Kejutan?

1119 Words
Senyuman manis seorang wanita berusia 27 tahun itu ditujukan pada sesosok laki-laki yang teramat dia cintai. Wanita cantik yang bernama lengkap Bianca Kezia itu sudah berstatus sebagai seorang istri. Ya, istri dari seorang CEO kaya raya yang bernama Daviendra Aksara (30 tahun). Bianca menyambut kepulangan Daviendra dengan penuh kehangatan. Wanita itu lekas mengambil alih jas dan juga tas kerja milik sang suami, begitu pria itu masuk ke dalam rumah. Meskipun penampilan sang suami sudah sedikit acak-acakan saat ini, baginya Daviendra tetap saja tampan dan menarik. Bianca tidak pernah bosan untuk menatapnya. “Jangan ditatap begitu ah suaminya, sayang. Jalan itu lihat ke depan, bukan ke samping begini ngelihatin suaminya. Bisa jatuh nanti.” “Tidak akan mungkin jatuh kalau digandeng begini tangannya.” sahut Bianca seraya menaikkan tangan mereka yang bergandengan ke udara. “Selalu saja pintar menjawab omongan suaminya.” ujar Daviendra yang dibalas dengan kekehan kecil sang puan. Keduanya memang sangat lengket setiap hari. Hampir tidak pernah bertengkar hebat selama pernikahan mereka yang sudah berjalan tiga tahun ini. Jika soal kesalahpahaman, tentu saja mereka pernah mengalaminya. Tapi benar-benar tidak pernah bertengkar yang sampai tarik urat, dan drama pisah ranjang. Sama sekali tidak. “Aku tuh betah kalau disuruh ngelihatin wajah kamu Mas.” “Bahkan di saat wajah suami kamu ini dalam keadaan kusam begini sayang? Muka-muka lelah ini, tidak ada bagusnya buat dilihatin terus.” “Ya nggak apa-apa Mas, emangnya kenapa? Muka-muka lelah ini kan karena kerja buat aku juga.” Daviendra membuka pintu kamar mereka, seraya menyahut, “lagi jelek banget sayang...” “Orang ganteng begini suami aku. Jelek darimana coba sih?” sahut Bianca sembari menyentuh dagu Daviendra. “Bilang saja kalau salting aku lihatin terus!” “Mana ada? Yang ada kamu tuh saltingan dari dulu Bi,” balas Daviendra seraya menoel pucuk hidung Bianca. “Inget nggak? Waktu pertama kali kita ketemu?” Bianca mengangguk dengan cepat. Meskipun sangat memalukan sekali. Bagaimana mungkin juga dia bisa melupakan hari dimana dia dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Daviendra. Ingatannya kini melayang keempat tahun yang lalu. Bianca masih ingat betul serangkaian kejadian yang hampir merenggut nyawanya, jika saja Daviendra tidak datang menolongnya. Semuanya bermula di saat Bianca dan kakak angkatnya—Kevin, berhenti di pinggiran jalan untuk membeli bunga. Sebab keduanya hendak pergi mengunjungi makam kedua orang tua mereka. “Yah, tumben ini toko bunganya tutup.” seru Kevin, begitu menghentikan mobilnya tepat di depan toko bunga langganannya setiap kali akan pergi mengunjungi makam ayah dan ibunya. “Emang biasanya buka Kak?” tanya Bianca yang duduk di kursi penumpang saat ini. “Ya biasanya buka. Tapi tumben banget hari ini tutup.” jawab Kevin. Pria itu mengedarkan pandangannya, hingga dia baru menyadari jika ada toko bunga di seberang jalan yang buka. “Eh, yang itu buka!” Bianca langsung menengok dan mengikuti kemana arah pandangan sang kakak saat ini. “Kamu tunggu sebentar di sini ya Bi, kakak mau beli bunga dulu di seberang.” “Loh, kakak mau jalan?” “Iya, jalan aja. Sebrang doang ini. Kalau sekalian pake mobil, ntar sama aja puter balik ke sini lagi kan?” jawab Kevin dengan cepat. “Mending kakak aja yang jalan bentar. Kamu di sini aja Bi,” lanjutnya, dan Bianca mengangguk mengiyakan perkataan sang kakak. Jalanan saat ini memang tidak terlalu sepi. Banyak juga kendaraan yang berlalu-lalang, tapi tidak menimbulkan kemacetan juga. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat Bianca tertarik untuk keluar. Bianca keluar dari mobil setelah melihat seekor anak kucing lucu yang tidak tau bagaimana bisa tiba-tiba ada di tengah jalan. Karena Bianca takut kucing itu tertabrak kendaraan, tanpa pikir panjang lagi dia langsung berlari untuk mengambil kucing tersebut. “Gimana bisa sih tiba-tiba kamu di tengah-tengah jalan begini—” “Awas!” Lengan Bianca ditarik tiba-tiba oleh seseorang begitu suara klakson dari truk besar yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. “PELAN-PELAN WOI ORANG GILA!” Mata Bianca sama sekali tidak berkedip saat menatap wajah pria yang sekarang tengah berada di hadapannya. Fokus Bianca justru pada ketampanan sang penolong. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? “Lain kali jangan meleng dong Mbak matanya. Jangan asal nyelonong nyebrang nggak lihat kiri kanan. Jalanan sepi bukan berarti kamu bisa sesantai itu.” Bukannya menyahut dan mengucapkan terimakasih, Bianca justru diam macam orang yang tidak bisa bicara. Hanya terus menatap wajah pria dan tiba-tiba tersenyum. Pipinya bahkan bersemu, padahal pria itu sedang memperingatinya dengan nada yang memang cukup kesal. Bukan sedang memuji atau menggodanya. “Mbak? Ngapain senyum-senyum? Dengar omongan saya nggak sih?” Bianca menundukkan kepala sambil menahan senyum mengingat betapa memalukannya dia pada saat itu. Salah tingkah sendiri hanya karena terpesona oleh ketampanan sang penolong yang kini menjadi suaminya. “Kenapa senyum-senyum begitu? Jangan bilang lagi nginget-nginget yang dulu?” tebak Daviendra sembari melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya. “Apa sih Mas? Siapa juga yang senyum-senyum? Nggak ada yang lagi senyum-senyum juga ih!” “Nggak usah bohong deh, muka kamu merah begitu berarti lagi salting. Pasti mikirin—” “Enggak Mas!” sela Bianca dengan cepat. “Udah deh, lebih baik kamu buruan mandi Mas. Aku udah siapin air hangat tadi waktu kamu bilang hampir sampai rumah. Ntar keburu dingin.” Daviendra bangkit dan berjalan mendekat ke arah Bianca. Mencubit pelan pipi puan itu karena gemas. “Hmm, pinter banget kalau masalah ngalihin topik ya istriku ini?” “Cepetan mandi Mas, biar segeran badannya. Pasti capek kan habis lembur gini?” “Aku mau ngasih kamu sesuatu dulu sebelum mandi.” “Apa?” “Kejutan pokoknya! Bentar—” “Nanti aja deh Mas. Kamu mandi dulu, ntar airnya keburu dingin lagi.” “Ya udah, aku mandi dulu. Tapi makasih ya, udah nyiapin apa yang aku mau meskipun nggak diminta.” Bianca mengangguk, dan mendapatkan kecupan di dahinya dari sang suami. Sungguh, Bianca bersyukur memiliki Daviendra dalam hidupnya, meskipun dia harus diam saat mendapatkan perlakuan buruk dari sang ibu mertua dan adik ipar. Wanita itu menghela nafas panjang. Kesabarannya harus lebih diperpanjang lagi, agar tidak meledak. Karena bagaimana pun, dia tak mau jika sampai Daviendra tau bahwa dia mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari ibu dan adiknya. Suara dering ponsel milik Daviendra membuat langkah Bianca yang hendak menuju ke lemari pakaian langsung berhenti. “Klien?” monolognya seraya mengangkat sebelah alisnya, begitu membaca nama kontak yang muncul di layar ponsel tersebut. Awalnya Bianca ingin membiarkannya, tapi karena terus menelepon, Bianca memutuskan untuk mengangkatnya. Hanya saja.... “Oh God! Daviendra, akhirnya kamu angkat telepon aku. Please, balas pesanku. Jangan ngehindar begini setelah kamu tau aku lagi hamil anak kamu! Dav—” Lemas. Kedua kaki Bianca langsung melemas begitu mendengar ucapan dari seseorang di seberang panggilan tersebut. Hamil? Inikah kejutan untuknya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD