahkan dengan barang-barang ini saja dia tak mau menerimanya.
Plukk!
Bang Panji melemparkan sebuah bantal dan selimut padaku.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Kulirik jam yang bertengger di dinding, tak terasa waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.
Suasana malam semakin sunyi. Aku tak bisa memejamkan mata. Hatiku kacau tak karuan. Ingin sekali mendapatkan maaf dari istriku. Tapi justru penolakan yang kudapatkan.
Segera kuperiksa handphoneku, barangkali ada panggilan penting. Aku tercengang melihatnya.
Tiga puluh satu panggilan tak terjawab dari Icha. Ada apa ini bocah? Pasti tentang ibu. Lalu kulihat pesan yang masuk ke chat WhatsAppku.
"Mas, budhe dirawat nih. Asam lambungnya naik."
Tulisnya pada pesan itu, lalu mengirimkan foto ibu yang tengah diinfus.
[Uangnya aku transfer aja ke nomor rekeningmu. Maaf gak bisa nengokin ibu. Kamu aja yang jaga disana. Gak usah takut, kalau ada apa-apa langsung hubungi suster] -- balasku.
Kumasukkan kembali handphoneku ke dalam tas.
***
Pagi-pagi sekali kucium aroma harum masakan. Aku tertegun, apakah Lili sedang memasak? Kulirik jam bundar di dinding, waktu masih menunjuk ke angka lima pagi.
Meregangkan tubuh dan bangkit menuju belakang. Ternyata bukan Lili yang masak, melainkan Bang Panji.
"Bang, Lili belum bangun?" tanyaku.
"Oh, anak mami dah bangun. Gimana tidur di sofa, nyenyak?" sindirnya.
Aku diam.
"Sholat dulu sana."
"Iya, bang. Tapi Lili--"
"Biarin nanti juga bangun sendiri, lagian masih masa nifas. Emangnya mau ngapain, suruh masak?"
"Enggak bang."
Aku berbalik kudapati Lili sudah berdiri diambang pintu. Ia kelihatan segar dari pada semalam. Namun tak dapat menyamarkan wajahnya yang begitu sendu. Netranya juga masih tampak sembab.
"Dek, udah bangun?" sapaku.
Ia berjalan melewatiku begitu saja.
Pletak! Bang Panji menjitak kepalaku.
"Dah sana sholat subuh dulu!" tukasnya.
"Iya, iya bang."
***
"Dek, mas berangkat ke kantor dulu ya," pamitku.
Meskipun diam, dia masih mau menyalami tanganku. Kukecup keningnya dengan lembut.
"Nanti sore mau dibawain apa?"
Lili kembali menggeleng.
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam. Lalu bergegas menuju mobil. Sebelum ke kantor kusempatkan diri menengok kondisi ibu.
"Zam, kamu tega ya gak nungguin ibu disini!"
"Maaf Bu. Aku kesini cuma mau nengokin ibu aja. Ya sudah, aku langsung berangkat ke kantor."
Aku beranjak pergi lagi, tapi Icha menghalangi.
"Mas, kenapa mas berubah? Ibu sedang sakit mas malah cuek blbegini. Apa gara-gara Mbak Lili?"
Aku hanya memandangnya, malas sekali berdebat. Dia udah pintar mendebat rupanya.
"Mas ...! Maaas ...!"
Panggilnya namun tak kuhiraukan.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan kencang, untung saja tak terjebak macet.
***
Tiga hari berlalu, aku masih pulang ke rumah Bang Panji. Lili lebih betah tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang sederhana ini dari pada ikut pulang bersamaku. Selama itupun aku tak pernah pulang ke rumah. Bahkan saat ibu keluar dari rumah sakit aku tak menjemputnya. Aku tega? Biarkan saja, biar ibu merasa.
Perlahan, selama aku disini Lili mulai mau menyahuti ucapanku, ia tak lagi marah. Ia pun sudah bisa tersenyum. Senyuman manis yang selalu kurindukan. Dan sebisa mungkin aku bersikap lembut padanya.
"Disini kamu bisa tersenyum, Dek. Kalau di rumah kamu diam saja, bisakah kau cerita ada apa?"
"Aku lelah, Mas. Aku hanya ingin rumah tangga kita damai, tanpa campur tangan orang lain."
"Siapa yang ikut campur sih, dek--"
"Ya sudah kalau kamu masih gak peka."
Sore itu saat membantunya membersihkan halaman, tiba-tiba saja ibu dan Icha datang. Mereka datang naik taksi.
Lili terkesiap kaget melihat kedatangan ibu.
"Azzam, Lili ..." panggil ibu.
Mendadak ibu langsung memeluk tubuh Lili.
"Li, maafin ibu ya, Nak. Ibu dah salah padamu. Tolong maafin ibu. Kembalilah pulang, bersama Azzam juga. Rumah sepi tanpa kalian, Nak--" ucap ibu dengan nada memelas.
Lili memandang ke arahku seolah tak percaya ibu bersikap manis padanya.
"Bu, ibu udah pulang dari rumah sakit? Kenapa malah kesini, bukannya istirahat di rumah," sahutku.
Ibu mengusap air mata yang membasahi pipi.
"Ibu habis sakit?" tanya Lili kemudian.
"Iya mbak, budhe sakit dua hari dirawat di rumah sakit, mbak Lili sama Mas Azzam kenapa gak nengokin budhe?" tanya Icha kemudian.
"Mas, kamu kenapa gak bilang sama aku kalau ibu sakit?"
"Sudah tak apa-apa, Nak. Ini pelajaran buat ibu. Ibu jadi sadar, selama ini ibu dah bersikap buruk pada kalian, terutama padamu, Li. Ibu minta maaf ya, Nak. Ibu janji akan berubah lebih baik lagi. Ayo pulang Nak, di rumah sepi tanpa kalian."
Lili terdiam, ia merasa enggan untuk menjawab.
"Zam, Lili, ayo kita pulang, Nak ..."
.
.
Akankah Lili luluh dan mau diajak pulang?